Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Museum Setelah Tiga Pameran

Tiga kali pameran koleksi Istana meyakinkan bahwa koleksi tersebut selayaknya diwadahi dalam sebuah museum seni rupa. Museum Istana akan melengkapi yang kini diusahakan oleh berbagai pihak: Museum MACAN, juga beberapa museum koleksi pribadi di Jakarta dan Solo.

15 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tiga kali pameran koleksi Istana meyakinkan bahwa koleksi tersebut selayaknya diwadahi dalam sebuah museum seni rupa. Museum Istana akan melengkapi yang kini diusahakan oleh berbagai pihak: Museum MACAN, juga beberapa museum koleksi pribadi di Jakarta dan Solo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH lelaki berkumis yang terjatuh dari kuda itu tak tampak tenang-tenang saja. Tak ada ekspresi ketakutan, sementara kuda hitamnya diterkam seekor singa dan sang penerkam siap menyerang lelaki yang terjatuh itu. Rupanya, sang singa sudah terkalahkan: di tangan kiri lelaki itu ada sebuah senapan yang dari ujungnya keluar api-pertanda peluru baru saja meluncur-dan, melihat posisi senapan, semestinya peluru menembus dada singa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah Perkelahian dengan Singa, lukisan Raden Saleh Sjarif Boestaman yang bertahun 1870. Di antara 45 karya lukis dan patung koleksi Istana Kepresidenan Indonesia yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, sepanjang Agustus ini, lukisan ini terasa paling menyedot perhatian. Mungkin karena ukurannya yang besar, sekitar 200 x 270 sentimeter. Mungkin karena adegan pada lukisan itu dramatis, terutama pada gambar kepala singa meraung dengan gigi yang mengancam; dan kepala kuda yang miring, meringkik, dengan mata terbelalak ketakutan; serta seseorang yang tertelungkup tertindih tubuh belakang kuda, bergeming.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan Raden Saleh tersebut menjadi koleksi Istana tidak lewat Bung Karno. Beserta sebuah lukisan Berburu Banteng yang juga karya Raden Saleh, lukisan itu diserahkan kepada Indonesia oleh Ratu Juliana dari Belanda pada 1970. Kebetulan lukisan ini bukan satu-satunya koleksi Istana yang bersuasana dramatis. Dalam pameran ini ditampilkan juga Perkelahian antara Rahwana dan Jatayu Memperebutkan Sinta karya Basoeki Abdullah. Perkelahian Rahwana terasa tak sedramatis Perkelahian dengan Singa. Gerak pada lukisan Raden Saleh tampak pada geliat kuda yang meringkik dan gerak balik singa yang meraung terkena peluru. Sedangkan pada karya Basoeki, wajah Rahwana dan kepala burung garuda tak mengesankan "antara hidup dan mati". Lukisan ini terasa lebih melukiskan kecantikan Sinta, dan otot kaki serta tangan Rahwana.

Dan itulah salah satu yang menandai koleksi Istana (baca: Bung Karno). Dua karya patung menunjukkan hal itu, karya seni yang ekspresif dengan sosok berotot: Penombak karya Roberto Juan Capurro, pematung Argentina; dan Pemanah karya Zsigmond Kisfaludi Strobl, pematung Hungaria.

Dalam tiga kali pameran karya seni rupa koleksi Istana (tahun ini, 2017, dan 2016), ribuan karya diseleksi. Tak gampang menyajikan sebuah pameran yang merupakan "kesatuan" dari sebuah koleksi besar yang sebagian besar terbangun oleh pilihan seorang pencinta seni, Bung Karno, ditambah hadiah dari berbagai pihak. Kalaupun dalam koleksi itu ada yang mewakili selera lain, presiden sesudah Sukarno misalnya, setahu saya hanya ada beberapa. Dari tujuh jilid buku koleksi Istana (dua jilid merupakan hasil kerja Dullah, pelukis realis yang menjadi kurator Istana; dan lima jilid hasil kerja Lee Man Fong, pelukis dengan beragam gaya yang menggantikan Dullah), terasa bahwa selera Bung Karno yang banyak terwakili adalah lukisan perempuan-perempuan berwajah ayu, bertubuh aduhai, dan tak sedikit yang digambarkan dengan busana seadanya, bahkan tanpa busana. Jenis lukisan kedua: pemandangan nan indah permai. Lalu lukisan perjuangan perang kemerdekaan yang menggambarkan suasana garis depan, juga garis belakang. Kemudian figur-figur penting, para pahlawan bangsa. Selebihnya adalah gambaran kehidupan sehari-hari, rumah adat, dan yang diwakili oleh lukisan Raden Saleh: lukisan yang ekspresif dan dramatis. "Statistik" ini bukan hasil penelitian, melainkan hanya kesan yang sangat mungkin kurang akurat dalam hal peringkat.

Dan semua itu sudah terwakili dalam tiga kali pameran koleksi Istana di Galeri Nasional Indonesia. Yang paling gampang diterima adalah pameran yang pertama, 2016, karena jelas temanya: "Goresan juang Kemerdekaan". Yang kedua, "Senandung Ibu Pertiwi", menampilkan koleksi lukisan pemandangan, ragam hidup sehari-hari, juga budaya dan identitas. Pada pameran kedua ini terasa lukisan pemandangan mendominasi ruang pamer. Bukan hanya lukisan pemandangan dalam gaya realis, tapi juga yang bergaya dekoratif (lukisan Kartono Yudhokusumo, misalnya).

Sedangkan pameran ketiga, sekarang ini, mengemukakan tema "Perjuangan Bangsa Bersatu dalam Keragaman", "Bergotong Royong, Bersama Bercipta Karya", dan "Menjadi Warga Dunia Menyongsong Masa Depan".

Menyajikan sejumlah karya koleksi dalam bingkai tema, tampaknya pameran memudahkan penonton mengapresiasi karya koleksi yang-seperti sudah disebutkan-terbangun dari selera pribadi dan hadiah dari sana-sini. Akankah penonton mendapatkan suatu gambaran yang bukan hanya hasil pengamatan terhadap satu per satu karya? Saya kira tergantung bagaimana kurator memilih tema, menyeleksi karya, kemudian mengatur pemajangan dalam ruang pamer. Karena itu, yang disampaikan Presiden Joko Widodo kala membuka pameran pertama koleksi Istana pada 2016 terasa memberi arah kuratorial. Kata Presiden, karya seni bukan hanya soal keindahan, tapi bisa memberikan "nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai persatuan… dan membangun imajinasi yang indah tentang bangsa Indonesia, tentang tumpah darah Indonesia… tentang peradaban kita". Setelah tiga kali diadakan, pameran makin jelas dalam hal kuratorial: penelitian tentang latar belakang karya makin akurat hingga, misalnya, ada perbaikan judul dan riwayat karya yang masuk Istana. Ini masih perlu dilanjutkan. Beberapa karya, misalnya, tak diketahui tahun penciptaannya.

Walhasil, lewat tiga kali pameran itu terasa bahwa yang tersimpan di Istana berharga untuk dimasyarakatkan. Pameran pertama mengingatkan kita kembali soal harga kemerdekaan yang mesti ditebus dengan pengorbanan jiwa-raga. Pameran kedua, menurut hemat saya, adalah soal rasa syukur bahwa kita memiliki negeri dengan lingkungan yang sehat dan permai, dengan masyarakat yang beragam budayanya. Yang ketiga, selain menghadirkan tokoh-tokoh bangsa dalam lukisan figur, menampilkan karya yang punya kaitan dengan negara-negara lain, dengan dunia, dengan masa depan.

Pertanyaan kemudian, sesudah tiga kali pameran itu: masih adakah tema yang relevan dengan zaman yang bisa dicerminkan oleh karya seni rupa koleksi Istana? Bisa dibilang koleksi Istana berhenti pada Bung Karno. Tambahan koleksi sesudahnya boleh dibilang tak banyak berarti. Apalagi perkembangan seni rupa tampaknya tidak mudah masuk Istana-tanpa presiden semacam Bung Karno-ketika zaman bergerak dengan masalah-masalah baru dan perkembangan seni rupa yang begitu beragam dalam hal media dan gagasan-gagasannya. Dinding-dinding Istana di Jakarta ataupun di luar Jakarta mungkin sudah sulit memberi ruang kepada koleksi baru.

Seandainya masih bisa ditemukan tema-tema pameran untuk koleksi Istana, pada suatu saat tampaknya hal itu akan mentok karena "keterbatasan" koleksi tersebut. Sampai di sini, sebuah museum koleksi Istana bisa jadi diperlukan, dan sudah pasti museum ini akan menjadi museum "klasik". Menengok perkembangan saat ini, museum koleksi Istana akan menjadi salah satu yang cukup mewakili, setelah di Jakarta ada Museum MACAN yang modern dan kontemporer, museum koleksi Ez Halim di Citeureup, museum koleksi Orion dan Museum Tumurun di Solo, serta dengan catatan agar koleksi ditinjau kembali autentik-tidaknya, Museum OHD di Magelang.

Sudah barang tentu, untuk koleksi Istana, negara perlu menyediakan cukup dana, kebijaksanaan yang plural, serta pemahaman akan seni rupa yang luas wawasannya agar bisa diterima oleh seluruh masyarakat. Yang disebut terakhir itu khusus berkaitan dengan koleksi lukisan dan patung figur yang berselimut alami alias tanpa busana.

Bambang Bujono, Pengamat Seni Rupa

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus