Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIIRINGI bait puisi Umbu Landu Paranggi yang dinara-si-kan suara Jefri Nichol, se--rangkaian gambar puitis Sumba Timur membuka film dokumenter berjudul The Woven Path: Perempuan Tana Humba. Mengutip karya penyair asal Sumba Timur itu adalah sebuah pilihan tepat karena film ini menjanjikan dua hal: kebudayaan Sum-ba Timur dan para perempuan Sumba yang berperan penting dalam kehidupan kawasan yang tengah menjadi perhatian sineas tersebut.
Serangkaian gambar dengan scoring liris dari Thoersi Argeswara itu kontras, keindahan sabana seolah-olah bertemu dengan ujung langit biru Sumba. Per-ke-nalan dengan gambar dan warna kain Sumba serta warganya pada sepuluh menit pertama hampir seperti sekumpulan sketsa lanskap kebudayaan Sumba, terutama bagi penonton Indonesia yang sama sekali tak pernah mendengar atau menyentuh bagian timur Indonesia yang luar biasa ini—tentang Marapu, pasola, tenun, dan padang sabana yang terus-menerus menarik para sineas membentangkannya pada layar putih mereka.
Sumba memang sudah cukup lama menjadi setting pilihan sineas Indonesia. Sutradara Garin Nugroho pada 1994 memulainya dengan film Surat untuk Bidadari karena, bagi dia, “Sumba penuh paradoks, ada tradisi kuat tapi kita juga bisa menyaksikan simbol modernitas, seperti parabola; ada kesetiaan tapi ada juga kekerasan.” Tak mengherankan dia melahirkan ide cerita Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dengan mengambil lokasi di Sumba, yang kemudian disutra-darai Mouly Surya pada 2017.
Produser Mira Lesmana merasa Sumba Timur hampir seperti “rumah kedua” bagi-nya. “Saya jatuh cinta pada Sumba,” kata-nya menjawab pertanyaan mengapa sejumlah film produksinya mengambil Sumba sebagai lokasi, seperti Pendekar Tongkat Emas (Ifa Isfansyah, 2014) dan yang akan beredar tahun ini, Humba’s Dream (Riri Riza, 2019). Menurut Mira, Sumba adalah salah satu wilayah di timur Indonesia dengan kelengkapan cerita. “Budaya Marapu yang masih dipraktikkan hingga hari ini dan menjadi bagian dari kehidupan sehari hari,” ucapnya. Mira juga tertarik pada lanskap alam Sumba yang tiada duanya. Begitu cintanya Mira pada Sumba sampai-sampai dia minimal setahun sekali berkunjung ke sana. “Kadang-kadang lebih dari satu kali”.
Adapun Lasya Susatyo mengatakan ke-tertarikannya mengangkat kisah tenun, perempuan, dan kebudayaan Sumba Ti-mur berawal dari aktivis perempuan Olin Monteiro yang, “Sudah bertahun-tahun melakukan penelitian tentang perempuan dan kebudayaan di Sumba.” Seperti Mira Lesmana, Lasya mengagumi Sumba dengan padang sabananya yang selalu mem-perlihatkan kuda yang berlari lepas serta masyarakatnya yang masih lekat dengan tradisi yang tengah mengalami transisi. Tapi, yang lebih memikat, Lasya menemukan bagaimana “para mama yang masih bekerja sangat keras menopang kehidupan masyarakat dan hidupnya sen-diri”. Lasya merasakan bagaimana para perempuan tengah menggeliat atas “per-aturan tradisi yang berimbang”.
Maka, bekerja sama dengan Olin Mon-teiro dan produser Mandy Marahimin ser-ta didukung Ford Foundation, Lasya ber-upaya mendokumentasikan kebudayaan Sumba Timur lewat film ini. Kita melihat ritual tarik batu yang merupakan bagian dari pemakaman saat jasad dikuburkan di bawah batu besar keluarga, ritual para perempuan yang menenun, serta upacara perkawinan dan diskusi tentang belis.
Belis, yang agaknya mendominasi dis-kusi dalam dokumenter ini, adalah tradisi seserahan dalam pernikahan masyarakat Sumba. “Biasanya seserahan berbentuk kuda,” ucap Olin, yang beberapa tahun terakhir melakukan penelitian tentang pe-rempuan Sumba. “Pria yang ingin memi-nang perempuan Sumba wajib memberi-kan sejumlah hewan ternak sebagai se-serahan, dari kerbau, sapi, hingga kuda Sandalwood atau pasola,” tuturnya.
Selebihnya kita melihat beberapa nara-sumber, antara lain Rambu Margaretha, Sarah Hobgen, dan Rambu Ana, yang mem-berikan pendapat tentang posisi perem-pu-an dan mengapa belis mulai menjadi per-soalan bagi generasi muda ketika permin-taan seserahan menjadi begitu tinggi.
Rambu Ana, salah satu perempuan muda yang merupakan putri Tamu Rambu Mar-garetha, Mama Raja Prailiu, misalnya, lebih terbuka mempertanyakan bagaimana pe-rempuan diharapkan untuk patuh saja. Rambu Ana mungkin mewakili generasi muda perempuan yang mulai menyatakan keberatan atau mempertanyakan hal-hal yang tak disetujuinya dalam ketentuan di hidupnya.
Film sepanjang 30 menit ini sesungguh-nya sebuah perkenalan awal yang, menu-rut Lasya, lebih ditujukan kepada anak sekolah. Itu sebabnya mungkin film ini masih berbentuk “perkenalan” pada Sum-ba ketimbang betul-betul menyorot per-soalan “Perempuan Tanah Humba” seper-ti judulnya (sebab, bukankah jika memang film ini tentang perempuan, kita ingin mengetahui bagaimana peran perempuan sebagai istri dan ibu, bagaimana pendidikan anak, bagaimana sikap mereka terhadap pendidikan bagi perempuan, siapakah yang sesungguhnya bertugas mencari naf-kah dalam keluarga, dan seterusnya?). Pada dasarnya, ketika judul dengan ele-men gender seperti “perempuan” diguna-kan, dengan sendirinya pertanyaan men-dasar pertama yang diutarakan adalah “bagai-mana pembagian kerja dan peran antara lelaki dan perempuan di daerah tersebut?”.
Bagaimanapun, upaya perkenalan pertama ini tetap sesuatu yang bagus dan menimbulkan keingintahuan penonton awam, seperti saya, untuk mengetahui lebih jauh kebudayaan Sumba yang tampaknya menjadi magnet bagi para sineas terkemuka di Indonesia.
LEILA S. CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dok Tanakhir Films
The Woven Path: Perempuan Tana Humba
Sutradara : Lasya Susatyo
Skenario : Lasya Susatyo
Produksi : Tanakhir Films
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya….
(“Ibunda Tercinta”, Umbu Landu Paranggi, 1965)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo