Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Subkultur yang Cair

Sebuah pameran besar grafis berlangsung di Galeri Nasional dan Bentara Budaya Jakarta. Dari situ orang dapat membaca sejarah dan kecenderungan grafis kita.

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wen Peor. Karya-karya grafis perupa Lekra itu ditemukan oleh kurator Hafiz setelah meriset majalah-majalah lama di perpustakaan H.B. Jassin. Pada 1960-an, Wen Peor banyak mengirim karyanya untuk menghiasi majalah Zaman Baru.

Di Galeri Nasional Jakarta, 1-15 November, karya-karya lama itu bisa disaksikan pada pameran Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil. Tidak disebutkan apakah karyanya di Zaman Baru itu bagian dari ilustrasi cerpen atau artikel atau disajikan di halaman tersendiri. Namun, melihat karya Wen Peor Petani dan Buruh yang Bangkit, kita pun teringat pada poster-poster buatan komunitas Taring Padi di Yogya.

Yang menarik, karya Wen Peor itu juga terasa segereget dengan karya-karya grafis Kelompok Marginal, sebuah komunitas punk rock di Depok, yang pada kesempatan itu juga memamerkan karyanya. ”Kami sama sekali tidak mengetahui karya-karya Wen Peor,” kata Mike dari Kelompok Marginal. ”Poster pertama yang kami buat malah wajah Saut Sitompul,” ujarnya. Saut adalah alumnus Jurusan Musik Institut Kesenian Jakarta yang dikenal sebagai penyair jalanan. Ia mati secara tragis, ditabrak mobil di suatu subuh. Wajah Saut dalam poster Marginal ditampilkan dengan kata-kata: ”Tulis!”

Kelompok Marginal juga pernah membuat poster menampilkan sosok Sutardji Calzoum Bachri membaca puisi di depan podium. Gambar Tardji diambil dari sampul buku puisi O, Amuk, Kapak yang menampilkan ekspresinya yang liar dan ganas. Mereka juga terutama membuat poster bergambar ikon-ikon punk, seperti tengkorak, sepatu bot, dan seruan-seruan penyadaran agar menjadi diri sendiri.

Aktivitas Kelompok Marginal membuktikan seni grafis tak mati. Seni grafis dalam sejarah seni rupa kita tidak pernah menjadi mainstream, tapi tetap bertahan menjadi medium utama komunitas-komunitas subkultur. Poster-poster ”perlawanan” yang mereka buat digandakan dengan cara tradisional cetak saring atau cukil kayu. Kelompok punk rock Marginal bahkan menunjukkan keluwesan menggunakan media. Selain dengan cetak saring, mereka menggunakan komputer. Setelah tercetak di kertas, gambar-gambar itu mereka scan, lalu diolah untuk dijadikan gambar kaus. Kaus-kaus itu dijual untuk menghidupi komunitas mereka.

Mungkin begitulah, teknik grafis tradisional harus terbuka dengan perkembangan terbaru. Dalam diskusi pameran, Aminudin T.H. Siregar, kurator Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, menganggap dunia grafis harus mereposisi diri. Ia melihat perkembangan grafis yang hanya terbatas pada teknik pencetakan tradisional: relief (nukilan), intaglio, planografi (litografi), dan serigrafi (sablon) akan mempermiskin dunia grafis sendiri. Baginya, dunia grafis kita harus membuka jalan bagi media-media baru, seperti pencetakan digital, fotografi, animasi, seni video, dan seni web.

Apa yang dikatakan Aminudin itu ada benarnya. Pameran Forum Grafik Desain 2007 di Jakarta Convention Center, Agustus lalu, memperlihatkan mesin-mesin grafik digital buatan Cina yang canggih menyerbu Indonesia. Mesin-mesin ini mampu menghasilkan cetakan 12 warna, merealisasi efek apa pun, menggandakan gambar dalam ukuran besar-besar. Dalam kesempatan itu dipamerkan poster-poster dari Korea dan Jepang yang banyak memanfaatkan kecanggihan mesin-mesin ini.

”Kita harus membangun paradigma baru dalam seni grafis yang lebih cair agar seni grafis lebih terbuka, fashionable,” kata perupa Agung ”Leak” Kurniawan. Ia mengusulkan grafis mulai kini diterjemahkan sebagai graphic art, bukan print making. Menurut dia, seniman-seniman ASRI pada 1950-an dan 1960-an sebetulnya terbuka pada media grafis apa pun. Tapi entah kenapa pada perkembangannya seni grafis kemudian menjadi print making saja.

Pameran ini memperlihatkan riset hampir semua pelukis senior kita, seperti Mochtar Apin, G. Sidharta, Suromo, dan Widayat, pada mulanya juga memproduksi karya grafis. Persoalannya, mereka hanya sebentar dan kemudian beralih lagi ke kanvas, sebelum memiliki karya-karya puncak dalam dunia grafis.

Itu yang mungkin berbeda dengan dunia grafis di Slovakia. Pada Februari 2006, Duta Besar Slovakia Peter Holasek membawa ratusan karya grafis kontemporer Slovakia untuk dipamerkan di Galeri Cemara. Karya-karya itu dibuat dengan berbagai teknik, mulai etsa, cukil kayu, cetak offset, litografi, hingga digital komputer. Temanya beragam: simbolis, folklor, surealis, abstrak. Di situ dapat kita lihat pegrafis muda Slovakia yang bertolak dari cetak tradisional dan digital sama kuatnya.

Pernah juga Erasmus Huis, Jakarta, memamerkan 81 etsa Rembrandt yang dimiliki Rembrandt House, Belanda, untuk memperingati 400 tahun kelahiran Rembrandt. Etsa-etsa Rembrandt menggunakan teknik dry point. Rembrandt banyak melakukan eksperimen di pelat tembaga agar gambar capnya nanti bisa mencapai efek-efek seperti orang menggambar dengan pensil, seperti gradasi yang menimbulkan efek hitam, samar-samar, kontras, gelap-terang. Kurator pameran mengatakan pencapaian etsa-etsa Rembrandt tidak kalah dengan lukisan. Dan sampai kini masih diburu oleh kolektor.

Memang, meski muncul teknik-teknik grafis baru, teknik tradisional seperti ”cukil kayu” masih membuka kemungkinan eksperimen. Itu juga diakui oleh Aminudin T.H. Siregar. Tanpa harus menghilangkan dasar-dasar cukil, membuka diri terhadap inovasi digital adalah keharusan zaman. ”Siapa tahu ada hal-hal baru dalam perkembangan teknik print making,” katanya.

Di pameran ini, kita dapat membandingkan karya-karya grafis baru yang bertolak dari cetak digital, seperti karya F.X. Harsono atau Henry Irawan, dengan karya-karya teknik tradisional tapi dengan visi baru. Karya Sri Maryanto berjudul Mati Tersenyum (2003), misalnya, sangat menarik. Karya cukilan hardboard-nya menampilkan gambar seorang dokter tengah berusaha menutupi tubuh seorang ”punk rock” yang terbujur kaku di sebuah kamar dengan kain putih. Di sampingnya berserakan majalah porno dan buku-buku diet. Terasa sekali bahwa efek yang ditimbulkan ”cukilan tradisional” itu memang lain.

Seno Joko Suyono, Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus