Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI KILOMETER 0,0 Penulis: Andi A. Mallarangeng Penerbit: Indonesian Research and Development Institute, Oktober 2007 Tebal: xvi + 302 halaman
NAMANYA Widodo Sumardjo, insinyur muda lulusan Universitas Gadjah Mada yang mendapat tugas belajar di Kuba pada 1960. Lima tahun kemudian, gelar doktor sudah digondolnya. Widodo bersiap pulang. Apalagi seorang gadis bernama Widari Suwahyo sudah menunggunya di Jakarta. Pernikahan di ambang mata. Tapi peristiwa G-30-S telanjur meletus. Mimpi Widodo hangus. Paspor Orde Lama yang dimilikinya tak lagi berlaku, sedangkan paspor pengganti dari Orde Baru tak kunjung keluar. Widodo terdampar di negeri orang, tanpa kewarganegaraan.
Bayangan pernikahan ikut karam, meski kesetiaan Widodo terhadap Widari bertahan hingga setengah abad. Tahun lalu, saat bertemu dengan Andi Alifian Mallarangeng, yang sedang berkunjung ke Kuba, ia berpesan, ”Sampaikan salam saya, dan katakan padanya, saya masih setia.” Andi menuliskan ini dalam ”Cinta yang Terhalang di Kuba”, kolom yang ditulisnya bertitimangsa 25 September 2006. Bagus sekali, Andi tak terjebak pada melankoli semata. Ia menautkan problem itu dengan instruksi Presiden Yudhoyono kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk segera mengevaluasi status orang-orang seperti Widodo agar bisa mendapatkan paspor Indonesia secepatnya.
Kini kolom itu, bersama 65 topik lainnya dari rentang Mei 2006-September 2007, terbit dalam sebuah buku mewah berjudul Dari Kilometer 0,0, judul yang diambil dari nama kolom tetapnya setiap Senin di harian Jurnal Nasional. Sebagai kompilasi kolom, buku ini seharusnya istimewa mengingat dua hal.
Pertama, Andi pernah dikenal sebagai pengamat politik yang andal, baik sebagai pembicara maupun penulis. Kedua, ia menimbang jabatannya kini sebagai juru bicara presiden. Ini posisi yang menyebabkan doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University itu bisa menjelaskan—meminjam ungkapan sosiolog Erving Goffman—kejadian di ”panggung belakang”, sebuah wilayah dengan akses sangat terbatas bagi publik.
Kesempatan terbuka, tapi sayang bekas Ketua Umum Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan ini sering kehabisan stamina untuk menggali kisah-kisah ”panggung belakang” yang menarik. Seperti kisah Widodo-Widari, atau pesan pendek seorang perempuan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono yang meminta agar dibuat Undang-Undang Perlindungan... Istri Muda (dalam ”Gambut, Media, Dll”).
Yang kerap muncul adalah atraksi verbal, terutama pada bagian ending, yang menyebabkan Andi terlihat bak seorang fan mabuk kepayang (”Selamat ulang Pak SBY, selamat ulang tahun pemimpinku”, dalam ”Ulang Tahun Presiden SBY”); terkadang centil (”Besok-besok, jika ada yang bertanya, di mana Presiden SBY pada hari terjadi gempa? Jawabannya jelas, di garis depan, Yogya! Bagaimana dengan jubirnya? Selalu siap di mana pun Presiden berada”, dalam ”Berkantor di Yogya”). Contoh seperti ini bertebaran di banyak kolom, karena Andi tak cukup yakin bahwa pembaca menunggu ulasan seorang juru bicara presiden yang menghidangkan suasana ”panggung belakang” dengan kecerdasan seorang pengamat politik—bukan kegairahan seorang petugas humas.
Sensitivitas Andi pada beberapa topik juga perlu diuji ulang. Senyampang menyodorkan ”Menikmati Piala Dunia”, Andi justru melupakan (atau memang mengabaikan?) bagaimana ”panggung belakang” yang tercipta antara Zinedine Zidane dan Presiden Yudhoyono. Kedatangan dua Nobelis, Muhammad Yunus dan Joseph Stiglitz, ke Jakarta beberapa bulan lalu ternyata juga tak cukup menarik minat Andi untuk menuangkannya ke dalam sebuah kolom yang inspiratif. Memang ini sebuah pilihan yang tak mutlak harus dilakukan.
Namun tak terhindarkan kesan bahwa ini adalah sebuah buku yang disunting terburu-buru. Entah untuk mengejar momentum tiga tahun pemerintahan Yudhoyono-Kalla yang jatuh persis Oktober lalu, atau karena pertimbangan lain. Simaklah bagaimana pada ”Perkawinan dan Kematian” Andi membuka kolomnya sebagai berikut: Tahukah Anda acara sosial apa yang paling sering dilakukan oleh Presiden SBY? Jawabannya adalah: perkawinan dan kematian. ”Dilakukan” jelas bukan kata yang tepat, karena yang dimaksud pastilah ”dihadiri”.
Kesalahan terparah adalah karena pada 20 artikel mulai Januari hingga Mei 2007, berarti hampir sepertiga buku, semua penanggalan keliru karena menuliskan 2007 dengan 2006. Ini jelas bukan kesalahan Andi sebagai penulis, melainkan editor yang ceroboh.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo