Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Seni di Indonesia dan Sebuah Lubang Besar

Telusur yang telaten tentang gagasan kesenian. Belum sepenuhnya bebas dari jebakan Eurocentrism.

26 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan tebal hampir seribu halaman, Sejarah Estetika menelusuri dengan telaten sejarah pemikiran seni dengan bahasa yang enak, paparan yang lancar, dan memiliki nilai-guna yang boleh dibilang tinggi untuk jadi pegangan berpikir para dosen dan mahasiswa filsafat atau seni, para kritikus, dan para seniman supaya tidak mengandalkan kibul-kibul istilah dan pemikiran kabur dalam menyampaikan gagasan tentang seni. Martin menawarkan peta pemikiran yang terang dan siap pakai.

Lebih dari sekadar tebal, ada dua sumbangan penting buku ini dalam percakapan kesenian kita. Pertama, Martin memilih sikap dasar yang tak mengungkung "Estetika" dalam pengertian lazim sebagai "filsafat keindahan". Martin lebih memilih makna "Estetika" sebagai "filsafat seni". Dengan pilihan ini, Martin juga menepis jebakan bias gagasan keindahan yang dikembangkan kelas tertentu, melalui kodifikasi dan penguasaan media, yang cenderung menggusur gagasan keindahan di luar kelas tersebut.

Sumbangan kedua, Martin memberi ruang sangat luas untuk mengulas sejarah Estetika Marxis (halaman 489-684). Dalam konteks Indonesia, yang sejak 1965 selalu punya paranoia pada segala yang berhubungan dengan Karl Marx, hal ini penting. Pembasmian PKI oleh rezim Soeharto sungguh total, sehingga khazanah seni dan pemikiran seni aliran Kiri digusur, dikampanyekan sebagai Setan Besar, dan mengangakan lubang besar dalam kebudayaan Indonesia masa kini.

Padahal sumbangan Estetika Marxis sangat besar dalam membangun kesadaran kritis terhadap kesenian. Melalui Estetika Marxis, seni kontemporer, misalnya, bisa dibantu mengatasi kegagapan memposisikan diri dalam masyarakat dan tak perlu memikul beban mitos-mitos seni adiluhung lagi.

Martin seakan-akan menambal lubang besar itu. Estetika Marxis dikenalkan sejak para pemikir sebelum masa Karl Marx yang kurang dikenal di Indonesia, seperti N.G. Chernyshevsky dan Gustave Courbet. Lalu melintasi Karl Marx dan para pemikir yang mungkin hanya kita kenal nama karena pikiran mereka diharamkan negara ini, seperti Stalin dan Lenin. Terus melintasi Estetika Soviet dan Estetika Marxis Barat dengan nama-nama Georg Lukacs, Bertolt Brecht, Walter Benjamin, dan seterusnya.

Bahkan Martin mengenalkan juga pemikiran kesenian para filsuf Estetika Marxis terkini pada masa penulisan buku ini, 2014 (Martin menulis setahun penuh buku ini!), seperti Alan Badiou dan Slavoj Zizek. Hanya dari bab Estetika Marxis, para peminat seni bisa membangun percakapan yang ramai tentang perkembangan seni di Indonesia saat ini. Malah, di bagian akhir, ada tambahan kilasan gagasan seni menurut Lekra. Bisa lebih ramai wacananya jika menyertakan keramaian gagasan di Lekra.

Martin menuntaskan telusur ini hingga Estetika Feminis, Estetika Analitik, dan Estetika Anglo-Amerika yang agak menyempal dari Tradisi Besar pemikiran Estetika di Eropa. Tapi ketuntasan ini pula yang membuka lubang lain.

Secara keseluruhan, Sejarah Estetika adalah sebuah narasi yang padu tentang perkembangan gagasan tentang seni dalam alur filsafat yang berpusat di Eropa. Tolok ukurnya dengan menilik daftar nama filsuf dan aliran filsafat yang dibahas buku ini. Kebanyakan adalah pemikir Eropa.

Ketika Martin membahas seni masa prasejarah dalam bentuk perkakas batu pertama dari era Paleolitik, sudut pandangnya dari pijakan pemikiran Eropa, yang mengakar pada filsafat Yunani Antik dan Periode Helenis. Pilihan pijakan itu masuk akal.

Di satu sisi, sejarah mencatat bahwa ungkapan sadar tentang estetika sebagai disiplin kajian memang pertama kali disampaikan Baumgarten (1714-1762), orang Eropa tentu. Bukan sekadar soal ras, tapi Baumgarten berdiri di bahu sejarah panjang pemikiran seni di Eropa. Wajar jika sebuah narasi tentang sejarah estetika berpijak dari ranah pemikiran Eropa.

Di sisi lain, Martin juga cukup peka atas "bias modernitas" saat menilai khazanah seni dari masa di luar alur sejarah Eropa dan belahan bumi non-Eropa. Ada kesadaran kritis terhadap sejarah pemikiran dan sejarah sosial Eropa ketika Martin memilih pijakan Eropa tersebut. Jadi jebakan Eurocentrism (pandangan yang menjadikan Eropa sebagai pusat) telah diperhitungkan dalam buku ini.

Ketika Martin mengupas Estetika India, ia berargumen bahwa estetika itu relevan sebagai gagasan besar yang sangat berpengaruh di Nusantara selama masa pra-Islam. Tapi, bagaimana jika Nusantara, atau katakanlah Asia Tenggara, adalah sebuah kolam estetika sendiri, yang sama rumitnya dengan kolam gagasan seni di Eropa, India, atau Cina, atau entah mana lagi?

Dengan kata lain, buku Martin ini menyisakan pe-er lanjutan: pencarian kemungkinan adanya Estetika Nusantara atau Asia Tenggara. Beberapa tradisi pemikiran di Nusantara, dan Asia Tenggara ataupun Asia secara keseluruhan, sedang mengalami pergesekan, perjumpaan, perubahan.

Kita bisa melihat gejalanya antara lain pada perkembangan terkini Teater Garasi, film-film eksperimental dari sineas muda yang mengolah kelokalan secara intens, komunitas Akar Pohon dan Pasir Putih di Lombok, atau karya-karya Eka Kurniawan. Semua itu melahirkan sekaligus lahir dari gagasan-gagasan tentang seni yang patut diteliti lebih jauh sampai ke akar mereka.

Bagaimanapun, buku Martin ini bisa jadi titik berangkat untuk lebih jauh memikirkan seni di Indonesia, walau memang agak sukar mendapatkan buku ini karena tak beredar di toko buku kebanyakan. Saat ini Sejarah Estetika hanya dapat dibeli lewat pemesanan langsung ke penerbit.

Hikmat Darmawan, Direktur Kreatif Pabrikultur, Wakil Ketua Koalisi Seni Indonesia


Sejarah Estetika
Penulis: Martin Suryajaya
Penerbit: Gang Kabel dan Indie Book Corner, 2016
Halaman: 915 + xxviii

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus