Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Pasca-Avant-gardist Asmudjo

Bagi Asmudjo Irianto, "apa pun boleh" untuk seni. Mereka yang mengharapkan kecanggihan imajinasi atau kedalaman ide akan terganggu melihat kebanalan Asmudjo.

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum resmi tercatat sebagai mahasiswa seni rupa, Asmudjo Jono Irianto rupanya sudah alergi terhadap para "genius". Konon, dia memilih belajar di Studio Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, yang minus para "master", bukan karena tak mampu menggambar. Jika cerita itu benar, gagasan sangat dini menolak para genius tentunya boleh dibilang "genius".

Pada 1990, ia lulus sebagai seniman keramik, lalu mengampu mata kuliah sejarah seni rupa, apresiasi, dan kritik seni di almamaternya. Pada pertengahan 1990-an, Asmudjo—kelahiran Bandung, 1962—memulai kariernya sebagai kurator seni rupa merangkap seniman dan produsen tungku keramik. Ia pekeramik ahli dan giat menyuluhi para perajin di sentra-sentra keramik yang meredup di berbagai daerah dari Jawa, Lombok, sampai Kalimantan. Segera tampak pembelaan dan perhatiannya yang lebih pada medium yang tidak populer di kalangan perupa itu. Sejak tahun 2000-an, ia gencar mempromosikan gagasan di wilayah abu-abu, yakni persilangan seni dan kriya, wacana seni rupa dan desain, menautkan praktek dominan dan pinggiran.

Pameran tunggalnya yang pertama, "Kleptosign" (2000), yang berkeliling di beberapa kota (Galeri Barak, Bandung; Galeri Lontar, Jakarta; dan Cemeti Art House, Yogyakarta), boleh dibilang telah membuka wacana baru dan kemungkinan berkarya perupa muda di Indonesia. Asmudjo memperkenalkan strategi apropriasi dalam berkarya, yakni seni yang terang-terangan mengutip, menduplikasi, dan memulung karya-karya populer seniman mapan untuk menciptakan, antara lain, semacam olok-olok dan ironi di dunia seni.

Seni, menurut dia, perlu ditulis ulang berkenaan dengan gagasan mengenai "tamat"-nya seni, pudarnya struktur "meta" yang selama itu ditopang oleh narasi-narasi adi, dan kesadaran akan fragmentasi identitas sang subyek (seniman) itu sendiri. Asmudjo yakin seyakin-yakinnya bahwa seni di masa kini tidak memiliki parameter apa pun, bukan lagi sejenis fenomena khas "budaya tinggi" yang dipercaya mengandung nilai-nilai (estetik) atau makna yang bisa dilembagakan, yang membedakannya dengan yang "bukan seni". Seni sudah berkompromi dengan apa saja dan karena itu konfigurasinya bisa semau-mau seniman atau semau gue.

Karena nirparameter dan para genius pun sudah pergi, seniman bisa bertindak apa saja di dunia seni. Intensinya adalah sekadar pengakuan dan hasratnya tak lain sensasi harga di pasar seni. Pengakuan boleh datang dari kalangan mana saja dan tidak ada nilai yang mesti dianggap lebih sahih dari yang lain. Semboyan pasca-avant-gardist yang selama ini dipegang teguh oleh Asmudjo adalah pada seni berlaku semacam rumus (atau bukan rumus), yakni "apa pun boleh".

Bagi Asmudjo, tampaknya gagasan ini sebenarnya adalah cara seni "bertahan" terhadap gempuran dari medan sosial seni yang didominasi paradigma ekonomis, yang dipercaya telah mengubah cara pandang dan praktek berkarya seniman. Pendeknya, pada seni di masa kini sudah berlaku deontologi terhadap esensialisme seni, dengan semua konfigurasinya yang mustahil bisa dibatasi. Gejala yang disebut estetik adalah sesuatu yang jamak, berkat, misalnya saja, pesatnya perkembangan teknologi reproduksi, yang disebut oleh Gianni Vattimo sebagai general aestheticization of existence.

Anomali dan penjungkirbalikan seni semacam itulah yang menjadi panutan Asmudjo berkarya. Pada pameran "Unoriginal Sin II, Art in the Expired Field (Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, 28 November-28 Desember 2014, kelanjutan dari pameran di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Maret-April lalu), sang seniman menunjukkan cara berkarya yang lepas-bebas dari citra-citra seni yang selama ini dianut banyak seniman. Ia menyingkirkan semua atribut yang masih dipercayai melekat pada seni: keindahan, kesubliman, selera tinggi, kecanggihan, kehalusan, dan kejutan.

Sang seniman memilih citra banal, kasar, palsu, tempelan, kutipan, dan bahkan sampah seniman lain. Bagi Asmudjo, berkarya seni tidak memerlukan justifikasi apa pun mengenai apa itu seni. Seni sepenuhnya percaya pada kontingensi bahasa atau bahkan sangat mungkin berada di luar intensi-intensi senimannya sendiri. Intensi adalah intensi di luar intensi. Karena batasan mengenai seni boleh ditetapkan oleh siapa pun di dunia seni, seni menjadi gelanggang yang bebas untuk bermain.

Ia membuat edisi "orisinal" sosoknya sendiri dengan atribut yang sudah dikenal semua orang: topi bundar, kacamata lebar, baju kaus yang digulung, celana jins, dan sepatu bot. Sang seniman berdiri kaku, tanpa makna, menjunjung buku-buku loak, barang pecah belah yang bisa dibeli di toko, perangkat musik jadul, atau artefak yang ditemukan di studio seniman lain. Itu seri karyanya yang diberi tajuk Untitled dan One Man Band (2014) yang bersuara sember dan tampaknya tidak diniatkan untuk menghidup-hidupkan atau memaknai sebuah patung atau obyek. Pada karya yang lain, Untitled #3 (Masya-allah!!), yang dibuat tahun ini, sang seniman nekat melucuti celananya. Citra digital yang gelap seperti hasil cetakan gagal terpacak di atas piring-piring keramik putih, mengingatkan kita pada dekorasi rumah orang kaya baru atau poster seronok di pojok bar.

Asmudjo tidak bersedia memisahkan citra karya dari sosok kesehariannya yang di kalangan seni rupa telanjur dikenal semau gue. Relasi timbal-balik atau korespondensi yang gamblang seperti itu seakan-akan ingin mengguncang problem regresi "rujukan diri" yang cenderung membayangkan ada sesuatu di balik representasi.

Baginya, sikap lepas-bebas yang selama ini ditunjukkan—sebagai pengajar dan kurator—adalah caranya berkomunikasi secara "kritis" dengan para mahasiswa dan seniman untuk tidak ragu-ragu memasuki dunia seni rupa yang serba boleh. Cara itu pulalah yang dia gunakan untuk berkomunikasi dengan penonton karyanya.

Pada karya Guru Kencing Berdiri (Tapi Malu-Malu), 2014, ia memamerkan terang-terangan "hasrat" seninya dengan melorotkan celana, dan cahaya lampu LED yang kebiruan memancar sebagai representasi air "seni". Di depannya, patung perempuan muda telanjang dan berwarna putih mengacungkan jempol ke arahnya. Itu dia hasrat sang "master" yang menunjukkan identitas "hiperreal"-nya untuk menginspirasi calon-calon seniman. Kebanalan Asmudjo tidak tanggung-tanggung. Pada beberapa bagian patungnya yang cuil atau gempal, dia menempelkan Salonpas, untuk mengatasi "masuk angin".

Siluet sang seniman muncul melalui medium neon-sign, berpendar meriah seperti pasar malam. Gaya seronok dan aura bikinan ini bertabrakan dengan gaya malu-malu atau priayi sosok perempuan yang dilukis di atas kanvas dan pelat seng. Itulah karya Centil Sekali dan Aku Bukan Pengemis Cinta, tapi Aku Patah Hati—keduanya diproduksi tahun ini.

Mereka yang mengharapkan kecanggihan imajinasi atau kedalaman ide akan terganggu melihat kebanalan Asmudjo. Itu mungkin rahasia keberhasilannya. Retak pada sambungan patung akan dibiarkan atau ditambal dempul yang mencolok. Pengecatan yang tidak sempurna dan membekas pada lantai bukanlah perkara serius untuk seninya. "Rasionalitas" seni, kalau ada, bagi Asmudjo, agaknya tak lebih dari sejenis nalar pragmatis hasil kompromi dengan situasi tertentu.

Gagasan seni yang sifatnya intrinsik melulu dan percaya pada intensi, bagi Asmudjo, adalah fondasi yang sudah kedaluwarsa. Praktek seni Asmudjo pun bisa disebut sebagai "anti-foundationalist". Ia berupaya menjadi relativis yang menyorongkan keaslian dari ketidakaslian sebagai obyek olok-olok.

Namun yang cukup klise, menurut saya, justru adalah upayanya mengaitkan cara kerja yang lepas-bebas itu dengan kritiknya terhadap anomali dalam seni rupa kontemporer. Bukankah situasi tanpa parameter tidak identik dengan keberagaman atau pluralitas ukuran? Kritik Asmudjo terhadap anomali seni tentu terdengar sangat serius. Yang belum tampak adalah kesungguhan menggarap proyek seni "anything goes"-nya, yang tidak lebih maju dibanding apa yang sudah dikerjakannya lebih satu dekade yang lalu.

Hendro Wiyanto, Pengamat Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus