Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA dan telinga lelaki tua itu nyaris tidak berfungsi. Kepada Tempo yang menyambangi ruang tamunya di Desa Sidomulyo, Batu, Jawa Timur, dua pekan lalu, ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman ke arah yang salah. Sedangkan tangan kirinya pendek, hanya sebatas siku. Dia juga meminta tamu berbicara lebih keras.
Nama aslinya Sakari Ono, lahir di Hokkaido, Jepang, 92 tahun lalu. Usia tak mampu membendung semangatnya bercerita tentang pengalaman hidup, terutama Perang Kemerdekaan 1945-1949. Kisah ini dituturkan dalam buku Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono karya Eiichi Hayashi, yang menceritakan kisah tentara Jepang yang membelot ke Republik. Mengutip data Yayasan Warga Persahabatan, Hayashi menyebutkan ada 903 bekas tentara Jepang yang membela Indonesia dalam Perang Kemerdekaan. Sebanyak 243 di antaranya meninggal dalam perang, 288 hilang, dan 45 pulang ke Jepang. Sisanya, sekitar 36 persen, memilih Indonesia sebagai rumah baru.
 Penggalian kisah samurai pembela Merah Putih ini berawal ketika Hayashi, 27 tahun, menjalani program belajar bahasa Indonesia selama satu bulan di Malang, Jawa Timur, pada Agustus 2004. Panitia mengajaknya menemui seorang Jepang tua di Batu, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Malang. Mengetahui tamunya dari kampung halaman, si kakek langsung menceritakan kisah hidupnya dalam bahasa ibu. "Sebenarnya waktu itu saya tidak mengerti karena beliau berbicara terlalu cepat," ujar Hayashi melalui surat elektronik. "Dia berbicara berjam-jam, sampai saya mengantuk."
Namun setumpuk buku harian milik Ono menarik perhatiannya. Saat kembali ke Jepang, Hayashi mendalami fotokopian catatan berhuruf kanji kuno tersebut. Lembar-lembar itu berisi kisah hidup si kakek selama jadi prajurit, baik saat membela Negeri Matahari Terbit maupun Indonesia. Kisah ini tidak pernah ada dalam sejarah kedua negara. Sejak itu Hayashi bolak-balik menemui Ono sampai 80 kali, dan mantan serdadu Jepang lain, baik yang masih hidup maupun makamnya. Hasilnya ditulis dalam tiga buku yang terbit di Jepang sejak 2007 sampai 2010.
 Mata tua yang terhalang katarak itu menerawang. Kejadian demi kejadian terbentang bak potongan-potongan film, yang dideskripsikan Ono dengan detail berurutan. Ceritanya mengalir dengan bantuan buku harian. Sakari mengganti nama jadi Shigeru untuk menyulitkan Sekutu mencari sisa-sisa tentara Jepang di Nusantara. Seperti desertir Jepang lain, dia mendapat nama Indonesia ketika mendaftar ke markas tentara Indonesia di Bandung, Desember 1945. Dia juga masuk Islam. Komandannya memberi hadiah berupa sarung, baju, dan kopiah. "Rasanya aneh waktu itu, tapi kami senang sudah jadi orang Indonesia," ujarnya dua pekan lalu. Logat Jepang masih kentara di setiap ucapannya.
Perang tidak hanya membuatnya kehilangan lengan kiri, tapi juga sahabat sekaligus mentor, Ichiki Tatsuo. Lahir di Taraki, Jepang, pada 1906 dan tinggal di Indonesia sejak 1920-an, Tatsuo sempat jadi Pemimpin Redaksi Asia Raya, koran tempat Rosihan Anwar bekerja. Dalam Perang Kemerdekaan, dia komandan Ono di Pasukan Gerilya Istimewa, kelompok yang terdiri atas 28 eks serdadu Jepang dan berulang kali membuat Belanda kocar-kacir. Abdurrahman, panggilan Tatsuo, tewas tertembus peluru kompeni di perbatasan Turen dan Wajak, Malang, 3 Januari 1949. Pada 1956, Presiden Sukarno mendirikan monumen di makam Tatsuo di Kuil Seisyo, Minato, Tokyo. Di sana tertulis kalimat dari sang proklamator: Kemerdekaan itu bukannya untuk satu bangsa akan tetapi untuk seluruh bangsa yang ada di muka bumi ini.
Perang yang membuatnya kehilangan tangan kiri itu berakhir setelah pengakuan kedaulatan, Desember 1949. Ono meninggalkan militer dengan pangkat letnan dua, dan kembali ke pekerjaan yang digelutinya sejak kecil, bertani. Dia tinggal di Batu, tidak jauh dari Pasuruan, tempat dinas terakhirnya sebagai Wakil Komandan Pasukan Untung Suropati 18.
Karena usianya sudah kepala tiga tapi masih jomblo, teman-teman sibuk menjodohkannya. Targetnya Darkasih, 22 tahun, janda tanpa anak yang baru ditinggal mati suaminya. Usaha pertama ditolak. "Mungkin karena tangan kiri saya tidak ada, dikira tidak bisa cari makan," ujar Ono terkekeh. Tak putus asa, dia kembali melamar Darkasih dan menikah pada 1950. Pasangan itu dianugerahi enam anak, plus 13 cucu dan empat cicit. Sang istri meninggal pada Juni 1982.
Dia mendapat uang pensiun dari negara barunya, tapi tak mencukupi bahkan untuk sekadar membeli rokok. Waktu itu dia perokok berat, sampai dua bungkus saban hari. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Ono menanam padi, sayur, dan buah di lahan milik mertua. "Saya tidak mau kalah dengan petani yang punya dua tangan," katanya sembari mengepalkan tinju. Entah karena keseringan memacul satu tangan atau bawaan lahir, tulang tangannya terlihat lebih besar daripada orang kebanyakan.
Lima belas tahun jadi petani, dia mengadu nasib di Jakarta dan bekerja di perusahaan Jepang. Di Ibu Kota, pada 1970, dia hampir kehilangan nyawa. Dia menumpang becak saat keluar dari Hotel Indonesia, sembari membawa sepatu yang terbungkus kotak dan kertas. Ketika melewati pertokoan Sarinah di Jalan M.H. Thamrin, perampok merobek perut dan merampas bungkusan yang dikira berisi uang itu. Darah mengucur dan dia melihat usus menyembul. Beruntung, warga sigap membawanya ke rumah sakit. "Rasanya ajaib saya masih hidup," katanya.
Pada tahun yang sama, Ono pindah ke Amuntai, Kalimantan Selatan. Dia berbisnis rotan dan mengirimnya ke Jepang. Dia memilih pensiun sepuluh tahun kemudian, dan kembali bertani di Batu. Beberapa tahun belakangan, kondisinya sudah terlalu lemah untuk mengayunkan pacul. Dia juga absen dari undangan upacara 17 Agustus di Istana Merdeka, yang dihadirinya sejak 1982. Papi, panggilannya, cuma sesekali sibuk mengecek kebun apel, dan lebih banyak menghabiskan waktu menonton—atau lebih tepatnya mendengar—televisi. Saluran favoritnya kantor berita Jepang, NHK. Namun dia masih kuat berpuasa Ramadan. Anak-anaknya sering kena semprot jika tidak membangunkannya saat sahur.
Jiwa Jepang tidak luntur meski tinggal di tanah Jawa selama tujuh dasawarsa. Dia bisa menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang, tanpa salah. Ono-san sering mengenakan chanchanko—semacam kimono yang menyerupai jaket—saat menyambut tamu. Juga menyukai sayur kegemaran masyarakat Negeri Matahari Terbit: lobak.Sewaktu masih berkebun dulu, sayur yang disebut daikon dalam bahasa Jepang itu selalu dia tanam, meski tahu tidak laku dijual dan tak digemari keluarga. Lobak dia tanam untuk dimakan sendiri. Kesukaan lain adalah umeboshi, buah plum yang diasinkan dan berasa asam.
"Saya tidak suka Indonesia yang sekarang, korupsinya makin banyak," ujar peraih bintang veteran dan gerilya dari Sukarno ini. Batuk pria sepuh itu sejenak menghentikan obrolan. Dia lalu menyeruput minuman kesukaannya, kopi susu, yang juga jadi menu wajib untuk disuguhkan kepada setiap tamu. Dia terus nyerocos, bertanya kapan korupsi bisa diberantas habis, lalu dengan penuh semangat bercerita tentang pentingnya pendidikan antikorupsi untuk siswa sejak sekolah dasar.
Ono teringat alasan yang menghalanginya naik kapal untuk pulang ke Negeri Sakura: memenuhi janji Jepang memberi Indonesia kemerdekaan. "Ini tidak sesuai dengan tujuan proklamasi." Mata yang nyaris buta itu kembali menerawang....
Reza Maulana, Abdi Purnomo (Malang)
Serdadu Jepang Berpeci Hitam
Hampir seribu serdadu Jepang menolak kembali ke negaranya setelah Perang Dunia II. Mengusung Merah Putih dalam perang kemerdekaan melawan Belanda.
Bandung, 15 Agustus 1945, merupakan titik balik hidup Shigeru Ono. Di sebuah barak militer, prajurit berpangkat sersan itu berkumpul dengan rekannya sesama tentara Jepang, seraya membahas satu hal yang teramat penting: bom atom telah meluluhlantakkan basis angkatan darat di Hiroshima dan angkatan laut di Nagasaki, dan ini membuat posisi mereka dalam Perang Asia Timur Raya terdesak.
Buku Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono karya Eiichi Hayashi lalu melukiskan kebingungan yang meliputi para serdadu tatkala mendengar Kaisar Hirohito menyerah tanpa syarat. Semua terpukul, apalagi setelah para serdadu yang berasal dari Korea langsung membangkang. Pikiran melakukan harakiri sebagai jalan keluar heroik atas kegagalan menjalankan tugas sempat melintas, tapi Shigeru Ono akhirnya memilih jalan yang mengantarnya ke dunianya kini.
Mengukuhkan niatnya, Shigeru Ono kemudian menitipkan sebuah amplop berisi potongan rambut dan kukunya, plus surat, kepada seorang rekannya yang bakal pulang ke Jepang. Ya, selembar surat yang menyatakan dia sudah mati kepada keluarganya. Sampai di sini, pembaca Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono mendapatkan kesan: Shigeru Ono yang dulu telah mati, dan kini hanya ada Shigeru Ono yang baru. Menanggalkan seragam militer Jepang, ia—kini orang memanggilnya Rahmat, nama barunya—bersarung, berkopiah, bertempur di bawah komando kapten Sugono bersama para pemuda pejuang kemerdekaan di Bandung.
Buku itu sebenarnya bercerita tentang sosok yang sama tapi hidup dalam dua kondisi berbeda: Perang Pasifik (1942-1945) dan Perang Kemerdekaan (1945-1949). Shigeru Ono, anak petani dari Pulau Hokkaido, mulai terlibat dalam pertarungan akbar ini ketika ia lulus dari sekolah angkatan darat dan mendaftar untuk diterjunkan ke daerah-daerah selatan. Ia bertempur di Saigon dan Singapura, sampai kemudian tersangkut di bagian barat Jawa untuk menghancurkan pasukan Belanda. Seusai Perang Pasifik 1945, ia beserta sejumlah kawan yang tergabung dalam Pasukan Gerilya Istimewa lantas menjadi ancaman bagi serdadu Belanda di kaki Gunung Semeru.
Dalam pengantarnya, sejarawan Asvi Warman Adam meletakkan serdadu Jepang seperti Shigeru Ono dalam kelompok zanryu nihon hei atau prajurit yang tinggal di belakang. Dengan kata lain, ia merupakan bagian dari pasukan Jepang. Mungkin karena inilah, kesaksian Ono tidak meliputi hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hubungan Indonesia-Jepang sekarang, seperti kekejaman kempetai, penderitaan berkepanjangan jugun ianfu, dan eksploitasi tak terperi terhadap para romusha.
Kita tentu saja menyambut bantuan Ono dan kawan-kawannya sesama zanryu nihon hei menghajar pasukan Belanda. Kendati begitu, Mereka yang Terlupakan merupakan catatan memoar yang selalu diliputi oleh subyektivitas penulis atau tokohnya. Dan adalah hak keduanya untuk memilih-menyeleksi kejadian yang bakal ditulisnya. Namun, harus diingat, kredibilitas seorang penulis dibangun atas obyektivitasnya melihat masalah.
Reza Maulana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo