Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketidakcermatan kuasa hukum penggugat dalam menentukan obyek gugatan terhadap kemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno, harus dibayar mahal. Meski dalam berbagai persidangan yang digelar Mahkamah Konstitusi sejumlah saksi mengungkapkan adanya kecurangan di balik kemenangan Atut-Rano, termasuk politik uang, ternyata gugatan itu akhirnya rontok.
Dalam keputusan yang diketuk pada Selasa pekan lalu, majelis hakim Mahkamah Konstitusi, yang diketuai Mahfud Md., yang juga Ketua Mahkamah, menolak semua gugatan yang dialamatkan kepada Atut-Rano. Walhasil, tak ada pemilihan ulang, apalagi pemilihan tanpa mengikutsertakan Atut-Rano, seperti diminta penggugat. Kemenangan Atut-Rano mendapat legitimasi.
Salah satu pertimbangan di balik rontoknya gugatan itu, menurut Mahfud, penggugat keliru menentukan obyek gugatan. Penggugat, yakni pasangan Wahidin Halim-Irna Narulita dan Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki, hanya mempermasalahkan surat keputusan Komisi Pemilihan Umum Banten tentang penetapan calon Gubernur dan Wakil Gubernur 2012-2017. Mereka tak menggugat surat keputusan Komisi tentang penetapan rekapitulasi hasil pemilihan kepala daerah Banten, yang diragukan penggugat. Tanpa gugatan terhadap rekapitulasi, angka perolehan suara dalam pemilihan yang digelar pada 22 Oktober yang diikuti tiga pasangan itu dianggap valid.
Kesalahan obyek gugatan jelas masalah serius dan itu patut disayangkan. Sebab, di negara mana pun, majelis hakim hanya bisa memutuskan suatu gugatan sesuai dengan materi yang diajukan penggugat. Mereka tak boleh berimprovisasi.
Kalau saja sebelum mengajukan gugatan para penggugat mau membuka hasil-hasil putusan Mahkamah sebelumnya, yang isinya memerintahkan pemilihan ulang, vonis Mahkamah mungkin akan lain. Apalagi majelis yang menangani gugatan terhadap Atut-Rano secara terbuka meyakini adanya politik uang dan kecurangan lain dalam pemilihan tersebut. Namun, celakanya, itu tadi, penggugat tak mempersoalkan rekapitulasi hasil pemilihan, yang angka-angkanya justru mereka ragukan.
Semestinya, rekapitulasi hasil pemilihan itu dijadikan sasaran pertama yang harus dibidik penggugat. Tentu, agar tembakannya tepat sasaran, sejumlah amunisi berupa saksi dan bukti harus disiapkan. Hal itu pulalah yang membuat sejumlah penggugat berhasil membuat Mahkamah tak punya pilihan selain mengabulkan permintaan pemilihan ulang. Putusan itu, antara lain, terjadi dalam gugatan pemilihan kepala daerah Pekanbaru, yang diketuk Mahkamah pada akhir Juni lalu, dan hasil pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, yang diputus pada awal Desember 2010.
Dalam kasus gugatan terhadap Atut-Rano, politik uang itu, antara lain, disampaikan oleh saksi Abdul Maram. Pada 11 Oktober, kata Ketua Majelis Ulama Indonesia Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, ini, para kiai dikumpulkan Atut, calon incumbent, di Islamic Center Tangerang. Setelah Atut mengajak para kiai memuluskan jalannya pemilihan, setiap kiai mendapat sajadah dan amplop berisi uang Rp 500 ribu.
Gagal di Mahkamah hendaknya tak membuat para penggugat surut untuk membongkar praktek politik uang dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. Seperti diminta majelis hakim, mereka bisa melaporkan dugaan itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentu saja dengan kecermatan yang ekstra, saksi dan bukti yang cukup, serta pelapor yang tak salah menentukan obyek. Masih ada jalan untuk "membersihkan" pesta demokrasi di Banten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo