Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sensor itu dan Polemik Peran CIA

Buku yang memuat dokumen rahasia tentang keterlibatan CIA di Indonesia itu masih ada di perpustakaan di AS. Mengapa penjualannya dilarang?

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU bersampul merah hati yang diterbitkan Kantor Percetakan Pemerintah (Government Printing Office) itu masih ada. Dia bertengger di rak divisi seri terbitan pemerintah Library of Congress, yang terletak di Madison Building, Washington D.C. "Silakan," kata Lyle Minter, Kepala Ruang Baca Perpustakaan, setelah membantu TEMPO mencarikan buku berjudul Foreign Relations of the United States 1964-1968: Indonesia, Malaysia-Singapore, Philippines, volume XXVI. "Selama saya belum menerima surat resmi yang mengatakan buku ini harus ditarik, semua orang boleh memakai buku ini," ujar Minter lagi. Selama satu pekan silam, sejumlah harian di Amerika dan koran-koran di Indonesia menyajikan berita heboh bahwa pemerintah AS mengeluarkan permintaan agar semua perpustakaan di negeri itu menarik buku setebal 857 halaman tersebut. Buku yang terbit sekitar April lalu itu adalah bagian dari 30 tahunan dokumen-dokumen CIA yang dibuka untuk umum. Dalam kitab itu dimuat serangkaian dokumen yang mengindikasikan bahwa CIA turut berperan menjatuhkan Sukarno. Salah satu dokumen yang menarik adalah sebuah telegram tertanggal 25 Desember 1965 dari Marshal Green—Duta Besar AS untuk Indonesia saat itu—kepada William P. Bundy, Wakil Menteri Luar Negeri untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik periode 1964-1969. Di dalam telegram itu, Marshal mengonfirmasikan kepada Bundy tentang dana sekitar Rp 50 juta yang diminta Adam Malik untuk penumpasan Gestapu. Dana ini dicurigai banyak pihak berhasil melancarkan operasi pembekuan Partai Komunis Indonesia (PKI). Konon, karena pemerintah AS khawatir buku itu akan merusak hubungan dengan Megawati Sukarnoputri, yang baru saja dilantik menjadi presiden, pemerintah AS memutuskan menahan peredaran buku ini. Sesungguhnya, dokumen ini hanyalah mengonfirmasi apa yang pernah dilansir wartawati Kathy Kadane di awal tahun 1990-an. Menurut laporan yang dimuat oleh States New Services itu, CIA memang terlibat dan bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan ribu anggota PKI di Indonesia. Kadane memiliki bukti bahwa CIA memberikan daftar nama tokoh-tokoh PKI yang harus diciduk Angkatan Darat Indonesia. Artikel itu kemudian dipublikasikan ke 140 media di seluruh AS serta media di Inggris, Australia, dan Prancis. Akibat tulisan itu, Kadane langsung meraih penghargaan Hunter College-James Aronson Award for Public Conscience Journalism, pada tahun 1990. Artikel itu tentu saja mengundang perdebatan seru karena peristiwa Gerakan 30 September memang bukan persoalan sederhana yang bisa disimpulkan dengan ringkas. Beberapa pihak yang kebakaran jenggot menganggap ulasan itu hanya upaya sensasional. Bahkan ada beberapa sumber yang diwawancarai Kadane berbalik menolak keterangannya. Majalah TEMPO sendiri pada awal 1990-an juga memuat laporan ini dilengkapi interviu dengan Kathy Kadane dan Marshal Green. "Kami hanya memberi walkie-talkie, bukan uang," kata Marshal saat itu kepada TEMPO. Lalu, apa kabar Kathy? "Investigasi (yang) dahulu itu saya lakukan bertahun-tahun," tutur Kadane kepada TEMPO. Sampai kini, Kadane masih yakin pada peran CIA, termasuk pada usaha "penyabotan" peredaran buku di atas. "Pejabat-pejabat CIA melakukan campur tangan untuk menghentikan peredaran buku ini," demikian teori Kadane. Tetapi banyak juga pihak yang meragukan "kehebatan" CIA untuk bisa ikut campur begitu jauh dalam problem politik Indonesia di masa itu. Sebab, toh terbukti, misalnya, CIA gagal beroperasi dalam peristiwa PRRI dan Permesta. Itulah sebabnya Presiden John F. Kennedy mengeluarkan keputusan, pada 1962, bahwa operasi CIA harus dikoordinasikan di bawah duta besarnya. Menekankan peran keterlibatan CIA bisa melahirkan pemikiran yang mengelakkan tanggung jawab Angkatan Darat Indonesia dalam pembantaian komunis. Menurut Paul F. Gardner, seorang pensiunan kedutaan besar Amerika, dalam bukunya berjudul Shared Hopes, Separated Fears, Fifty Years of US-Indonesian Relations, kabar yang menyatakan adanya dukungan senjata oleh Kedutaan Besar AS—sebagaimana dilansir pers—adalah sebuah mitos belaka. Gardner mewawancarai banyak anggota CIA yang bertugas di Jakarta saat itu. Hari-hari itu, menurut Gardner, orang-orang ternyata juga bingung dan terjadi kesimpangsiuran informasi di kantor kedutaan. Pagi hari, 1 Oktober 1965, misalnya, staf CIA di Jakarta, Hugh Tovar, mengatakan kepada Gardner: "Saya terpaku. Pada waktu itu saya betul-betul tak tahu apa yang terjadi. Seseorang tergopoh-gopoh masuk kedutaan, saya pikir ada serangan udara. Dia mengatakan, ada suara tembakan di belakang rumahnya pagi tadi. Rumahnya dekat rumah Jenderal Panjaitan, yang kita tahu kemudian—ikut sebagai korban yang tewas." Gardner bersaksi bahwa lima tahun se-belum peristiwa itu, pihak Indonesia pernah memperlihatkan daftar lengkap ratusan anggota PKI di Jawa Tengah kepada pihak Kedutaan Besar AS. Itu artinya, jauh se-belum 1 Oktober 1965, database Angkatan Darat Indonesia tentang PKI sudah canggih. Adalah hal yang tak masuk akal jika AD bergantung pada pasokan informasi Kedubes AS. Sementara itu, Kedubes AS malah mengetahui tokoh-tokoh PKI hanya dari Harian Rakjat, sesuatu yang pasti juga dimonitor oleh AD. Lepas dari polemik itu, reporter TEMPO yang melacak nasib buku Foreign Relations… itu toh menyaksikan bahwa sampai hari ini perpustakaan AS masih memajang buku-buku tersebut, aman-aman saja. Sementara itu, di bagian koleksi umum Library of Congress, siapa pun bisa meminjam buku ini dengan mudah. Pustakawan Library of Congress, George Wolf, yang telah bekerja lebih dari 20 tahun di situ, mengaku mengetahui berita penarikan buku itu dari harian The Washington Post. Tapi, menurut dia, sampai sekarang belum ada instruksi apa-apa. Menurut dia, itu adalah hal yang aneh karena selama ini AS tidak mengenal sensor buku. "Selama puluhan tahun bekerja di sini, belum pernah saya mendengar ada buku yang ditarik kembali. Kalaupun ada, biasanya prosesnya lambat," kata laki-laki separuh baya ini. Kepala Bagian Ruang Baca Library of Congress, Lyle Minter, mengaku belum menerima surat permintaan apa pun dari Departemen Dalam Negeri. Buku tersebut masuk ke atas rak Library of Congress sejak 18 April 2001. Lyle mengatakan, meski jarang terjadi, sekali dalam setahun lazimnya ada buku yang ditarik. Namun, untuk melaksanakan keputusan itu, prosesnya panjang dan berbelit, yakni harus ada surat permintaan dari Superintendent of Document, Kantor Percetakan Pemerintah. Tapi surat itu, menurut dia, hanya bersifat permohonan, bukan suatu perintah yang memiliki sanksi hukum. Mike Bright, Pejabat Humas Kantor Percetakan Pemerintah—lembaga yang selama ini menyuplai seri Foreign Relations kepada publik—mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada instruksi dari pihaknya agar menarik buku volume Indonesia itu. Ia menganggap apa yang ditulis The Washington Post adalah "salah berita". Memang ada telepon dari Department of State (Departemen Dalam Negeri) ke bagian penjualan kami supaya tidak menjual buku ini lagi. Tapi bukan menariknya dari perpustakaan," katanya kepada TEMPO. Diakuinya, pihak Departemen Dalam Negri AS memerintahkan agar tidak menjual buku ini sejak 18 Juli yang lalu. Dia mengaku tidak tahu apa alasan departemen itu membekukan buku ini. Biasanya, alasan pembekuan adalah karena kesalahan cetak. Buku yang salah akan dihancurkan atau mungkin tetap dijual dengan tambahan ralat. Untuk volume Indonesia ini, ia sudah mengirim sekitar 1.000 buku ke perpustakan seluruh AS dan sekitar 100-200 buku terjual langsung dari toko buku Kantor Percetakan Pemerintah. Jadi, soalnya sudah jelas. Buku yang telanjur ada memang tidak ditarik, sedangkan Departemen Dalam Negeri hanya menginstruksikan kepada penerbit agar tidak menjualnya lagi. "Kami meminta Kantor Percetakan Pemerintah tak menjualnya lagi, karena proses penerbitan belum komplet," hanya begitu jawaban singkat resmi Gretta N. Morris dari Kedubes AS di Jakarta kepada TEMPO. Sebuah jawaban yang tak memiliki daya argumentasi, karena situs www.nsarchive.org menyatakan buku itu sudah selesai dihimpun sejak September 1998. Bagaimanapun, ter-lepas dari kontroversi keterlibatan CIA dalam peristiwa Gerakan 30 September, pelarangan penjualan buku itu tetap sebuah bentuk penyensoran. "Ketakutan bahwa buku itu bisa meretakkan hubungan dengan Megawati sangat tak beralasan. Pelarangan penjualan buku itu justru memalukan AS dan rakyatnya sendiri," demikian tutur Kathy Kadane. Alhasil, hebohnya kasus ini akan bisa membangkitkan polemik masa lalu soal peran CIA. Toh, mereka yang akrab dengan internet di Indonesia bisa membaca isi seluruh volume ini melalui situs Arsip Keamanan Nasional (The National Security Archive) di alamat www.gwu.edu/~nsarchiv/. Pelarangan, penahanan, atau pembatasan distribusi sebuah buku lazimnya membuat pembaca dunia penasaran. Mereka akan tetap mencarinya. Seno Joko Suyono, Gita W. Laksmini (Jakarta), Ahmad Fuadi (Washington)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus