KATA "merdeka" rupanya bukan harapan seluruh warga Aceh. Penduduk Kabupaten Aceh Tengah, misalnya, punya agenda berbeda dengan "tetangga" mereka di Aceh. Sementara wilayah lain bertaruh nyawa ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka ingin membentuk provinsi baru. Alasannya, "Pemda Tingkat I Aceh kurang tanggap terhadap permasalahan warga di sini," kata Mustafa M. Tamy, Bupati Aceh Tengah, Kamis pekan lalu.
Keinginan membentuk provinsi sendiri itu bukan karena para tokoh masyarakat di sana latah setelah merebaknya keinginan melepaskan diri dari Indonesia. Bahkan, ide itu sudah muncul bertahun-tahun sebelumnya. "Sejak 1959, tokoh-tokoh Gayo sudah memprakarsai ide tersebut," kata Wakil Ketua DPRD Aceh Tengah, Tagore A.B., kepada Zainal Bakri dari TEMPO.
Keinginan itu semakin kuat setelah Pemerintah Daerah Tingkat I Aceh dianggap semakin "menelantarkan" nasib mereka. Buktinya, kata Zulfan Diara Gayo, salah satu tokoh di sana, adalah penundaan pembangunan Lapangan Terbang Rembele dan jalan Takengon-Blangkejeren, meskipun proyek itu sudah disetujui oleh pemerintah pusat. Memakai istilah Tagore A.B., Aceh Tengah itu ibarat anak tiri Pemda Aceh.
Tekad pun membulat. Dan untuk menunjukkan keseriusan mereka, 25 Juli lalu, sekitar 15 ribu orang yang terdiri atas mahasiswa, pelajar, ulama, dan rakyat biasa melakukan unjuk rasa di halaman Gedung DPRD Aceh Tengah, Takengon. Dengan ikat kepala dan bendera merah putih, mereka meneriakkan yel-yel tuntutan provinsi itu.
Tak seperti biasanya, aparat keamanan membiarkan aksi tersebut berlangsung tanpa berusaha mencegahnya. Selain demonstrasi berjalan tertib, "Mereka murni masyarakat daerah ini, bukan dari kelompok GAM. Lagi pula, tuntutannya kan pembentukan provinsi baru," kata Komandan Distrik Militer Aceh Tengah, Letkol Amrin.
Tuntutan itu mendapat tanggapan positif dari anggota dewan Aceh Tengah. Selang tiga hari kemudian, anggota dewan menggelar sidang paripurna membahas keinginan rakyat yang diwakilinya itu. Sebagian besar fraksi, seperti Partai Persatuan Pembangunan, PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional, dan TNI/Polri, setuju dan sepakat akan mem- bawa permintaan itu ke Banda Aceh dan Jakarta.
Bagaimana peluang Kabupaten Aceh Tengah menjadi provinsi? "Secara hukum, sah-sah saja keinginan itu, tapi untuk saat ini belum tepat," kata Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Selain itu, untuk menjadi provinsi, ada beberapa persyaratan yang cukup sulit yang belum bisa dipenuhi oleh Aceh Tengah. "Saya sudah menyampaikan keinginan itu ke Kantor Mendagri. Jawabannya sama," ujarnya lagi.
Puteh membantah tudingan bahwa Aceh Tengah menjadi anak tiri Pemda Tingtat I Aceh. Menurut dia, pendapat itu sangat relatif. Tak hanya Aceh Tengah yang tertinggal. Diakuinya, semua daerah di Aceh tertinggal akibat sistem di masa lalu.
Keinginan para tokoh masyarakat Aceh Tengah ini tampak ganjil di tengah pergolakan meminta kemerdekaan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kabupaten Aceh Tengah memang relatif terisolasi dari GAM. Konflik senjata antara pasukan GAM dan TNI hingga kini hanya berlangsung di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie, yang sudah memakan banyak korban, baik dari pihak-pihak yang bertikai maupun penduduk biasa.
Tidak jelas mengapa GAM kurang populer di Aceh Tengah. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah keragaman etnis yang ada di wilayah itu. "Secara umum, ada enam etnis di sini, yakni Gayo, Aceh Pesisir, Batak, Jawa, Padang, dan Cina," kata Mustafa M. Tamy.
Tegal
HANYA tinggal setengah tahun lagi Slamet Sahroni, 54 tahun, berdinas. Hari-hari panjang yang harus dilaluinya dengan berjaga di pintu lintasan kereta api di Desa Pakulaut, Margasari, Tegal, Jawa Tengah, akan segera berakhir. Awal 2002 mendatang, ia bisa selalu berkumpul dengan keluarganya. Namun, tabrakan maut antara kereta api Empu Jaya dan bus Sinar Jaya, Rabu pekan lalu, mengubah segalanya.
Ia harus bertanggung jawab atas insiden itu. "Kecelakaan itu akibat kelalaian Slamet. Karena itu, ia kami tahan sebagai tersangka," kata Ajun Komisaris Besar Suwandi, Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Slawi. Menurut keterangan saksi, kata polisi, saat KA Empu Jaya melewati pintu lintasan kereta di Desa Pakulaut, dini hari pukul 03.35, palang pintu belum tertutup sempurna. Karena sopirnya tidak melihat palang menghalang, bus Sinar Jaya jurusan Jakarta-Purwokerto menerobos masuk. Dan terjadilah tabrakan maut itu.
Hingga Kamis pekan lalu, tercatat 13 penumpang bus tewas—termasuk pengemudinya—dan empat luka parah. Sedangkan penumpang lainnya hanya menderita luka ringan. Kini mereka dirawat di Rumah Sakit Umum Slawi.
Apakah pegawai bergaji Rp 300 ribu sebulan itu benar lalai? "Kami yakin palang pintu sudah dipasang dan sirene dinyalakan. Sopir bus itu yang nekat menerobos masuk," kata Supriadi dari Bagian Humas Daerah Operasi V Purwokerto. Kesimpulan itu diperoleh setelah melihat pos gardu tempat Slamet bertugas hancur lebur. "Kalau ia tertidur di situ, pasti tidak selamat," katanya.
Menurut beberapa saksi yang ditemui TEMPO di lokasi kejadian, saat bus Sinar Jaya melintas, palang pintu sudah ditutup, meski tidak tertutup sempurna, dan sirene sudah berbunyi. Waktu itu, Slamet bahkan sempat menghalau sebuah truk yang mencoba menerobos. Nah, saat pegawai negeri sipil golongan II-A itu sedang sibuk membantu sopir truk, tiba-tiba bus menyelonong masuk.
Apa boleh buat, tuduhan untuk orang kecil ini telah melayang. Slamet kini tidak bisa ditemui karena sudah masuk tahanan polisi. Kehidupan keluarga dengan empat anak ini pun berantakan. Padahal, "Dalam catatan kami, selama puluhan tahun bertugas, dia tidak pernah melalaikan tugas," kata Supriadi.
Bandung
MEREKA ditemukan berjejalan di sebuah rumah penduduk. Tujuh puluh dua orang—dari 91 orang—warga empat desa di Bandung Selatan yang menghilang itu tengah berbaring di rumah yang luasnya hanya 42 meter persegi. Menurut Kepala Kepolisian Sektor Ciwidey, Inspektur Satu Dani Suwardi, mereka "terdampar" di Kampung Cingcin, RT 02 RW 10, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, sejak Rabu pekan lalu.
Hilangnya warga di empat desa ini tercium sejak dua minggu lalu. Mereka merupakan warga Desa Panundaan, Rawabogo; Desa Ciwidey, Kecamatan Ciwidey; Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasirjambu; dan Desa Alam-endah, Kecamatan Rancabali.
Mengapa puluhan orang ini menghilang? Belum bisa dipastikan apa yang menjadi penyebabnya. Namun, disinyalir, hal ini terkait dengan sebuah aliran kepercayaan. Indikasi ke arah itu terlihat dari bukti dokumen dan surat yang ditemukan di beberapa rumah warga yang menghilang. Isinya antara lain menjelaskan bahwa pada 5-15 Agustus 2001, warga diharapkan waspada karena akan ada penyerangan. Poin lain menyebutkan, warga yang sudah dibaiat dan tidak ikut hijrah diancam akan dibunuh, serta ada sanksi hukuman selama setahun bagi pengikut yang melakukan pelanggaran.
Dalam dokumen lain yang turut diamankan, isinya diduga terkait dengan pengembangan ajaran "LHA". Tiga huruf ini merupakan kepala surat yang ditemukan di sana. Menurut Dani, pihaknya tengah mengusut keberadaan "LHA" ini. "Dugaan sementara, mereka adalah pengikut ajaran atau aliran kepercayaan 'Islam Murni'," kata Dani. Menurut Ketua MUI Bandung, Adang Manaf, warga yang hilang itu akan melakukan ziarah ke Cikundul, Cianjur.
Kini ke-72 orang yang sudah menghilang beberapa hari itu tengah diupayakan Camat Ciwidey, Yayan Subarna, untuk dievakuasi. Sedangkan 19 orang lainnya yang masih raib terus ditelusuri keberadaannya di daerah Cikundul, yang disebut-sebut sebagai tujuan ziarah.
Palu
KAPAL layar motor (KLM) yang seharusnya menempuh perjalanan empat hari itu tak kunjung muncul setelah sebulan berlayar. KLM Lestari Abadi berangkat dari Pelabuhan Wani, Palu, pada 18 Juni lalu, tapi hingga pekan lalu tak pernah merapat di Balikpapan. Kendaraan laut itu memuat 129 ekor sapi, 100 ekor kambing, 3 ton jagung, 3 ton beras, serta—ini yang bikin kapal itu dicari-cari—30 penumpang dan 7 anak buah kapal (ABK).
Hilangnya kapal itu baru diramaikan setelah H. Saini, pemilik KLM Lestari Abadi, melaporkannya. Pihak keluarga penumpang kapal pun tidak kurang bingungnya. Tiga keluarga yang anggotanya menumpang Lestari Abadi, Senin lalu, mengadu ke DPRD Sulawesi Tengah. Ketiga keluarga itu memilih bertemu dengan anggota DPRD karena laporan mereka kepada pihak Administrator Pelabuhan (Adpel) Wani tidak dihiraukan—suatu hal yang dibantah oleh Sumadji, Kepala Adpel Wani. Menurut Sumadji, ia sudah menjelaskan, ketika hendak berlayar, marine inspector telah menyatakan Lestari Abadi layak jalan. Hanya, keberadaan penumpang manusia tidak dilaporkan oleh Tamrin, sang nakhoda kapal.
Upaya pencarian sebenarnya sudah dilakukan. Secara diam-diam, Sumadji telah mengirimkan dua tim pencari Lestari Abadi. Tim pertama menyusuri perairan Mamuju di Selat Makassar, sedangkan tim kedua berangkat ke perairan dekat Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Dua tim ini telah kembali dengan tangan hampa. Jejak Lestari Abadi tidak ditemukan. Sumadji kemudian mengutus tim ketiga, yang kini tengah mencari jejak Lestari Abadi di perairan Malaysia Timur dan Filipina Selatan. "Kami sedang menunggu laporan tim itu," katanya.
Yogyakarta
SEJAK merebaknya kasus bom di Indonesia, paket pos tanpa alamat pengirim menjadi perhatian khusus petugas kantor pos. Misalnya yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis minggu lalu. Curiga dengan munculnya dua buah paket pos dari Surabaya yang ditujukan kepada dua alamat berbeda di Sleman, petugas kantor pos bergegas menghubungi pihak Kepolisian Daerah DIY. Setelah diperiksa dengan detektor logam, dua paket dalam dus besar ini pun dibuka petugas. Isinya cukup menyeramkan. Terdapat tidak kurang dari 2.100 butir komponen peluru senjata api kaliber 7 mm.
Menurut Kepala Polda DIY, Brigjen Saleh Saaf, benda berbahaya ini merupakan alat dan bahan untuk merakit peluru. Dalam paket tersebut terdapat pula antara lain selongsong peluru kuningan, proyektil baja, dan alat perakit detonator. Saleh menduga komponen yang dikirim tersebut merupakan komponen tambahan dari perlengkapan lain yang sudah dimiliki si empunya barang. "Ini produk dari Amerika, tapi dikirim dari Surabaya. Jenis peluru ini peluru tajam standar militer, tapi bukan standar TNI," kata Saleh. Tentu saja pihak Polda DIY bergegas menyita paket berbahaya ini. Polda DIY pun segera melakukan penggerebekan ke kedua alamat yang dituju dalam paket tersebut, tapi ternyata kedua alamat itu fiktif.
Johan Budi S.P., Agus Hidayat, Kontributor Daerah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini