ADA orang yang percaya pada wahyu, ada orang yang percaya pada kebenaran, dan ada orang yang percaya kepada rakyat. Tidak ada yang aneh di sini, juga di saat ketiga-tiganya bersikap ganjil terhadap demokrasi.
Ganjil: terkadang mereka merasa rindu. Mereka akan melihat orang ramai di jalan dan di pojok itu, yang berkeringat dengan sakit dan lapar, sebagai endapan inspirasi. Mereka akan berbahagia bila mereka bisa menyaksikan si jelata memperdengarkan suaranya, si pinggiran menghunus kekuatannya. Tapi kadang-kadang mereka angkuh: dengan mulut bergumam, mereka akan menatap orang ramai itu sebagai sesuatu yang lemah, elemen yang mudah dipermainkan, dan suara yang hampir identik dengan—kalau bahasa yang lebih terus terang bisa dipakai di sini—"kebodohan."
Dengan kerinduan dan keangkuhan itu, mereka pun bertemu. Yang percaya pada wahyu (kita ringkas menjadi "W") melihat politik sebagai bagian dari lalu-lintas keajaiban para wali. Yang percaya pada kebenaran (katakanlah "K") melihatnya sebagai bagian dari ketajaman analisis, ke-tepatan teoretis. Yang percaya kepada rakyat ("R"): mereka cenderung me-lihat politik sebagai bagian dari saat puitik para intelektual yang melibatkan diri dalam pergerakan, cendekiawan yang engagé. Dengan kata lain: W-K-R adalah orang-orang yang ingin mengenal politik sebagai sebuah proses yang mengasyikkan, kejadian yang bahkan dahsyat, agung, cerdas.
Tapi apa boleh buat. Pada umumnya politik bukanlah itu semua. Politik lebih sering berupa sebagian hidup sehari-hari yang remeh, mungkin norak. Atau politik adalah sebuah proses tawar-menawar yang mengesalkan—sebuah proses yang bisa digerakkan oleh manipulasi, tanpa rasa malu, bosan, ataupun geli. Politik, dengan kata lain, mengasumsikan ke-normal-an, sementara W-K-R tidak begitu pas dengan ke-normal-an. Bukankah wahyu sesuatu yang datang sebagai cahaya bintang jatuh, bukan sesuatu yang biasa-biasa saja dan mampir tiap Sabtu? Dan kita tahu, kebenaran sering tercapai dengan teriak, "Aha!" mungkin seraya jantung berdegup—dan tak tiap kali hal itu terjadi. Juga kita tahu, "rakyat" adalah sebuah kata dalam bahasa retorik, sesuatu yang mara dengan gemuruh, seperti petir pertama.
Kini saya bayangkan (dan tentu saja ada kemungkinan bayangan saya meleset) orang-orang itu—ya, para W-K-R—berkumpul di jam-jam terakhir Gus Dur di Istana. Ruang dalam bangunan kolonial itu seakan-akan sebuah benteng pada saat yang kritis. Segala elemen untuk masuk ke dalam satu peristiwa yang dahsyat, agung, cerdas, sudah siap. "Presiden tak akan mundur!" "Parlemen harus dibubarkan!" "Rakyat siap membela sampai mati!"—dan sesudahnya sepi. Mungkin sesaat terlintas dalam pikiran mereka bahwa Presiden itu duduk di sana karena keputusan Parlemen, dan bahwa Parlemen, yang menjengkelkan dan tak bermutu itu, di sana karena dipilih rakyat, dan bahwa rakyat (ditulis dengan huruf kapital atau tidak) pada gilirannya yang harus bisa dipersalahkan, atau dibenarkan, dalam memilih partai-partai. Mungkin semua itu terlintas dalam pikiran orang-orang di dekat Presiden itu, tapi dengan cepat mereka akan satu sama lain mengangguk, bahwa Wahyu, Kebenaran, dan Rakyat ada di pihak Istana, dan sesudahnya sepi.
Demokrasi, tentu saja, bertolak dari asumsi bahwa wahyu yang turun pun tidak menentukan posisi seorang kepala negara. Dan kebenaran, bagi sebuah demokrasi, bukanlah apa yang diputuskan dalam sebuah teori, atau datang sebagai ilham, melainkan apa yang ditentukan oleh sejumlah suara yang besar, bersama-sama, lewat sebuah prosedur. Ia bisa berubah. Sementara itu "rakyat" bagi sebuah demokrasi bukanlah sesuatu yang puitik; rakyat adalah para pemilih, tak lebih dan tak kurang. Dengan kata lain, politik tak bisa mengharapkan apa yang oleh Alain Badiou disebut "peristiwa-kebenaran," sebuah kejadian istimewa seperti tatkala Yesus bangkit, Revolusi Bolsyewik meletus dan menang, dan sebuah penemuan ilmiah berlangsung. Demokrasi tak mungkin berdasar pada sesuatu yang epifanik: sekali saja terjadi tapi pada saat itu sanggup menggerakkan laku yang baru di sekitarnya, setelahnya.
Bertolak pada yang agung, yang dahsyat, yang asyik, Badiou, di situ, adalah sebuah suara elitis. Barangkali begitulah siapa saja yang hanya terpesona kepada gerak yang radikal dan pembebasan yang bisa mendadak-sontak—dan sebab itu tak betah dengan manusia dalam hidup sosial sehari-hari, dengan kebenaran yang dicari melalui sebuah prosedur yang ajek, dan dengan para pemilih yang, dalam keseharian mereka, dianggap hanya berlingkar pada kepentingan diri, kebutuhan biologis dan hasrat yang tumpul. Badiou, yang menempatkan diri pada sayap kiri pemikiran Prancis, bekas Maois yang berpengaruh, pada akhirnya, seperti para W-K-R, memang bersikap ganjil di hadapan demokrasi.
Tak berarti elitisme seperti itu harus hilang. Demokrasi, sebagaimana berlaku melalui pemilihan dan parlemen, memerlukan lembaga-lembaga. Demokrasi seperti itu memang bukan saja harus meniti kesabaran, tapi juga lazim untuk membuat pudar sikap yang lurus dan cita-cita yang murni. Sebab rakyat ternyata tak selamanya progresif, mayoritas umumnya lamban mengubah diri.
Tapi sebaliknya, kaum elitis toh tidak hidup sendirian. Antara mereka dan para pemilih yang mengecewakan, sebuah demokrasi memerlukan sebuah celah lain—dan dengan demikian ia membuka diri akan kekurangannya sendiri. Demokrasi adalah sebuah pengakuan akan kekurangan. Justru tanpa kedahsyatan wahyu, tanpa kekuasaan teori, dan tanpa ilusi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini