Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sentuhan Baru Museum Seni Rupa

Tak lagi berdasarkan pembabakan sejarah seni, tapi irisan-irisan narasi yang lebih kecil.

24 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran bertajuk “Lini Narasi Baru: Seni Rupa Indonesia, Kota dan Perubahannya” di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, 16 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah sayap kiri gedung Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, terlihat berbeda sejak 16 Oktober lalu. Terasa lebih segar dengan sentuhan baru. Hanya ada lima lukisan koleksi museum yang dipajang. Ukuran karya dari yang kecil hingga sedang. Karya Raden Saleh, Subanto Suryosubandrio, Agus Djaja, Emiria Sunassa, dan Affandi menyambut pengunjung di ruangan dengan tangga besi yang unik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melangkah ke ruang berikutnya, pengunjung akan mendapati banyak sekali sketsa dan lukisan Henk Ngantung. Suasana perjuangan yang disketsa oleh Henk sangat terasa. Ada pula suasana sosial sebuah kota dengan lukisan Abang Becak yang tengah mengayuh pedal becaknya. Karya Henk terlihat mendominasi ruang kedua ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Henk cukup produktif membuat sketsa dan melukis. Dia juga sempat menjabat Gubernur Jakarta meski tak lama. "Koleksi Henk boleh dikatakan paling banyak tersimpan di museum ini, lebih dari 50 sketsa dan lukisan," ujar Sally Texania, salah satu kurator.

Suasana perkotaan diperkuat oleh lukisan besar Dede Eri Supria dengan judul Urbanisasi. Lukisan Dede memperlihatkan seorang pemuda gondrong tampak berdiri dengan menopang pada lutut memandang jauh ke depan. Di sampingnya terdapat gambaran lingkungan kumuh rumah-rumah semi-permanen di pinggir kali yang dipenuhi sampah. Karya itu merefleksikan bagaimana seniman memandang sudut Kota Jakarta dan perubahan kompleks menuju sebuah kota kosmopolitan.

Penyajian karya di museum itu saat ini cukup berbeda dengan penyajian koleksi sebelumnya. Penataan koleksi sebelumnya berdasarkan pembabakan sejarah seni. Dimulai dari masa pemerintahan Hindia Belanda, kependudukan Jepang, kemerdekaan, diplomasi dan perjuangan senjata, masa demokrasi terpimpin, hingga era pembangunan Orde Baru. Pembabakan ini dipandang terlalu luas oleh para kurator. "Kami menawarkan irisan narasi-narasi yang lebih kecil agar orientasi koleksi museum makin signifikan dan representatif," demikian yang tertulis dalam pengantar kurator.

Perubahan lain koleksi dan narasi karya yang ditampilkan masih berlanjut di ruang-ruang lain yang didandani arsitek Cosmas Gozali, Ketua Bidang Sarana dan Prasarana Yayasan Mitra Museum Jakarta. Pengunjung akan menikmati koleksi yang dipajang dengan tata letak baru. Jika sebelumnya pengunjung yang ingin menikmati lukisan langsung masuk ke ruangan demi ruangan melalui satu jalur pintu lurus, kini pengunjung harus mengikuti alur panel keluar-masuk ruangan dari pintu samping. Cosmas juga menambahkan bangku untuk sejenak berhenti dan menikmati lukisan.

Memang alur baru ini terasa kurang nyaman untuk rombongan besar karena jalur searah yang agak sempit. Sebab, ruang termakan panel yang dipasang berjarak dari dinding. Panel, ceiling, dan lampu memang dipasang berjarak karena tak boleh mengubah bangunan. "Karena ini cagar budaya, kami hanya boleh mengubah interior. Kami beri jarak agar tidak merusak dinding," ujar Cosmas di sela tur untuk media pada Rabu, 16 Oktober lalu.

Setelah disuguhi karya periode suasana urban, pengunjung akan disodori karya-karya seni yang dibuat pada masa revolusi dan diplomasi. Ada karya S. Sudjojono berjudul Prambanan, kemudian karya Hendra Gunawan berjudul Pejuang-pejuang dan Pengantin Revolusi. Karya-karya itu memperlihatkan masa ketika bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan dan bersikap anti-kolonialisme. Ada hubungan sosial dan historis antara seni, revolusi, dan diplomasi.

Lihat juga karya Sapto Hudoyo dan Itji Tarmizi yang menghadirkan orang-orang dengan gerakan dinamis dalam narasi yang kuat, atau karya Trubus dengan lukisan dua bocah yang sangat hidup berjudul Anak Kecil I dan Anak Kecil II.

Karya Hendra Gunawan dengan judul Pengantin Revolusi.

Di ruang lain, karya-karya S. Sudjojono tampak cukup dominan dalam narasi Orde Baru: Medan Baru. Misalnya, lukisan berjudul Maka Lahirlah Angkatan ‘66. Ada pula karya Hendra Gunawan yang lebih humanis dalam keseharian. Pada era ini lahir pula para pelukis dengan eksplorasi baru, menyilangkan paham seni modern dengan semangat Islamisme. Seni lukis modern kaligrafi karya A.D. Pirous, misalnya. Atau aliran abstrak yang bersintesis dengan ragam hias Nusantara, seperti karya Popo Iskandar dan beberapa pelukis lain.

Di bagian teras, para kurator, yang terdiri atas Mikke Susanto, Sally Texania, Aminudin T.H. Siregar, dan Farah Wardani, menempatkan koleksi sub-narasi yang lebih beragam. Jika narasi koleksi museum sebelumnya dipilah berdasarkan hubungan narasi umum sejarah nasional, sub-narasi koleksi dipilah berdasarkan kecenderungan medium dan gaya.

Sub-narasi tersebut memperlihatkan keragaman budaya yang menegaskan identitas keindonesiaan. Ada mitologi, adat istiadat, potret diri, pemandangan alam, kehidupan keseharian, lukisan klasik Bali, lukisan kaca, dan lukisan batik. Ada juga area berswafoto dengan latar lukisan repro Pengantin Revolusi.

DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus