Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIAN YULIASTUTI | [email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gitaris Emmanuel Herry Hertoto atau akrab disapa Toto Tewel duduk di kursi sembari memeluk gitar. Hanya beberapa meter di depannya, sekitar 100 pasang mata menatap kagum. Toto tampil garang. Suara gitar meraung-raung. Cabikan dawai gitar menghipnotis penonton di Museum Musik Indonesia, Gedung Kesenian Gajayana, Kota Malang, Kamis malam 10 Mei 2018 itu.
Penonton meriung, duduk lesehan. Mata mereka tak pernah lepas menatap keterampilan Toto Tewel memainkan gitar. Penonton terdiri atas beragam usia, status sosial, dan pekerjaan. Tapi mereka tak berjarak. Sesekali para penonton melontarkan celetukan dan menggoda musikus kelahiran Malang, 1 Januari 1958, ini. Maklumlah, sebagian dari mereka merupakan teman Toto selama bermusik maupun teman sepermainan selama di Malang. Ajang reuni ini sekaligus memperkenalkan album instrumental solo berjudul Miberdhewen di kota kelahiran Toto.
Miberdhewen diambil dari bahasa Jawa artinya terbang sendiri. Toto memainkan semua instrumen dalam album itu, mulai dari gitar, drum, hingga bas, dan mengaransemennya. Album itu berisi ketujuh nomor yang dikerjakan pada 2006-2007. Album solo itu lahir setelah 45 tahun Toto berkiprah di belantika musik Indonesia. "Album solo ini saya kerjakan sendiri," ujar Toto Tewel, membuka penampilan perdana di depan publik Malang. Terlalu lama di jalanan, sehingga baru kali ini berkesempatan meluncurkan album solo perdana.
Betotan senar gitar Toto Tewel tak diragukan lagi dalam komposisi nge-rock di album solonya ini. Seperti dalam komposisi pertama berjudul Kontra yang dimulai dengan petikan gitar panjang yang mengingatkan akan intro tembang dari grup band luar negeri ternama. Petikan panjang yang kemudian menyerbu petikan gitar dalam tempo yang cepat. Menyusul komposisi kedua diberi judul Macan Lanang. Ini adalah komposisi petikan gitar dalam tempo dan ritme yang cepat, garang, mengentak, dan memburu dari awal hingga akhir.
Agak berbeda dengan Macan Lanang, Macan Wedok dimulai dengan petikan gitar yang kalem dan gebukan perkusi yang tak terlalu keras. Ada sentuhan gending Jawa, namun kemudian terdengar keriuhan dalam komposisi yang makin cepat namun berakhir melambat. Dua komposisi ini ditampilkan Toto malam itu berduet dengan putrinya, Ruth Nova.
Tak semua komposisi gitar Toto terdengar garang dan menderu. Komposisi Java Lydian dan Depok 1880 terdengar agak kalem. Pada Java Lydian, malah terdengar nuansa tembang atau seperti gending Jawa yang dominan dan agak ngejazz. Sementara pada Depok 1880, komposisi terdengar seperti dentingan dan petikan gitar dan bas akustik yang agak mendayu dan kalem. Dalam dua tembang terakhir, Toto membetot gitar dan bas elektriknya dengan nuansa rock yang kental.
Album itu dikerjakan secara indie melalui Pelampung Records. Wahyu Micorazon dari Pelampung Records berkomunikasi dengan Toto sejak 2010 untuk memproduksi album solo. Materi lagu, katanya, sudah siap tapi rencana buyar karena Toto dipinang Iwan Fals untuk mengerjakan tiga album. “Pada 2017 dia longgar, ayo kita jalan. Lahirlah album ini,” kata Wahyu, yang kini manajer Toto.
Ia sempat waswas dan nyaris putus asa tak bisa mewujudkan album, lantaran materi lagu yang tersisa hanya berbentuk MP3, sementara master albumnya tak tahu entah ke mana. “Tiba-tiba ada yang punya format WAV di cakram padat. Semua karena tangan Tuhan,” ujar Wahyu.
Persoalan tak hanya sampai di situ. Mereka juga punya keterbatasan dana, sehingga album itu hanya dicetak dalam 500 keping cakram padat. Distribusi dilakukan sendiri melalui Kiospaktua, yang mempromosikan melalui media sosial. “Distribusi sendiri. Kerja militan, dana terbatas.”
Toto, menurut Wahyu, optimistis respons pasar bagus. Awalnya diperkirakan album itu bakal dibeli anak muda yang suka bermain gitar, bukan mereka yang mahir di bidang itu. Ternyata, kata Wahyu, banyak juga mereka yang pandai bermain gitar membeli cakram padat ini. Namun Toto tak memasang target dalam penjualan album ini. “Om Toto yang penting berkarya, tak memikirkan penjualan album.”
Sebagai musikus, Wahyu melanjutkan, Toto tak terbantahkan karyanya. Ia dikenal sebagai gitaris andal yang melambungkan beberapa kelompok band bergenre rock. Yang paling terkenal adalah Elpamas. Dia pun menjadi elemen penting dari Swami, Sirkus Barock, Dalbo, dan Kantata Takwa. Namanya melambung bersama musikus besar lain, seperti Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, Franky Sahilatua, dan Setiawan Djodi.
Dan di Kota Malang malam itu, Toto Tewel tampil sempurna. Ia juga berduet dengan sejumlah sahabatnya. Dengan vokalis Elpamas, Yudi Judaz, mereka berduet menyanyikan tembang Cukup Sudah ciptaan Yudi pada 2007. “Baru kali ini dinyanyikan di depan publik,” ujar Yudi. Mereka menyanyikan tembang Pak Tua yang pernah melambungkan nama Elpamas.
Toto Tewel juga bermain gitar duet dengan salah seorang pendiri Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ), Anto Baret, teman yang mendukung produksi solo album Miberdhewen. Mereka menyuguhkan tiga lagu sekaligus yang sarat kritik dan menyentil pemerintah.
EKO WIDIANTO
Miberdhewen
- Kontra (Contradiction)
- Macan Lanang (Tiger)
- Java Lydian
- Macan Wedok (Tigress)
- Depok 1880
- La Villa Strangtioato/ Rush (Bonus Track)
- YYZ /Rush (Bonus Track)
Produksi : Pelampung Record
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo