Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krakatau meledak. Se-telah enam tahun ber-lalu dari album ter-akhir, Krakatau meng-gelar konser di Taman Is-mail Marzuki, pekan silam, untuk menyuguhkan per-paduan fusion jazz dan musik etnik yang dipetik dari ranah Sunda dan Aceh. Inilah buah ranum perjalanan Krakatau melanglang buana. Dari pan-tai Brisbane, Australia, ke kota jazz Chicago, Amerika, hingga ke fes-ti-val musim panas di Bra-tis-lava, Slovakia. Mereka menjelajahi 19 negara untuk memainkan bonang dan tarompet Sunda. Da-ri- pentas keliling dunia itu, Krakatau melahirkan album 2 Worlds dan Rhythms of Reformation, yang sekali-gus diluncurkan malam itu.
Dua belas remaja murid- Sekolah Musik Farabi- pimpinan Dwiki Darma-wan bergoyang-goyang meng-ikuti irama tabuhan perkusi dalam komposisi Rhythms of Reformation. Musik yang seolah menyuntikkan darah muda dalam perjalanan musik kelompok Krakatau yang telah berusia 21 tahun itu diganjar tepuk riuh pe-ngunjung yang tumpah di nomor penutup konser Kra-katau 2 Worlds in Concert.
Konser itu sekaligus me-ngabarkan bahwa mereka te-lah bermetamorfosis untuk kesekian kali. Krakatau telah empat kali berganti formasi. Yang terbaru, Krakatau beranggotakan Dwiki Dharmawan (keyboard), Pra Budi Dharma (bas), Adhe Rudhiana (kendang), Yoyon Dhar-sono (multi-instrumen tradisio-nal), Zainal Arifin (gamelan dan perkusi), Ger-ry Herb (drum), dan Nya’ Ina Ra-seu-ki alias Ubiet (vokal).
Mem-bawakan 12 lagu—lima di an-ta-ra-nya belum dirilis—Krakatau tetap ken-tal menyuguhkan fusion jazz. Mi-sal-nya dalam komposisi Baritone Funk, ketika suara saksofon musisi ta-mu Arif Setyadie menyalak diiringi be-tot-an bas Pra, synthesizer Dwiki, dan tabuhan drum Gerry. Tapi warna mu-sik etnis kemudian mendominasi.
Lihatlah Pra, yang menggunakan bas gundul (fretless) untuk menjangkau nada-nada pada laras pelog atau slendro yang tidak ada pada laras di-atonis. Simak pula laras sika dan bayati khas musik Timur Tengah yang bisa ditemukan pada lagu-lagu Aceh. Laras yang terakhir ini muncul pada nomor Nyopat, sebuah komposisi yang berisi lirik berbahasa Aceh. Lirik itu dibawakan Teuku Rafly, musisi tamu dari Aceh. Ia memukau pe-ngunjung dengan suara-nya yang melengking tinggi dan gaya yang menyerupai orang trance.
Tak satu pun komposisi- yang dibawakan Rabu malam itu persis seperti versi kaset. Ubiet, sang vokalis, dalam Bunga Tembaga, bebas meng-eksplorasi suara. Narasi- berbahasa Flores yang berasal dari pui-si puja-pujaan di Pulau Rote membuat bulu kuduk me-rinding. ”Yang direkam itu hanya representasi spi-rit komposisi saja,” kata Dwi-ki kepada Tempo.
Semua personel menunjukkan kebolehannya de-ngan bermain solo atau ber-adu dalam duo. Sambil menukar senyum le-bar, mereka menyuguh-kan sebuah adegan memba-nyol-. Tarompet Yoyon ”berkomunikasi” dengan sak-so-fon Arif. Dari pelan, la-ma-lama makin ngotot, sambil diceletu-ki betot-an bas gundul Pra dan den-ting simbal Gerry. Adu sua-ra itu semakin panas ke-tika satu sama lain sa-ling mencopoti instru-mennya. Tarompet Yoyon ke-luar sebagai pemenang ketika empet—terbuat dari daun kelapa—yang berukur-an seujung kuku masih- bi-sa me-ngeluarkan bunyi ”kwek, kweek”, sementa-ra saksofon Arif cuma menyisakan sepotong mouth piece di -ta-ngan.
Di panggung, Krakatau telah mentraktir kuping pengunjung dengan mu-sik yang kaya. Ketika suasana saling cer-ca dan curiga antara dunia Timur dan Barat semakin tajam, menonton kon-ser Krakatau membuat hati kemba-li sejuk. Banyolan saksofon dengan ta-rompet Sunda itu masih terus ter-ngiang di telinga. Dialog musik dua du-nia malam itu telah mengenyahkan se-ga-la batasan, karena jazz adalah ke-be-basan.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo