Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tamu itu datang menjelang sore. Seorang berambut pendek, yang satu lagi berambut gondrong. Mereka hendak menemui Tamsil Linrung, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera. Hari itu kantor Tamsil di lantai empat gedung Nusantara I sedang sepi. Darul Islam, sekretaris Tamsil, mempersilakan mereka duduk. Si gondrong terlihat menggenggam sebuah map berwarna biru. Map itu dilipat dua, tampak kusut.
Darul mengira dua tamu itu mahasiswa. Maklum, bosnya kerap kali didatangi mahasiswa dengan ruparupa tujuan. Ada yang sekadar minta nasihat, ada pula yang mengundang Tamsil jadi pembicara diskusi atau seminar. Si sekretaris begitu terkejut ketika mereka memperkenalkan diri sebagai anggota intelijen dari Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Untung saja Darul tak hilang akal. Ia meminta keduanya menunjukkan surat tugas. Si gondrong mengambilnya dari map yang dilipat dua. Darul membaca surat perintah itu, lalu menelepon bosnya. Surat perintah itu dibubuhi tanda tangan Komisaris Besar Polisi Sukamto Handoko, Direktur Intelijen dan Keamanan, Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Kebetulan, sore itu, Jumat dua pekan lalu, Tamsil Linrung bersama sejumlah anggota tim investigasi beras impor, tengah berdiskusi dengan Siswono Yudhohusodo, mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Tamsil memang menjabat sebagai ketua tim investigasi impor beras Vietnam. Diskusi berlangsung di Hotel Mulia, tak berapa jauh dari gedung DPR.
Di tengah diskusi itulah Darul Islam menelepon. ”Di sini ada dua orang polisi dari Polda hendak menyelidiki rencana pembentukan tim investigasi impor beras,” katanya. Tamsil terhenyak. ”Yang benar saja,” ujarnya sembari berkerut kening. ”Benar. Mereka membawa surat perintah,” jawab Darul. Tamsil menyuruh sang sekretaris menggandakan surat itu. Darul langsung memfotokopinya. Berlaku sejak 30 Januari, surat perintah itu berakhir 6 Februari 2006.
Ketika sedang menggandakan surat perintah, intel berambut pendek menyerocos bertanya, ”Apa saja tugas Pak Tamsil dalam tim investigasi beras itu?” Darul Islam hanya menjawab, ”Saya tak tahu.” Dijawab pendek, si intel tak patah arang. ”Kalau ada tim, berarti ada anggotanya. Siapa saja anggotanya?” tanyanya lagi. Darul juga menjawab tak tahu. Lima menit berada di ruangan Tamsil, dua intel muda itu lalu pamit pulang.
Di Hotel Mulia, Tamsil sibuk menelepon Firman Gani, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tamsil hendak bertanya soal dua intel itu. Tapi telepon seluler Firman Gani sedang ”tulalit”. Berapa menit berselang, Firman balik menelepon. Tamsil langsung menanyakan perintah penyelidikan itu. Firman Gani menjawab tak tahumenahu. Ia juga mengaku tak pernah memberi perintah mematamatai anggota tim investigasi beras. Pembicaraan pun ditutup.
Kasus ini meledak setelah sejumlah anggota DPR melansir surat serupa, Selasa pekan lalu. Kegusaran terutama melanda anggota Dewan dari Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dua partai inilah yang paling getol mengusulkan penggunaan hak angket parlemen untuk menyelidiki beras impor dari Vietnam.
Masalah beras impor sempat mendidihkan hubungan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan penentangnya di legislatif. Pengusul penggunaan hak angket akhirnya kalah dalam voting di sidang paripurna DPR, akhir Januari lalu. Tapi yang kalah tak menyerah. PKS dan PDI Perjuangan lalu membentuk tim investigasi sendiri untuk melacak dugaan adanya permainan dalam impor beras. Kedua partai ini yakin, Indonesia sebetulnya tak perlu mengimpor beras karena hasil panen petani negeri ini bisa mencukupinya.
Tim investigasi yang dibentuk PKS bahkan meluncur ke Hanoi, Vietnam. Mereka menemukan fakta menarik. Pemerintah Vietnam ternyata memberi komisi 5 persen dari total nilai impor. Jika informasi itu benar, maka total komisi beras yang diimpor dari Vietnam itu melambung ke bilangan Rp 21 miliar (lihat Dari Hanoi Tercium Komisi).
Maraknya impor beras ilegal juga ikut diinvestigasi tim PKS dan PDI Perjuangan. Sejumlah anggota ditugaskan memelototi sejumlah kawasan yang disinyalir sebagai tempat berlabuhnya beras haram dari seberang. Nah, ketika sejumlah anggota parlemen sedang giatgiatnya melakukan investigasi, intel polisi berusaha untuk mematamatainya.
Kepolisian, juga Presiden Yudhoyono, pun panen kecaman. Menurut Ketua DPR Agung Laksono, surat perintah penyelidikan itu jelasjelas menghina parlemen. ”Saya tak bisa menerima adanya surat penugasan semacam itu,” katanya. Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, bertekad membawa masalah ini dalam rapat pimpinan, Selasa pekan depan. ”Integritas, kapasitas, dan wewenang DPR dijamin undangundang, dan harus dijaga semua pihak, termasuk polisi,” kata Muhaimin.
Pemerintah pun buruburu mendinginkan suasana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyesalkan adanya surat perintah semacam itu. Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Sutanto, pun menyatakan penyesalannya. ”Kami meminta maaf. Tidak ada maksud mematamatai anggota Dewan,” katanya. Dia juga menambahkan, tidak ada perintah mematamatai tim investigasi beras dari Markas Besar Kepolisian Indonesia. Surat perintah itu, menurut dia, murni inisiatif intelijen Polda Metro Jaya.
Dijepit dari atas, Sukamto Handoko akhirnya menemui Soetardjo Soerjogoeritno, Wakil Ketua DPR, Kamis pekan lalu. ”Yang tanda tangan surat itu sudah menemui saya,” kata Soetardjo. Kepala politisi dari PDI Perjuangan ini, Handoko mengatakan, dirinya tidak bermaksud mematamatai anggota DPR, tapi untuk mengamankan mereka yang melakukan investigasi. Dia lalu memberikan lampiran surat itu, yang tak pernah dilansir oleh anggota Dewan yang protes.
Dalam lampiran itu disebutkan bahwa keterangan yang diperlukan dari anggota Dewan adalah siapa saja anggota tim investigasi, dan adatidaknya ancaman terhadap tim itu. Tapi sejumlah anggota parlemen melihat kejanggalan. ”Nomor surat pada lampiran berbeda dengan nomor surat pertama,” kata Tamsil Linrung. Bentuk hurufnya pun berbeda. Kesangsian serupa juga disampaikan politisi lainnya. ”Kalau pengamanan, mengapa hanya dua fraksi yang diselidiki?” kata Sabam Sirait, anggoa Dewan dari PDIP.
Kepala Polisi pun bergerak cepat. Sukamto Handoko dicopot dari jabatannya. Ia digantikan Komisaris Besar Suparni Parto, yang sebelumnya menjabat Kepala Bagian Pembinaan dan Perawatan Pusat Mabes Polri. Handoko sendiri dipindahkan menjadi Kepala Bagian Bidang Perawatan Tahanan Pusat Pengendalian Operasi Deputi Operasi, Mabes Polri.
Acara serahterima jabatan berlangsung pada Jumat pekan lalu. Upacara itu berlangsung singkat, cuma sekitar 15 menit. Firman Gani hanya berpidato dua menit. Sesudah itu ia buruburu mencopot lencana kuning keemasan dari dada kanan Handoko. Istriistri polisi yang hadir di situ terharu. Ada pula yang berlinang air mata. Jabatan Handoko diepas tanpa tepuk tangan.
Beres? Belum. Ketua Fraksi PDIP DPR, Tjahjo Kumolo, menganggap Handoko cuma menjadi tumbal dari kasus ini. Politisi Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, Ali Muchtar Ngabalin, menegaskan, pencopotan Handoko tidak sertamerta menyudahi skandal operasi intelijen ini. ”Tidak mungkin Kapolri tidak tahumenahu. Kepala Badan Intelijen Negara juga seharusnya tahu, karena semua perangkat intelijen ada di bawah koordinasinya,” katanya. Sabam Sirait menilai tidak etis jika Sukamto Handoko yang dikorbankan. ”Saya sudah sampaikan kepada Kapolri agar jangan anak buah saja yang disalahkan,” kata Sabam.
Kini sejumlah anggota DPR tengah berupaya mendesak pimpinan lembaga ini membentuk tim khusus menginvestigasi kasus intel beras. Jika kasus ini diungkap tuntas, boleh jadi Sukamto Handoko bukan satusatunya pejabat polisi yang mesti bertanggung jawab.
Wenseslaus Manggut, Wahyu Dhyatmika, Mustafa Moses
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo