Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kejanggalan ditemukan Refrizal saat berkunjung ke Hanoi. Di sana, anggota parlemen dari Partai Keadilan Sejahtera ini menemui Duta Besar Republik Indonesia, Artauli R.M.P. Tobing. Ia ternyata sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan impor beras dari Vietnam. Sang Duta Besar mengaku baru mengetahui setelah masalah itu dipersoalkan oleh sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
”Ketidaktahuan itu menimbulkan pertanyaan bagi kami,” kata Refrizal. Bersama Soeripto, rekan separtainya, dia melawat ke negara pengekspor beras itu, Senin pekan lalu. Bukan untuk studi banding, mereka ingin melacak pembelian ratusan ribu ton beras dari negara itu.
Langkah tersebut diambil setelah usulan untuk penyelidikan impor beras ditolak dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, 24 Januari lalu. Fraksi PKS lalu membentuk tim investigasi yang dipimpin Tamsil Linrung. Anggotanya Soeripto, Refrizal, Suswono, dan Fachri Hamzah.
Manuver serupa diambil PDI Perjuangan, yang sejak awal mendukung penggunaan hak angket. Sebuah tim investigasi dibentuk beranggotakan Irmadi Lubis, Ario Bimo, Hasto Kristiyanto, Mindo Sianipar, Said Abdullah, Sukardjo Hardjosoewirdjo, Mardjono, dan Idham. Berbeda dengan tim PKS, tim ini hanya beraktivitas di dalam negeri.
Keseriusan PKS dan PDI itulah mungkin yang membuat pejabat intelijen Polda Metro Jaya perlu memerintahkan anak buahnya untuk mematamatai mereka.
Tak hanya menemui pejabatpejabat perwakilan diplomatik Indonesia di Vietnam, Soeripto dan Refrizal juga menemui eksportir beras dan anggota parlemen negara itu. Mereka juga terbang ke Ho Chi Minh untuk mengecek berbagai dokumen ekspor beras, termasuk isi kesepakatan impor, waktu pembelian, pelabuhan tujuan pengapalan, dan tonase serta kualitas beras. ”Ada orang yang membantu kami di sana,” kata Refrizal.
Tim PKS menyimpulkan, impor beras memang dilakukan melalui kesepakatan antarpemerintah atau G to G, sesuai dengan penjelasan pemerintah Indonesia. Semua biaya pengapalan dan asuransi impor ditanggung oleh eksportir di Vietnam. Namun, Refrizal dan kawankawan menemukan satu hal ganjil, yakni keluarnya komisi sebesar 5 persen dari total nilai impor. Diduga duit komisi ini jatuh ke tangan Bulog.
Jika benar, itu bukan angka kecil. Pada November 2005, Perusahaan Umum Bulog memperoleh izin impor 70.050 ton beras. Dua bulan kemudian, izin untuk impor 110 ribu ton keluar. Dengan harga US$ 260 per ton, total nilai impor mencapai sekitar US$ 46,81 juta. Artinya, komisi untuk dua kali impor itu mencapai US$ 2,34 juta atau sekitar Rp 21 miliar. Wow!
Benarkah? Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, menepisnya. ”Itu sama saja menuduh pemerintah Vietnam melakukan mark up,” katanya.
Menurut Widjanarko, pembayaran beras melalui transfer dari Bank Bukopin ke Bank Vietcom. Rekeningnya pun langsung atas nama pemerintah negara itu. Bulog hanya memperoleh harga khusus, yakni US$ 260 per ton. Ini lebih murah dibandingkan harga US$ 274 per ton untuk Filipina yang juga mengimpor dari Vietnam.
Adanya ketidakberesan dalam impor beras juga diungkapkan oleh tim PDI Perjuangan. Setelah mengaudit kebijakan pemerintah mengenai pengadaan beras sejak Juni 2005 hingga Januari 2006, mereka membuat dua kesimpulan awal.
Pertama, pemerintah dituduh melakukan ”politik pembiaran” sehingga terjadi kenaikan harga beras yang berujung pada impor. Kedua, pemerintah tak menyiapkan antisipasi atas turunnya harga gabah saat panen raya pada bulan Maret. Akibatnya, petani dirugikan. ”Paling tidak, pemerintah tak menyiapkan antisipasi secara gencar seperti saat melobi parlemen guna menggagalkan hak angket impor beras,” kata Hasto Kritiyanto, anggota tim PDI Perjuangan.
Mereka juga menyimpulkan, peran mafia beras sangat kentara dalam impor beras. Menurut Hasto, para makelar berhubungan dengan ”kapitalisasi partai politik”, yakni penyediaan dana partai untuk kepentingan politik, seperti pemilihan kepala daerah langsung.
Kesimpulan tim PDIP itu juga dibantah Widjanarko. Ia mengaku heran pemerintah dituduh membiarkan harga beras naik untuk memperlancar skenario impor. ”Kenaikan harga terjadi karena suplai di dalam negeri berkurang,” katanya.
Budi Setyarso, Eworaswa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo