Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMANGAT itu hampir luruh seketika. Sebuah bangunan murung ada di hadapannya. Berdiri hampir tanpa roh. Itulah sambutan untuk seorang doktor kimia yang baru lulus dari Jepang. Nyalinya sempat ciut melihat laboratorium biologi di almamaternya itu, Universitas Satya Wacana. Laboratorium tak menyediakan peralatan memadai, apalagi untuk mengubah seseorang menjadi penemu.
Salatiga 1998. Siapa yang peduli pada perempuan yang telah jauh berguru di Universitas Kwansei Gakuin, Jepang? Indonesia ketika itu sedang dilanda krisis ekonomi.
Tapi perempuan itu, Leenawaty Limantara, tak menyerah. Kecintaannya pada ilmu terlalu kuat untuk dikalahkan. Ia mulai bekerja dengan menelepon profesorprofesornya di Jepang dan Jerman. Tujuannya, hanya untuk meminta alatalat laboratorium yang sudah tak dipakai di negara superkuat itu. ”Ada yang dikirim sudah rusak dan harus diperbaiki, seperti pompa, monitor, dan detektor,” tutur Leenawaty.
Waktu terus merayap. Meskipun sebagian alatnya hanya rombengan, fasilitas laboratorium biologi itu kian komplet. Ketua program magister biologi ini pun tambah serius membenamkan diri di laboratoriumnya—sering dia harus bekerja hingga larut malam—untuk meneliti zat hijau daun atau klorofil. Tak mengherankan bila dalam beberapa tahun saja hasil penelitiannya telah menembus berbagai jurnal internasional.
Kini kerja keras Shinta, begitu ia suka disapa, mulai terbayar. Pada 2 Februari lalu, Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) mengganjarnya dengan penghargaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2005. Yayasan yang didanai perusahaan Jepang itu juga memberikan hadiah uang tunai Rp 60 juta.
Zat hijau daun itulah yang membukakan mata dunia pada laboratorium biologi yang delapan tahun silam tak dikenal orang ini. Dengan peralatan usang, Shinta mengumpulkan remahremah data tentang klorofil. Bermingguminggu, bertahuntahun, ia mengamati keajaiban proses fotokimia dalam fotosintesis—proses ”memasak” air dan oksigen yang dilakukan zat hijau daun dengan bantuan sinar matahari. Anak sekolah dasar pun sudah belajar tentang soal ini. Leenawaty menyelami proses ini jauh lebih dalam, bahkan sampai menemukan obat yang bisa membunuh kanker dengan cara mirip proses fotosintesis daun!
Tentu jalan menuju penelitian tak mudah. Leenawaty memulainya dengan tertatihtatih. ”Empat tahun pertama saya hampir putus asa,” katanya. ”Penelitian tak ada kemajuan sama sekali.” Ia mengamati bakterioklorofil (klorofil yang berasal dari bakteri) dan turunannya. Ia mencatat berbagai sinyal elektronik yang lahir dari proses itu. Dan baru pada tahun kelima dia menemukan sesuatu yang baru. ”Waktu itu saya menemukan pola koordinasi antara logam magnesium dan nitrogen pada molekul klorofil.” Temuan itu pun menumbuhkan kembali semangatnya.
Leenawaty adalah ratu klorofil. Ia telah jatuh cinta pada tumbuhan dan klorofil sejak SMA. Dan perempuan kelahiran Teluk Betung, Lampung, 41 tahun silam ini telah meneliti klorofil selama 15 tahun. Di area penelitian dasar, dia telah menghasilkan beberapa temuan besar yang sebagian telah dipublikasikan di jurnal ternama Biochemistry.
Salah satu temuan terbesarnya adalah menyingkap rahasia bagaimana molekul klorofil melakukan aktivitas utamanya, seperti memindahkan energi dan elektron. Selain itu, dia juga sukses mengisolasi senyawa penangkap cahaya, yakni LH1 dan LH2, dari bakteri termutasi yang tidak memiliki pigmen penangkap cahaya (karotenoid). Temuan ini adalah yang pertama karena sebelumnya tidak satu pun ilmuwan di dunia yang berhasil melakukannya. Para ilmuwan lain telah mencoba memanfaatkan spesies bakteri klorofil yang tidak memiliki karotenoid, seperti Rhodobacter sphaeroides R26 dan R26.1. Masalahnya, LH1 di bakteri ini sangat labil dan sulit diisolasi.
Mulanya, Leenawaty juga menghadapi tembok penghalang yang sama. Enam tahun meneliti dengan hasil nihil. Titik terang datang ketika dia mengisolasi dengan bantuan bahan deterjen sucroce monocholate buatan peneliti Jepang. Ternyata sukses.
Kebetulan yang menguntungkan juga terjadi saat dia ingin menelusuri pola degradasi obat kanker berbahan klorofil yang disuntikkan ke tubuh. Tanpa sengaja ia menemukan fakta lain, yakni obat kanker dari klorofil yang disinari, daya bunuhnya lebih ampuh dari obat kanker konvensional.
Rupanya, saat disinari dan mendapat pasokan oksigen, obat kanker itu bereaksi dan menghasilkan singlet oxygen (oksigen tunggal). Ini adalah sebutan untuk oksigen yang sangat reaktif dan ampuh membasmi selsel kanker.
Berbekal pengetahuan tersebut, istri Tatas Hardo Panintingjati Brotosudarmo ini berniat mengembangkan aplikasi bakterioklorofil dan turunannya sebagai photosensitizer (obat pembunuh kanker yang bekerja setelah disinari). Dia juga telah berancangancang memproduksi minuman obat berbahan dasar klorofil. ”Untuk bisa menjadi obat, masih diperlukan beberapa tahap lagi,” kata dia.
Ketua komite seleksi penghargaan Toray, Suwarto Martosudirjo, mengatakan bahwa Leenawaty berhasil mengalahkan 20 calon penerima penghargaan yang diusulkan oleh 14 institusi. ”Ia unggul karena penelitiannya sudah banyak yang diakui dunia internasional,” kata dosen terbaik kedua tingkat nasional itu.
Sebelum menerima penghargaan Toray, perempuan ini memang sudah mendapat berbagai hadiah dan penghargaan. Pada 2001 ia memperoleh hibah penelitian dari DAAD Germany in Bioscience Special Programme. Lalu pada 2003 ia menerima penghargaan dari Association of International Education Jepang. Setahun kemudian dia mendapat lima penghargaan sekaligus, dari Swedia, Belanda, dan Indonesia.
Leenawaty mengakui bahwa rumus keberhasilannya adalah ketekunan. Menurut dia, berhasiltidaknya sebuah riset, 95 persen ditentukan oleh ketekunan. Sisanya ditentukan oleh intelektual, kesempatan, sarana, dana, dan sebagainya. ”Saya tidak pintar. Saya hanya menang ulet,” ujarnya. Dalam pengamatannya, banyak peneliti yang kurang tekun, kurang sabar, dan tidak fokus. Ketika meneliti sebuah obyek dan gagal, mereka putar haluan, meneliti obyek lainnya. Ibarat menggali lubang, belum menemukan air, sudah pindah ke lubang yang lain.
Kini Leenawaty telah kembali ke laboratoriumnya. Impiannya adalah melanjutkan penelitian obat antikanker dari bakterioklorofil. Ia sangat berharap pemerintah atau perusahaan yang terkait dengan aplikasi terapi kanker bersedia memberikan bantuan dana. Untuk sementara, dia telah menawarkan proposal ke Mochtar Riady Institute untuk membiayai kelanjutan riset tersebut. Penelitiannya yang telah menghabiskan 70 kilogram bakteri tak akan siasia. Kali ini, laboratoriumnya di Salatiga tak lagi murung.
Efri Ritonga dan Sohirin (Salatiga)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo