Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena Bahasa Jawa UMAR KAYAM DALAM Kongres Bahasa Jawa di Semarang pekan lalu, banyak dikeluhkan kerusakan bahasa Jawa dan kebingungan orang Jawa menggunakan bahasanya. Dilaporkan soal bahasa Jawa yang belepotan susunan kalimatnya, penggunaan kosakata yang campur aduk dengan bahasa Indonesia, dan bahasa asing, belum lagi kebingungan orang Jawa sekarang menerapkan takuk-takuk ngoko, kromo, dan kromo inggil. Maka, kalimat-kalimat seperti manawi sampun dipun waos toripun, kula aturi cepat menyusun proposal-ipun supados enggal dipun oke pimpinan proyek . . . atau kula mangke bade tindak dateng resepsi, nanging kula kuwatos boten bade saged dahar makanan-ipun, banyak bermunculan di masyarakat. Kalimat-kalimat tersebut yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia akan berbunyi "bila sudah dibaca tor-nya, saya harap agar Anda cepat menyusun proposal-nya supaya segera dioke pimpinan proyek" dan "nanti saya akan pergi ke resepsi, tetapi saya khawatir saya tak akan dapat makan makanannya" memang memberikan kesan belepotan dan kejanggalan. Dalam kalimat pertama kesan belepotan itu tampak pada penggunaan kata-kata tor-ipun, proposal-ipun, dan dipun oke pimpinan proyek. Pada kalimat kedua kesan janggal dan bingung tampak dalam menerapkan takuk-takuk ngoko-kromo pada kula mangke bade tindak dan kula kuwatos boten bade saged dahar. Orang Jawa yang mengatakan kula tindak dan kula dahar adalah orang Jawa yang sudah bingung menggunakan basa kromo karena tindak dan dahar adalah kata-kata basa kromo inggil yang tidak seyogianya dipakai untuk "menghaluskan" dirinya sendiri. Kejanggalan yang lain tampak pada kula kuwatos boten bade saged dahar yang jelas mendapat pengaruh dari bahasa Inggris "I'am afraid I won't be able to eat ...." Banyak dari peserta kongres menuding sebab-sebab kerancuan serta kebingungan penggunaan bahasa Jawa itu pada semakin berkurangnya keluarga Jawa memakai bahasa Jawa secara tertib di rumah-rumah mereka, semakin banyaknya generasi muda menggunakan bahasa Indonesia, dan semakin sedikitnya pelajaran bahasa Jawa diberikan di sekolah-sekolah. Namun, tidak cukup banyak dari mereka yang terus mengejar lebih jauh sebab-sebab yang lebih rumit dan canggih dari konstatasi mereka tersebut. Kebanyakan dari peserta dan pakar dalam kongres sudah puas dengan konstatasi tersebut dan mengusulkan pemecahan persoalannya pada "operasi teknis" seperti pengajaran bahasa Jawa yang lebih banyak lagi di sekolah-sekolah di daerah lingkungan budaya Jawa, media cetak dalam bahasa Jawa perlu diperbanyak, perlombaan penulisan esai dan susastra Jawa perlu digalakkan, dan sebagainya. *** Barangkali kita lupa bahwa bahasa Jawa sudah sejak sekali bergesekan dan mendapat pengaruh dari bahasa asing. Bahasa Jawa Kuna yang dapat kita baca dalam prasasti dan lontar menunjukkan bahwa amat lama bahasa Jawa sudah tidak pernah "murni" lagi dan "dirusak" untuk kemudian "diperkaya" oleh bahasa Sanskerta dengan masuknya kebudayaan dan peradaban India. Bukan hanya bahasa Jawa yang "dirusak" dan "diperkaya". Juga sistem kepercayaan, sistem politik, sistem ekonomi, kebudayaan Jawa seluruhnya telah "dirusak" dan "diperkaya" oleh kebudayaan dan peradaban India itu. Seperti telah kita ketahui, proses "perusakan" dan "pengayaan" itu tidak berhenti sampai kebudayaan India, melainkan terus berproses dari satu transformasi sosial-budaya ke transformasi sosial-budaya yang lain, sejalan dengan kedatangan pengaruh-pengaruh asing lain yang datang kemudian. Kalau kita letakkan konteks kemapanan bahasa Jawa yang banyak disesali karena telah "rusak" oleh dinamika proses tranformasi suatu sistem budaya, seharusnya kita tidak harus terpukau kepada fenomena "kerusakan" tersebut sebagai satu fenomena yang statis. Fenomena (bahasa) Jawa mesti bisa kita lihat dalam fenomena dinamis. Maka, fenomena "kerusakan" bahasa Jawa kita sekarang (sama dengan fenomena "kerusakan" bahasa daerah kita yang lain) mestilah juga bisa kita lihat sebagai fenomena proses "pengayaan", menjadi bagian dari transformasi baru yang disebut Indonesia itulah. Juga fenomena pengayaan dari bagian kebudayaan global, kebudayaan modern dunia. Maka, kalau orang Jawa generasi tua dengan rasa waswas serta khawatir melihat anak-anak atau cucu-cucu mereka hanya bisa dan mau berbahasa ngoko saja, bahkan bercampur dengan banyak kosakata bahasa Indonesia, mestilah dilihat sebagai konsekuensi perubahan dan transformasi. Yaitu menjadi bagian dari satu masyarakat yang bergerak semakin egaliter meninggalkan takuk-takuk askriptif dan satu masyarakat yang lebih mengindonesia dan yang "mengglobal". Barangkali sinyalemen Subagio Sastrowardoyo yang mengatakan bahwa penulis-penulis terbaik Jawa hanya dapat menulis dalam bahasa Indonesia akan menjumpai perspektif atau alternatif baru. Syaratnya, bahasa Jawa di waktu yang akan datang dapat dibebaskan menjadi "bahasa ngoko" sehingga para penulis Jawa akan "dibebaskan" pula dari beban-beban budaya yang memberatkan. Barangkali perspektif ini akan berlaku pula bagi konsep "sembah-sumpah" dari Ben Anderson yang pernah menyatakan bahwa penulis Jawa yang terpelajar menulis karya mereka yang terbaik dalam bahasa yang bukan-bahasa-Jawa. Karena ada beban budaya feodal Jawa. Bahkan, barangkali juga perspektif dan prospek "basa Jawa ngoko" tersebut dapat pula menjawab ramalan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa bahasa daerah akan mati untuk digantikan oleh bahasa Indonesia. Barangkali jawaban untuk semua itu bukan either-or, "kalau tidak ini . . . itu". Semua masih serba mungkin. Sebab, semua fenomena yang tersebut tadi adalah bagian dari satu fenomena yang lebih rumit dan kompleks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo