Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Soenarto Pr., Sanggar Bambu yang Mengalir

Sanggar Bambu, sebuah sanggar di Yogya yang ikut mewarnai sejarah seni rupa kita, merayakan ulang tahun ke-58 pada April lalu. Tempo berbincang dengan pendiri Sanggar Bambu, perupa Soenarto Pr., 85 tahun.

3 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARUM jam hampir menunjuk pukul sembilan ketika Soenarto Prawirohardjono alias Soenarto Pr. keluar dari pintu rumah. Langkahnya tertatih dengan alat bantu berjalan berkaki empat. Ia kemudian duduk di kursi rotan usang di teras rumah. Sinar matahari pagi langsung menyergap tubuh renta yang dibalut T-shirt putih dan kain sarung kotak-kotak cokelat itu. "Bapak memang biasa berjemur pagi. Ketika masih kuat, sempat jalan-jalan di halaman," kata Mirah Maharani, 41 tahun, anak bungsu Soenarto, yang akrab disapa Mia, di rumahnya di Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pada 15 Mei lalu.

Soenarto telah sepuh. Usianya 85 tahun. Rambutnya telah memutih. Begitu juga kumis dan janggutnya. Kondisi fisik seniman pendiri Sanggar Bambu, Yogyakarta, itu telah menurun. Pada 2015, ia masuk rumah sakit karena tekanan darahnya naik. Setahun kemudian, ia kembali menjalani opname lantaran mengalami pembengkakan jantung. Sehari-hari aktivitas Soenarto, yang tinggal bersama anak bungsunya, lebih banyak di rumah. Bangun saat subuh, sarapan, berjemur di teras rumah pada pukul 9-10, lalu kembali istirahat.

Aktivitas melukisnya pun berkurang. Semula dalam sebulan ia bisa merampungkan empat lukisan pastel yang menjadi ciri khasnya, tapi kini satu lukisan bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan. Seperti lukisan Sultan Hamengku Buwono X yang baru dirampungkannya awal 2017 setelah dibuat sketsa pada 2015. "Tapi semangat Bapak masih besar. Beliau selalu menolak naik kursi roda saat menghadiri acara-acara penting," ujar Mia.

Seperti saat menghadiri perayaan ulang tahun Sanggar Bambu ke-58 pada 1 April lalu. Dalam acara yang berlangsung di Galeri Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta itu, Soenarto didaulat membuka pameran seni bertema "Lingkar Persaudaraan". Awalnya ia tak mau menggunakan kursi roda. Tapi, setelah Mia membujuknya, akhirnya dia luluh. "Bapak sudah tak kuat lagi berdiri lama," ucap Mia.

Soenarto memang identik dengan Sanggar Bambu. Bersama beberapa seniman, di antaranya Kirdjomuljo dan Heru Sutopo, ia mendirikan sanggar tersebut pada 1 April 1959. Bagi Soenarto, Sanggar Bambu merupakan rumahnya belajar sekaligus tempat dia berbagi ilmu dengan para seniman lain. Boleh dibilang, kehadiran sanggar itu ikut mewarnai sejarah perkembangan seni di Indonesia. Ia menjadi wadah para seniman berkiprah. Tak hanya dalam ranah seni rupa, sanggar ini juga berperan dalam dunia teater, musik, dan sastra.

Selain sebagai ketua pertama Sanggar Bambu, Soenarto dikenal sebagai "Raja Pastel Indonesia"--karena melukis dengan media pastel. Bagi dia, pastel lebih luwes dibanding cat air ataupun cat minyak karena bisa digunakan pada media kertas. Pastel juga lebih mudah dibawa, mengingat Sanggar Bambu pada masa kepemimpinannya (1959-1969) sering berkeliling pameran ke sejumlah kota di Tanah Air.

l l l

Lahir di Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah, 20 November 1931, bakat melukis Soenarto menurun dari ayahnya, Moe'id Prawirohardjono, guru bantu sekolah dasar yang suka menggambar. Sejak usia tiga tahun, Soenarto sudah mulai gemar menggambar. "Saya selalu minta oleh-oleh kapur dari Bapak," kata anak keempat dari sembilan bersaudara pasangan Moe'id dan Siti Romlah ini. "Lantai rumah pun saya penuhi dengan aneka coretan."

Ayah Soenarto juga mengoleksi lukisan dari para seniman Sokaraja di rumah. Sokaraja adalah sebuah kawedanan di Purwokerto, Jawa Tengah, yang sebagian besar warganya melukis. Lukisan-lukisan mereka tak hanya dikoleksi warga Sokaraja dan sekitarnya, tapi dijual berkeliling hingga ke Ambon. Sayangnya, kekhasan warga Sokaraja itu lambat-laun menghilang dan hanya menyisakan mendoan, soto, dan getuk goreng Sokaraja, yang masih terkenal hingga kini.

Saat masih di sekolah dasar, Soenarto pernah beberapa kali menjuarai lomba melukis. Menginjak sekolah menengah pertama, semasa pendudukan Jepang, ia ikut memanggul senjata sebagai prajurit Tentara Pelajar. Meski begitu, talenta melukisnya tak serta-merta hilang. Ia melukis rumah yang menjadi markas gerilya. Selepas penjajahan Jepang, Soenarto menjalani demobilisasi. Dia mendapatkan pesangon tiga tahun untuk kembali bersekolah. Ia memilih melanjutkan ke sekolah pertanian menengah atas di Malang, Jawa Timur.

Bakat melukis Soenarto kian terasah ketika memilih untuk menimba ilmu seni murni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada September 1953, resmilah Soenarto menjadi mahasiswa ASRI. Semasa kuliah di akademi seni yang berdiri sejak 1950 itu, ia diajar melukis oleh tiga dosen yang juga maestro seni lukis: Trubus Soedarsono, Soedarso, dan Affandi. Trubus mengajar dia melukis di dalam dan luar studio. Soenarto juga sempat nyantrik sekitar tiga bulan di rumah Trubus di Pakem, Sleman. Hingga suatu saat Trubus ditangkap dan tak pernah kembali karena dituduh terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang disebut onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). "Tapi, selama saya bersama Trubus, dia tak pernah mempengaruhi saya untuk masuk Lekra," ujar Soenarto.

Menginjak kuliah tingkat II, Soenarto mendapat pelajaran melukis dari Soedarso, perupa otodidaktik. Soedarso pernah menjadi pengantar susu di Bandung. Suatu hari ia bertemu dengan Affandi yang menjadi pelanggan susunya. Soedarso pun selalu menyempatkan diri melihat Affandi melukis di halaman rumah. Akhirnya ia akrab dengan sang maestro lukis. Dan Affandi kemudian mengetahui Soedarso senang melukis. Pengantar susu itu pun akhirnya pulang dengan menenteng tiga helai kanvas pemberian Affandi.

Affandi menjadi dosen melukis ketika Soenarto di tingkat III. Bagi Soenarto, dalam cara mengajar, Affandi mempunyai daya pikat tinggi dibanding Trubus dan Soedarso, yang lebih banyak diam. Misalnya saat mahasiswa seni murni tingkat III diajak Affandi melukis ke luar. Tidak sekadar melukis di halaman, tapi pergi ke suatu desa di wilayah Yogyakarta dengan mengendarai bus. Mereka berhenti di pinggiran sungai yang cukup besar dengan airnya yang jernih. Para mahasiswa mencari lokasi sendiri-sendiri untuk melukis. Affandi memilih mandi di sungai. Hasil karya lukisan mereka dibahas esok harinya di kelas.

Soenarto ingat saat itu ia melukis pohon yang miring dengan dahan-dahannya. Pohon itu memenuhi tiga perempat kertasnya. "Melukisnya dari atas atau dari bawah?" tanya Affandi. Soenarto menjawab dia melukis dari atas. Ia juga memberi penjelasan ihwal lukisannya. Lantas apa komentar Affandi selanjutnya? "Kalau saya melukis dari bawah. Bisa merasakan tumbuhnya. Itu filosofis sekali!" kata Soenarto mengingat pernyataan Affandi kala itu.

Sejak itu Soenarto sering ke rumah Affandi selepas kuliah untuk berguru. Setiap kali selesai melukis, dia meminta pendapat Affandi. "Kalau berguru kan tanya-tanya terus," kata Soenarto. Hingga Affandi menegurnya. "Jangan tanya-tanya lagi. Kamu sudah pelukis," ujar Affandi saat itu, seolah-olah telah membaptis Soenarto sebagai pelukis.

Soenarto pun tak lagi bertanya. Tapi kebiasaannya datang ke rumah Affandi tak surut. Ia ingin mendengarkan omongan Affandi yang baginya seperti seorang cendekiawan.

l l l

Setelah lulus dari ASRI, Soenarto ikut membidani lahirnya Sanggar Bambu. Boleh dibilang, lahirnya sanggar itu bermula dari obrolan ringan penyair dan pegiat teater Kirdjomuljo; seniman dari Akademi Seni, Drama, dan Film Yogyakarta, Heru Sutopo; serta dirinya.

Pada 1959, Kirdjomuljo mendapat tugas dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk membangun tempat pementasan teater di Gajahan. Lokasi itu berada di pojok Alun-alun Selatan Keraton yang menjadi tempat memelihara gajah. Heru Sutopo dan Soenarto ikut terlibat dalam proyek itu. Siang-malam mereka bekerja. Soenarto bertugas membuat dekorasi, melukis dinding-dinding tempat tersebut.

Suatu malam Kirdjomuljo tiba-tiba bertanya kepada Soenarto. "To, jadi pelukis kok tidak punya sanggar?" kata Kirdjomuljo. Belum sempat Soenarto menjawab, Heru Sutopo menyahut. "Iya, To. Kalau butuh tempat, di tempat ibuku. Boleh tinggal satu tahun," ujar Heru.

Soenarto pun menyambut antusias usul dan tawaran sahabat-sahabatnya itu. Pada 1 April 1959, berdirilah Sanggar Bambu, menempati rumah ibu Heru Sutopo di Jalan Gendingan Nomor 115, Yogyakarta. Menurut Soenarto, nama Sanggar Bambu terinspirasi saat dia diminta membuat dekorasi pementasan Teater Indonesia di Malang berjudul "Puisi Rumah Bambu". Lirik puisi yang dibuat Kirdjomuljo itu dipentaskan dengan iringan musik F.X. Soetopo. "Sanggar Bambu tidak berpartai, non-afiliasi partai, dan individu sekaligus sebagai bangsa," kata Soenarto dalam pidato pendirian Sanggar Bambu.

Dalam perjalanannya, Sanggar Bambu menjadi persinggahan para seniman dalam berproses. Selain Soenarto, Kirdjomuljo, dan Heru Sutopo, di awal-awal berdirinya, tercatat sejumlah seniman berkiprah di sanggar tersebut. Dari mereka itu, yang kemudian tersohor antara lain Danarto dan Mulyadi W.

Selama 10 tahun periode awal kepemimpinan Soenarto, Sanggar Bambu melakukan pameran keliling di 40 kota di Indonesia. Mereka memamerkan lukisan, melukis secara on the spot, juga mementaskan teater dan berdiskusi. Tak mengherankan bila anggotanya pun kemudian tak hanya perupa, tapi juga penyair, pemusik, dan pegiat teater. Mereka antara lain Untung Basuki, Mien Brodjo, Linus Suryadi, dan Isnaeni M.H.

Selain melahirkan sejumlah seniman, Sanggar Bambu menghasilkan karya-karya monumental. Di antaranya Monumen Jenderal Gatot Soebroto di Purwokerto, Monumen Jenderal Ahmad Yani di Jakarta, rangkaian patung dada pahlawan di Gedung Joang 45 Jakarta, dan Monumen Latuharhary di Ambon. Nama Sanggar Bambu pun kemudian dikenal di mana-mana.

Boleh dibilang, pada masa kepemimpinan Soenarto, Sanggar Bambu telah menorehkan sejarah perkembangan seni di Tanah Air, khususnya Yogyakarta. Ketua Sanggar Bambu Totok Buchori mengenal Soenarto sebagai pribadi yang sederhana, tidak ambisius. "Kehidupannya pun mengalir apa adanya," kata Ketua Sanggar Bambu Periode 2009-2019 itu.

Hingga kini, tutur Totok, Soenarto terus memompa semangat berkesenian agar tetap hidup di Sanggar Bambu, yang sejak tiga tahun lalu bermarkas di tepi Sungai Bedhog di Tempuran, Tamantirto, Bantul. Lokasinya menyatu dengan alam. Di kiri-kanannya tumbuh pohon bambu dan dekat dengan kandang kuda. Serasa klop dengan gambar simbol sanggar itu: lima kepala kuda.

Pito Agustin Rudiana


Bagi Soenarto, Sanggar Bambu merupakan rumahnya belajar sekaligus tempat dia berbagi ilmu dengan para seniman lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus