Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rumitnya Lima Hari Sekolah

Presiden Joko Widodo meninjau ulang peraturan menteri soal sekolah lima hari. Dikritik Wakil Presiden, diprotes Nahdlatul Ulama.

3 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT mendampingi Presiden Joko Widodo membagikan Kartu Indonesia Pintar di Tasikmalaya, awal bulan lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berbisik-bisik melaporkan soal aturan sekolah lima hari. Kepada Presiden, Muhadjir mengatakan amanat rapat kabinet terbatas Februari lalu itu siap dieksekusi.

Presiden Jokowi mengangguk menerima laporan itu. "Lanjutkan saja," ujar Muhadjir menirukan tanggapan Jokowi pada Rabu pekan lalu. Salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu pun tak ragu menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah pada 12 Juni lalu.

Aturan itu merupakan babak baru jam pelajaran anak-anak sekolah. Pada pertengahan 1990-an, aturan ini sempat diujicobakan di sekolah-sekolah negeri. Tak jelas kelanjutannya, sekolah swasta setelah Orde Baru justru menerapkan full-day school ini hingga sekarang. Siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas hanya bersekolah pada Senin-Jumat selama delapan jam sehari.

Muhadjir menghidupkan kembali aturan ini. Anak-anak belajar di sekolah selama delapan jam setiap hari sehingga total lama belajar sepekan 40 jam--dua kali lipat dibanding Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan nomor satu di dunia.

Rupanya, restu Jokowi bukan berarti aturan Muhadjir ini mulus. Wakil Presiden Jusuf Kalla termasuk yang paling sengit memprotes. Kalla ragu terhadap kesiapan sekolah mendukung kebijakan ini. Ia mencontohkan kebutuhan makan siang. "Kalau di kota besar, sudah biasa," katanya. "Di desa, sekolah enggak punya ruang makan. Siapa bikin dapur di sekolah?"

Sebetulnya, kerisauan Jusuf Kalla terjawab dengan contoh sekolah-sekolah swasta yang menerapkan belajar lima hari seperti disebutnya. Siswa yang belajar melewati jam makan siang di sekolah membawa bekal dari rumah untuk dimakan saat jam istirahat siang.

Kerisauan rupanya tak hanya soal makan siang. Kementerian Agama menilai aturan ini mengancam pendidikan agama di madrasah diniyah, sekolah setingkat SD. Selama ini, anak-anak madrasah mempelajari tambahan ilmu agama Islam pada sore setelah mereka selesai belajar. "Kami kebanjiran keluhan soal aturan ini," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Kementerian Agama Mastuki.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Sa'adi menambahkan, aturan sekolah lima hari akan membuat madrasah dan pesantren gulung tikar. Reaksi lebih keras datang dari Nahdlatul Ulama, organisasi muslim terbesar yang banyak menaungi madrasah di daerah.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menggelar konferensi pers menolak aturan Menteri Muhadjir. Mereka mengirim surat kepada Presiden agar membatalkan aturan tersebut. Bahkan mereka meminta Jokowi mencopot Muhadjir. "Pak Menteri membuat suasana gaduh," kata Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini.

Melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Jokowi menanggapi protes-protes itu. Sehari setelah konferensi pers PB Nahdlatul Ulama, Pramono mengatakan pemerintah menangkap apa yang menjadi keresahan masyarakat. Presiden, menurut dia, sedang mencarikan solusinya.

Solusi itu berupa undangan kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin, yang juga menjabat Ketua Dewan Penasihat Nahdlatul Ulama, ke Istana Negara pada Senin siang dua pekan lalu. "Saya diminta ikut menghadiri pertemuan itu," ujar Muhadjir.

Ma'ruf sudah berada di Istana Negara mengobrol dengan Presiden begitu Muhadjir tiba, sehingga ia tak tahu apa yang menjadi pembicaraan keduanya. Presiden Jokowi hanya mengatakan kepada Muhadjir bahwa Ma'ruf mengusulkan aturan yang ia teken itu ditingkatkan statusnya menjadi peraturan presiden. "Kiai Ma'ruf menyarankan agar MUI, NU, dan Muhammadiyah dilibatkan dalam penyusunan peraturan itu," tutur Muhadjir.

Ma'ruf dan Muhadjir lalu mengumumkan kepada pers hasil pertemuan selama sepuluh menit itu. Muhadjir mengaku senang terhadap peningkatan status ini. Menurut dia, sejak awal soal ini dibahas bersama para menteri di sidang kabinet, ia mengusulkan aturannya berupa peraturan presiden.

Sidang kabinet pada 1 Maret 2017, menurut Muhadjir, memutuskan aturan tersebut cukup melalui peraturan menteri. Jokowi dan Jusuf Kalla, kata dia, mengetahui rencana dan aturan ini sejak awal karena menjadi tempat Muhadjir meminta saran. "Ini implementasi program Jokowi-JK di bidang pendidikan," ujarnya.

Dalam program Jokowi-JK saat kampanye tiga tahun lalu, keduanya menjanjikan peningkatan mutu pendidikan melalui 70 persen pembangunan karakter, sementara sisanya transfer pengetahuan. Muhadjir diminta merealisasi program itu. Ia minta waktu setahun untuk mengkajinya.

Menurut temuan Muhadjir, para guru tak menjalankan fungsinya secara benar. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru hanya menghitung beban kerja para guru lewat jumlah jam tatap muka dengan siswa di kelas. Padahal, kata Muhadjir, fungsi guru bukan sekadar tutor, melainkan fasilitator yang bertugas mengembangkan potensi siswa.

Muhadjir ingin para guru lebih lama di sekolah. Ia pun menghapus peraturan lama yang mendorong guru mengajar di banyak sekolah untuk mencari tambahan penghasilan asalkan jumlah beban mengajarnya terpenuhi. Dalam peraturan baru, Nomor 19 Tahun 2017, guru hanya boleh mengajar di satu sekolah.

Dengan dalil-dalil tersebut, Muhadjir membuat aturan belajar seharian itu. Delapan jam di sekolah, kata Muhadjir, membuat guru bisa menjalankan tiga fungsi pendidikan di sekolah itu. Dalam delapan jam, guru bisa berkreasi membuat kegiatan kurikuler, membahas tugas, dan menjalankan kegiatan lain di luar kelas dengan sumber pengetahuan dari luar sekolah. "Kalau delapan jam di kelas, setan juga tak akan tahan," ujarnya.

Pertimbangan lain: anak-anak punya waktu libur lebih lama, yang bisa dimanfaatkan bersama ayah-ibu mereka yang libur kerja pada Sabtu-Minggu. Dengan begitu, kata Muhadjir, keluarga punya kesempatan banyak turut mengembangkan karakter anak.

Aturan ini tak langsung disahkan. Sesuai dengan saran Presiden dan Wakil Presiden, Muhadjir mengujicobakannya secara bertahap di 9.300 sekolah sejak pertengahan tahun lalu. Hasilnya, lima hari sekolah lumayan efektif mengakomodasi cita-citanya dalam pengembangan karakter anak.

Kini Muhadjir sedang menyusun kembali aturan itu karena statusnya meningkat menjadi peraturan presiden. Ia berjanji akan memperhatikan kritik Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia dalam merumuskan aturan sekolah lima hari kerja bersama para menteri lain.

Menurut Muhadjir, aturan itu harus selesai tahun ini karena tahun depan sudah memasuki tahun politik. Kerja pemerintah bercabang karena menghadapi pemilihan presiden yang serentak bersama pemilihan anggota legislatif pada 2019. "Tahun depan sudah tahun politik. Situasinya pasti lebih rumit," ujarnya.

Gadi Makitan, Mitra Tarigan, Aditya Budiman, Yohanes Paskalis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus