Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Lahirnya Skywalker Baru

Dalam episode final saga panjang ini, lahir seorang Skywalker baru. Sementara itu, identitas Rey terus-menerus dipertanyakan.

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CELAKANYA sebuah franchise yang sudah berusia puluhan tahun, yang sudah berpindah produser dan sutradara, yang cerita aslinya hadir pada 1977: semua orang merasa memiliki dan semua penonton merasa berhak menentukan jalan cerita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Star Wars tak pernah sepi dari kehebohan dan kontroversi karena setiap kritikus, setiap penggemar fanatik, setiap pemilik merchandise yang penuh hasrat mengenakan kostum para tokoh—dari yang ganteng seperti Han Solo hingga yang berbulu macam Chewbacca—demi menghidupkan jagat kreasi George Lucas ini.

Setelah kontroversi Star Wars: The Last Jedi (2017) arahan Rian Johnson yang membuat sebagian penggemar marah—salah satunya karena Luke Skywalker pada masa senja digambarkan sebagai seorang nihilis, pesimistis yang sama sekali tak mau lagi bergerak sebagai seorang Jedi—tampaknya episode final ini adalah “upaya koreksi”. Padahal sebagian kritikus dan penonton sebetulnya menganggap gerak sutradara Rian Johnson sebagai sesuatu yang segar karena “memanusiakan” dan membuat karakter Luke menjadi wajar sesuai dengan perkembangan usia. Cuma, ya, itu tadi: yang merasa sebagai fan sejati dan merasa memiliki cerita tersebut “tak sanggup” melihat perubahan karakter yang dianggap mengecewakan.

Dalam episode final dari trilogi ketiga yang diberi judul Star Wars: The Rise of Skywalker ini, penyutradaraan dikembalikan ke pangkuan J.J. Abrams, yang sudah memulai Star Wars generasi baru pada awal trilogi. Dan, sudah bisa ditebak, J.J. Abrams memberikan “pelayanan” habis-habisan kepada penggemar Star Wars.

Semua pertanyaan dan diskusi hebat terjawab dalam episode ini. Misalnya siapa sih bokap Rey (Daisy Ridley)? Bukankah Kylo Ren (Adam Driver) sudah pernah mengatakan “orang tuamu bukan siapa-siapa”? Benarkah? Lalu apakah hubungan antara Rey dan Kylo Ren alias Ben (atau tepatnya di dunia media sosial mereka diberi panggilan sayang “Rey-Ben”) betul-betul akan menjadi Rey-Ben atau hanya saling jothakan melalui The Force?

Itu semua akan terjawab. Bukankah soal keturunan, trah, darah adalah sebuah hal yang sungguh penting sejak awal lahirnya serial ini? Ingat adegan fenomenal saat Darth Vader menyampaikan pernyataan yang masih saja menjadi pembicaraan berabad-abad: “Luke, aku adalah ayahmu….”   

Film ini dimulai ketika Kylo memasuki labirin gelap, kelam, dan menjanjikan kematian. Ternyata labirin itu singgasana Kaisar Palpatine (Ian McDiarmid) yang… astaga, masih saja hidup dan diam-diam membangun pasukannya di area yang tidak terdeteksi. Palpatine tampak makin tua renta, makin mengerikan, setelah sekian abad kita tak bertemu di layar lebar, sementara Kylo sebagai generasi baru—yang jika hidup di jagat kita pasti tergolong generasi milenial yang galau—tak peduli dan tak memusingkan senioritas sang Kaisar. “Saya sudah membunuh Snoke, dan saya bisa membunuhmu.”

Sebetulnya, justru kaisar gaek itulah yang bisa membunuh anak muda yang kesusu ini. Problemnya, Kaisar Gayek masih membutuhkan Kylo untuk membunuh Rey. Paling tidak, itulah perintah Palpatine.

Kylo memiliki agendanya sendiri. Dia menyodorkan tangannya kepada Rey—melalui gaya telepati Force mereka—agar bergabung dengannya menghajar Palpatine dan menjadi penguasa Dunia Hitam bersamanya. Kylo mencoba mengabaikan bahwa Rey adalah pengikut Resistance yang setia, yang sangat menghormati Jenderal Leia (Carrie Fisher “dihidupkan” melalui sisa-sisa footage selama rekaman pada awal serial ini).

Sudah diduga, Rey menolak dan memilih bersama angota geng Resistance, Poe Dameron (Oscar Isaac) dan Finn (John Boyega) serta Chewie (Joonas Suotamo), dan para robot droid, R2-D2, C-3PO, serta BB-8, melesat menuju Exogol. Konon, di sanalah Palpatine dan kaum Sith tengah membangun pasukan dan kekaisaran yang kelak akan menghancurkan Resistance dan pengikutnya.

Mungkin yang kemudian membuat cerita ini ribet adalah berbagai subplot cerita J.J. Abrams dan Chris Terrio yang diselipkan di banyak tempat. Misalnya adanya “mata-mata” yang dianggap menjadi agenda ganda antara Resistance dan kelompok First Order (baiklah, bagian ini penting). Atau persoalan geng Resistance yang harus berkelana ke Kijimi untuk bisa “mencungkil” aksara Sith dari memori C-3PO. Lalu ada subplot tokoh baru semacam Zorii Bliss (Keri Russel) yang rupanya pada masa lalu pernah ada cinta kandas yang membuatnya berang.     

Subplot yang seolah-olah mencoba membuat Poe dan Finn tetap punya peran ini sebetulnya harus direlakan saja untuk dibuang. Bukankah ini kisah final? Fokus kita semua ada pada Rey-Ben atau Rey-Lo atau siapa pun nama power couple ini, kalau bisa disebut sebagai pasangan. Plot penting yang besar adalah bagaimana Resistance bisa mengalahkan penjahat demi penjahat semacam Palpatine dan hamba-hamba Sith yang tidak kunjung habis dari episode ke episode, dari tahun ke tahun. Dari Luke yang masih klimis dan baru menyadari dia kembaran Leia sampai akhirnya pemeran Leia sudah wafat sehingga footage lama harus diubek demi jalan cerita.

Harus diakui, ada “hiburan” yang menyenangkan. Misalnya munculnya tokoh Lando Calrissian (ya, Billy Dee Williams kini berusia 83 tahun, tapi dia tetap Lando yang keren dan kenes yang kita kenal) yang tak pernah terlihat lagi sejak episode Return of the Jedi (1983). Tiba-tiba saja aura masa jaya Star Wars terasa kembali, meski kini Lando beriringan dengan anak-cucu para koleganya pada masa lalu. Lalu, bagaimanapun perpanjangan kompleksitas hubungan Rey dan Kylo, yang menarik—selain adegan intim yang ditunggu—adalah pertarungan lightsaber mereka yang dahsyat, tak tertandingi, karena gerak Rey kini lebih lengkap dengan campuran martial art yang secara visual amat keren (ingat adegan dia menebas sayap pesawat Kylo).

Soal identitas Rey yang akhirnya terungkap sebetulnya menjadi antiklimaks. Tentu saja J.J. Abrams ingin kita terkejut seperti saat Darth Vader mengumumkan identitasnya kepada Luke. Ternyata kita tidak terlonjak. Oh, jadi kau dari keluarga itu. Baiklah.

Mungkin yang hendak saya hargai adalah bagaimana J.J. Abrams dan seluruh timnya memasang perempuan sebagai tokoh utama, pemimpin, jenderal, dan petarung, seperti Leia dan Rey.

Moral cerita lain adalah J.J. Abrams tampaknya kini ingin menggarisbawahi filsafat George Lucas kembali: kejahatan atau kebaikan pada akhirnya bukan karena darah atau keturunan. Lihatlah Anakin yang berubah menjadi Darth Vader; lihatlah Ben (putra pasangan kesayangan kita, Han Solo dan Leia) yang menjadi Kylo Ren dan bahkan menjadi Darth Vader wannabe; serta tak mengherankan jika Rey adalah tokoh yang mengabdi pada kebaikan dan kebenaran. Tak mengherankan pula jika dua orang yang dia anggap sebagai mentor, Luke dan Leia Skywalker, kemudian dirasakannya sebagai “darah” yang mengalir dalam dirinya.      

LEILA S. CHUDORI

 


 

Star Wars: The Rise of Skywalker

Sutradara: J.J. Abrams
Skenario: J.J. Abrams dan Chris Terrio
Cerita: Derek Connolly, Colin Trevorrow, J.J. Abrams, Chris Terrio
Berdasarkan tokoh-tokoh ciptaan George Lucas.
Pemain: Carrie Fisher, Mark Hammil, Daisy Ridley, Adam Driver

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Leila S Chudori

Leila S Chudori

Menulis novel dan resensi film.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus