Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dari probolinggo dengan cinta sapi

Sejumlah ulama NU cabang probolinggo mengeluarkan fatwa: adu sapi haram. berdasarkan rujukan kitab kuning & hadis. PPP & PDI sepakat, kecuali FKP. bupati soeprapto menganggap adu sapi sebagai paket wisata.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK selamanya benar bahwa ulama dari kalangan Nahdatul UIama (NU) bersikap kompromistis. Sebab, sekitar 45 orang anggota majelis syuriah NU Cabang Probolinggo, Jawa Timur, sekarang melempar fatwanya menentang tradisi: "adu sapi haram". Yang mengagetkan bukan kata "haram" itu, melainkan Pak Kiai di sana serius mengurus soal sapi. Di Probolinggo, agaknya ini penting karena gelanggang adu sapi itu dipilih dekat pesantren. Dan menurut Su'udi, seorang pengurus NU setempat, "Baru kali ini di Probolinggo diadakan adu sapi secara tetap." Makanya, kiai-kiai itu cepat mengadakan bahtsul masa'il (pembahasan masalah-masalah) yang membahas khusus perkara melaga hewan. Ini di luar yang rutin. Bagi masyarakat. di sana, bahkan di Situbondo dan Bondowoso, sapi memang tak dapat dilepas dari tradisi. Mayoritas penduduk pesisir utara di ujung Jawa Timur itu adalah orang Madura. Maka, kerapan sapi menjadi bagian dari kesehariannya. Lebih dari itu, mereka mempunyai permainan yang oleh masyarakat di Pulau Madura justru tidak mereka kenal: adu sapi. Konon, ratusan tahun silam permainan adu sapi malah berawal dari kalangan pesantren. Tersebutlah Ki Ronggo, seorang kiai dari Madura. Ki Ronggo datang membuka hutan dan menjadikannya sebagai permukiman, dengan hanya bermodalkan sapi. Karenanya, permukiman baru itu kemudian disebut Bondowoso (dari kata ber-bondo-kan waisyo, berhartakan sapi). Hewan tersebut juga dimanfaatkan untuk memadatkan tanah dan menghibur para santri yang sedang melepas lelah usai menebang hutan. Caranya, sapi itu diadu-adu. Tapi yang membuat para kiai NU mengernyitkan kening bukan ulah santri-santri di masa silam itu. Sekarang, malah banyak santri yang diam-diam kabur dari pesantren, menonton adu sapi. Acara tidak cinta sapi itu sudah digelar secara rutin. Misalnya, pada Pekan Adu Sapi yang sekarang sedang berlangsung di alun-alun Paiton -- setiap Sabtu dan Minggu riuh rendah oleh suara pengunjungnya. Sebagian besar mereka malah jamaah NU. Daerah tersebut memang basis NU. "Padahal, siapa pun tahu, adu sapi itu full maksiat dan sadistis," kata Mahfudz Basya, Ketua Fraksi PPP di DPRD Probolinggo. Bila adu sapi sulit dipisahkan dengan maksiat, agaknya banyak yang sepakat. Terutama perjudian. Copet, pelacuran, juga carok sering berhulu pada acara ini. Ada pula perbuatan syirik via perdukunan. Hampir setiap menjelang adu sapi, makam Ki Ronggo termasuk dikunjungi orang untuk "memohon berkah" agar sapi yang dijagokannya menang. Kenyataan-kenyataan itulah yang mendorong ulama NU di sana berfatwa. Sejak akhir Ramadan lalu, bahtsul masa'il digelar, dan praktis tanpa debat. Lima kitab kuning dipakai sebagai rujukan. Hadis demi hadis dikemukakan. Di antaranya hadis yang melarang penganiayaan binatang. Dan, semua setuju pada penilaian: mengadu sapi berarti menganiaya hewan. Dalam hadis itu dikemukakan, Nabi pernah menegur anak-anak yang menjadikan seekor hewan buruan sebagai bulan-bulanan anak panah -- sembari mereka bersorak sorai. "Siapa yang tidak mengasihi yang di bumi, maka Yang di Langit tak mengasihimu," kata Nabi saw. Kitab yang dibuka adalah Is'adur Rofiq. Pada juz ke-2 halaman 76, disebutkan mengadu kambing dengan kambing, juga binatang lain, digolongkan sebagai perbuatan maksiat. Di halaman 316 kitab Bajuri yang populer di pondok-pondok itu, hukumnya dipertandas: mengadu domba, sapi, serta binatang piaraan lain adalah haram. Dikemukakan lagi, perbuatan mengadu hewan itu menuruti tabiat kaum Nabi Luth yang durhaka, yang kemudian dibinasakan Allah. Dalam kitab lain, Syarwani dan Syarqawi, masing-masing di halaman 216 dan 425, tidak disebut soal adu sapi. Yang disebut hanya ayam, anjing, dan kera. Namun, kedua kitab ini pun melarang adu hewan secara umum. Sedang yang mengurai rinci haram mengadu sapi adalah rujukan kelima, Mazahibul Arba'ah (Mazhab Empat). Kitab ini tidak mememakai istilah "adu" (munatakhah), tapi "pertengkaran" alias shura. Mem-"pertengkar"-kan binatang, menurut kitab ini, termasuk bentuk penyiksaan. Dan penghasilan yang diperoleh dari adu hewan seperti sudah disebut bernilai "jijik" atau khobi. Dan semua umat Islam mafhum, yang dikategorikan jijik harus ditinggalkan. Dengan landasan tadi, kesimpulan gampang ditarik. Seperti kata K.H. Rofi'i, pengasuh Pondok Ihyaus Sunnah, Paiton, mengadu sapi itu "kemungkaran yang nyata". Fatwa yang sudah komplet disusun itu lalu ditandatangani oleh para ulama peserta bahtsul mafa'il, antara lain K.H. Hasan Syaifurrijal dari Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo. Hasil itu kemudian dikirim kepada bupati, dengan tembusannya untuk PB NU. Fraksi PPP menyokong keberatan kiai-kiai tadi. PDI, menurut Mahfudz, mendukung sikap fraksinya. FKP keberatan "hanya soal lokasinya yang berdekatan dengan pondok" tapi mempermasalahkan penanganannya "supaya tidak terjadi keresahan". Soeprapto, Bupati Probolinggo, belum hendak menanggapi. Ia melihat adu sapi itu sebagai bagian dari paket wisata, karena itu tidak mau dilaga dengan kaca mata agama. Kabupaten Probolinggo, katanya, "Kini sedang mereklamekan dirinya sebagai daerah tujuan wisata utama di Jawa Timur." Bupati Bondowoso yang dulu juga berpendapat begitu. Tapi Agus Saroso, bupati yang sekarang malah realistis: tak percaya tontonan sejenis itu mengundang wisatawan ke daerahnya. Sebab, yang turun di arena adu sapi itu biasanya mempertaruhkan hartanya untuk berjudi. Merasa tak didukung pemerintah, promotor adu sapi mengalihkan kegiatannya ke Probolinggo. Dan menanggapi fatwa kiai-kiai itu, Poo Tiong (kini Hendra) yang rajin membuka gelanggang adu sapi berkomentar pendek, "Adu sapi tidak sadistis. Tinju kan lebih sadistis." Mau fatwa adu orang? Mungkin sama dengan adu sapi: jangan zalim-menzalimi, Poo.M. Baharun (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum