Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TALI kutang. Kain batik. Handuk Gucci. Kasur kapuk. Celana dalam dan kain sarung. Di bawah sinar matahari, jemuran adalah keseharian kita di negeri tropis. Ia hadir setiap hari, seperti juga ihwal manusiawi lainnya seperti buang air, makan, dan mencari nafkah. Tapi mengapa baru sekarang terpikir bahwa jemuran adalah obyek menarik?
Adalah fotografer Aiko Urfia Rakhmi, mahasiswi Jurusan Fotografi Institut Kesenian Jakarta, yang sukses menggelar pameran tunggal pertama tentang perilaku manusia tropis ini di dua tempat sekaligus: Japan Foundation dan Galeri Foto Jurnalistik Antara, pada Desember lalu dan Januari ini. Terdapat 35 foto yang dipamerkan dengan instalasi khas jemuran di sana-sini.
Mereka yang datang mengunjungi pameran berjudul Maling Jemuran itu lantas terenyak. Memilih jemuran sebagai tema adalah ide genial. Tingkat kesulitannya rendah karena logikanya masyarakat tak berkeberatan jemurannya dipotret; perburuan yang baik mesti dilakukan pada pagi hari (waktu terbaik menjemur adalah ketika cahaya matahari melimpah-limpah; sebuah keuntungan sendiri untuk kegiatan fotografi) dan seperti juga butir salju, tak akan ada dua yang persis sama di seluruh dunia.
”Saya percaya jemuran instalasi seni yang jujur dan polos. Melalui tanda-tanda yang diperlihatkannya, ia berdialektika,” Aiko menulis dalam pengantarnya, dua lembar kertas A4 yang difotokopi. Aiko mendanai sendiri pameran ini, termasuk perjalanannya berburu jemuran. Katalog dihargai Rp 5.000. Sebuah buku cantik berjudul sama dengan pameran berisi foto-foto karyanya yang dicetak digital hanya sebanyak 100 kopi dihargai Rp 750 ribu. Ada pula pembatas buku senilai Rp 2.000.
Siapa Aiko? Wanita kelahiran Tokyo pada 1977 ini menghabiskan empat tahun pertama dalam hidupnya di Jepang. Usia balita hingga sekolah menengah atas ditempuhnya di Jakarta. Lalu ia kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Belum lagi satu semester, Aiko pergi ke Adelaide untuk belajar di Tafe South Australia, jurusan multimedia interaktif. Lulus dari situ, Aiko pulang ke Jakarta dan mengambil sekolah animasi di Digital Studio College selama 16 bulan. Kini Aiko kembali ke IKJ untuk menyelesaikan S-1-nya.
Aiko mengatakan, sejak kecil bakat menggambarnya sudah menonjol. Ia cinta dunia seni rupa. DI SMP Al-Azhar, ia belajar ekstrakurikuler fotografi dari dosen IKJ yang mengajar di situ, Fendy Siregar. Sejak itulah ia mendaulat Fendy sebagai guru dan penyemangatnya, meski sempat lama tak bersua. Fendy-lah yang mendorongnya berpameran dan memilih tema khusus.
Memilih jemuran sebagai tema, kata Aiko, terjadi pada bawah sadar. ”Ih, kok enggak malu ya? Celana dalam jelek, nomor beha ke mana-mana, kaus bolong,” katanya. Tapi ia lantas mafhum, semua kalangan, usia, ras, dan gender sudah menjadikannya kebutuhan dasar. ”Mulai pakaian dalam dan luar, seprai, bantal dan kasur, sofa, boneka, sarung batik, pakaian sembahyang, popok bayi, sepatu dan kaus kaki, dan semua yang dipakai dan bersentuhan dengan keringat manusia harus dicuci bersih agar bersih dari noda dan bau,” ia menulis.
Jadilah selama dua tahun ia berburu jemuran hingga ke Palembang, Bangka dan Belitung, Bandung, Cirebon, Kampung Naga, Baduy, Pekalongan, Yogyakarta, Madura, dan Bali. Semuanya dilakukan di antara kesibukannya bekerja sebagai desainer grafik di televisi swasta, pekerjaan yang sudah ia tinggalkan per Januari ini.
Tengoklah 35 karyanya. Aiko berhasil menempatkan jemuran dalam konteks, seperti jemuran bersandar di dinding situs purbakala di Cirebon, jemuran dengan plang Toko Obat Simson di Palembang, dan jemuran di atas gerobak minyak tanah. Aiko juga berhasil menangkap aktivitas mereka yang menjemur dan mencuci baju. Aiko melengkapi gambar dengan caption sehingga setiap gambar terasa punya ironi atau humor sendiri. Seperti Yang Hidup dan Yang Mati, potret jemuran di kuburan, dan Jemuran dan Salib, potret tiang jemuran yang dari sudut tertentu memang mirip.
Menurut kurator Oscar Motuloh, kekuatan Aiko justru terletak pada kesederhanaannya. Tema sederhana bisa diambil justru ketika atau teknik-teknik dasar sudah dikuasai. Aiko, menurut dia, sudah melampaui hal-hal dasar seperti komposisi, cahaya, kecepatan, warna, dan harmoni. ”Lihat sinar yang ia hasilkan dalam beberapa gambar. Kita bisa melihat fotografernya sabar menunggu cahaya yang tepat. Dia serius dan tekun,” kata Oscar.
Dari gambar-gambarnya terlihat Aiko sulit mengakses jemuran masyarakat papan atas. Tak ada jemuran dalam setting rumah mewah, apartemen, keraton, atau hotel mewah. ”Jemuran orang kaya tak menarik. Mereka malu, jadi jemurannya disembunyikan,” kata Aiko.
Namun hal ini dianggap Oscar sebagai dalih kesulitan semata. Menurut dia, ujian besar bila Aiko bisa melanjutkan tema jemuran ini dengan kreatif, seperti episode lain dalam serial tentang jemuran. ”Bisa saja dia melangkah ke manusianya, tubuh-tubuh pemilik baju, lalu keluarga pemilik jemuran. Anak-anaknya mungkin, buruh pabrik, atau jemuran satu desa. Jadi jemuran yang bergerak terus, seperti juga kehidupan,” katanya.
Kita tidak tahu apakah ujian melanjutkan jemuran ini akan disambut Aiko, yang tentu saja membuatnya harus menggali ide lebih dalam lagi agar tidak kehilangan efek kejut—seperti keberhasilannya kini. Tapi kita geli, meski menikmatinya dengan asyik, ketika membayangkan adegan Aiko berkelana di Tanah Air, menumpang kereta api, kapal laut, dan andong. Matanya menjelajah, tangannya tak sadar memutar-mutar lensa kamera. Dan matanya, matanya akan membelalak begitu menemui targetnya: hamparan jemuran terentang. Bila berkunjung di muka rumah, ia akan mengendap-endap ke halaman belakang. Bila mengucap salam di pintu pagar, yang ia longok jemuran yang terentang di samping rumah.
Mestinya Aiko juga bertandang ke lembaga pemasyarakatan, ketika jemuran para narapidana wanita ditata rapi berjejer-jejer di dalam sel. Aha, Aiko akan berteriak dalam pikirannya: Ada jemuran! Tali kutang, kain batik, handuk Gucci, aku suka jemuran!
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo