Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
COMMONWEALTH
Editor: Antonio Negri dan Michael Hardt
Penerbit: Harvard University Press, AS
Cetakan: Pertama, Oktober 2009
Tebal: xiv + 434 halaman
”Our sabotage organizes the proletarian ’assault on the heavens’. And in the end those damned heavens will no longer be there!”(Antonio Negri dalam Capitalist Domination and Working Class Sabotage, Red Notes, 1977)
ANTONIO Negri memang selalu menarik perhatian kaum muda progresif. Guru besar politik di Universitas Padua, Italia, itu tidak hanya memaparkan teori-teori politik. Ia juga aktivis politik radikal yang disegani penguasa Italia. Ketika Partai Komunis Italia berkompromi dengan Partai Kristen-Demokrat untuk membentuk pemerintahan pada 1977, ia dan kelompoknya menuding itu pengkhianatan Partai Komunis terhadap gerakan melawan kapitalisme.
Kini corak pemikiran Negri bergeser dari Marxisme tradisional ke pasca-Marxisme. Puncaknya, ia merumuskan dua konsep sekaligus, yakni konsep ”eksploitasi” dan konsep ”immaterial labour” (”buruh nirmateri”), yang kemudian dijabarkan dalam trilogi buku Empire-Multitude-Commonwealth. Menurut Negri, masalah yang dihadapi umat manusia saat ini bukan sekadar penguasaan kapital oleh segelintir orang, melainkan keberadaan manusia sudah dieksploitasi sedemikian rupa melalui buruh nirmateri (baca: pengetahuan dan bahasa).
Sebagai pamungkas dari trilogi, buku Commonwealth mengurai enam bagian yang disela Intermezzo (halaman 189-202). Buku ini menyodorkan dua hal: soal etika kebebasan yang menjadi rujukan dalam hubungan antarmanusia dan ihwal perlunya konstitusi untuk kemakmuran bersama. Negri dan Hardt sangat menyadari bahwa globalisasi sedang melaju cepat dan dampak utama globalisasi adalah sebuah kondisi hidup bersama dan umat manusia harus berbagi, tidak boleh ada yang tersingkirkan.
Negri mengkritik beberapa teoretikus globalisasi, seperti Ulrich Beck dan Anthony Giddens, yang mengabaikan adanya kelanjutan proyek modernitas dari struktur sosial yang eksploitatif. Serangan Negri juga ditujukan kepada Joseph Stiglitz, David Held, dan Thomas Friedman. Ketiga pakar globalisasi ini memang mengusulkan perlunya reformasi sistem global, tapi trio itu anehnya sama sekali belum mempertanyakan struktur kapital dan kepemilikan (halaman 19). Jika hendak mereformasi sistem global, sudah selayaknya struktur kapital dan kepemilikan warisan revolusi borjuis itu dibongkar dulu. Karena itu, reformasi yang diusulkan tentu tak mendasar, bahkan sekadar mengartikulasikan demokrasi, kesetaraan, dan kebebasan demi melanggengkan komposisi lama dari sebuah republik.
Dalam tiga bagian di awal buku Commonwealth, tampak benang merah antara tatanan republik, modernitas, dan kapital. Jumlah negara berbentuk republik saat ini jauh lebih banyak daripada negara berbentuk nonrepublik, tapi perilaku negara republik nyaris secara substansial tak berbeda jauh dari tabiat negara nonrepublik, seperti negara kerajaan. Tiga revolusi borjuis terbesar dalam sejarah, yang terjadi di Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis, justru melahirkan bentuk republik kepemilikan (republic of property), yang pada ujungnya lebih mengutamakan kepemilikan sekelompok orang daripada memperhatikan kemiskinan.
Negara republik semacam itu telah melahirkan kepemilikan pribadi di atas kepentingan umum. Bahkan perdebatan kaum federalis Amerika yang mengawali penulisan konstitusi justru mendorong terbentuknya negara republik yang menyerap kekuatan konstituen ke dalam kekuasaan konstitusional. Kekuatan konstituen memang secara substantif diakui sebagai hal fundamental dalam konstitusi Amerika, tapi harus dipahami bahwa kekuatan itu mewujud ke dalam watak patrimonial para pemegang kebijakan. Gejala seperti ini, tulis Negri, juga terjadi di mana-mana tatkala republik bukan lagi milik masyarakat pada saat kebijakan modernisasi membutuhkan kapital. Peminggiran terjadi pada tingkat domestik sampai komunitas internasional.
Pada tiga bagian akhir bukunya, Negri mengupas kembalinya Empire (halaman 206) dan mengelola revolusi. Menurut dia, karakter Empire pada periode Bush selalu bertumpu pada pendekatan ”kekuatan keras” (hard power). Sebaliknya, pada periode yang sedang berjalan saat ini, Empire itu hendak dikukuhkan melalui ”kekuatan lunak” (soft power). Intinya, dominasi dan eksploitasi terhadap lawan-lawan politik negara adidaya akan terus berlangsung melalui cara yang seolah-olah beradab. Untuk itu, revolusi harus dilakukan dengan kecerdikan dan kecermatan buat menciptakan keseimbangan wacana. Revolusi tidak lagi melalui kekerasan, tapi lebih baik memasuki jalan konstitusional demi menciptakan institusi yang adil dan sejahtera.
Rosdiansyah
penggiat Surabaya Readers Club
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo