Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia cuma menggenggam uang 10 ribu euro atau sekitar Rp 170 juta. Dana itu dari Hubert Bals Fund, yayasan yang membiayai penulisan skenario sebuah film untuk Festival Film Rotterdam. Tapi di tangan Tan Chui Mui, uang yang sedikit itu justru menjadi sebuah karya yang bagus.
Love Conquers All pun menjadi ”macan festival”. Tahun lalu menang di Pusan, Korea Selatan, awal tahun ini ia meraih penghargaan utama di Rotterdam, Belanda.
Perempuan kelahiran Kuantan, Malaysia, pada 9 Oktober 1978 ini pada awalnya tak tertarik menjadi sutradara film. Ia hanya mau menjadi penulis skenario. Tapi Jurusan Film & Animation Multimedia di sebuah universitas di Kuala Lumpur menggodanya. Ia pun mulai membikin film-film pendek, seperti Company of Mushrooms, South of South, dan A Tree in Tanjung Malim, yang tahun lalu lolos seleksi di Festival Rotterdam. Karena lolos itulah dia bikin proposal untuk penulisan skenario Love Conquers All.
Film layar lebar pertamanya ini bercerita tentang Ah Peng, seorang gadis desa yang datang ke kota untuk membantu di warung bibinya. Gadis ini bertemu seorang pemuda Melayu, John, yang mengejarnya dan mengaku jatuh cinta setengah mati. Sayang, film ini belum bisa diterima sepenuhnya oleh masyarakat Malaysia sendiri.
Berikut petikan percakapan dengan Tan Chui Mui di Professional Center, De Doelen, Rotterdam:
Anda membuat film ini dengan biaya yang seharusnya menjadi upah Anda sebagai penulis skenario. Bagaimana Anda mengatasi masalah biaya?
Dengan memanfaatkan teman (Mui tertawa). Aktris utamanya adalah gadis yang pernah mengikuti workshop bersama saya. Aktor utamanya adalah vokalis sebuah band underground yang saya kenal. Lalu DOP-nya adalah James Lee, teman baik saya. Saya juga membantunya menulis skenario film Before We Fall in Love Again. Penata musiknya adalah adik teman saya. Jadi, soal honor bisa dinegosiasi.
Film ini mempertontonkan adegan ranjang. Apa tidak kena sensor di Malaysia?
Tentu saja disensor (Mui kembali tertawa). Saya sudah tahu, pasti adegan ciuman dan adegan ranjang disensor. Tapi yang paling membuat saya heran, ada adegan aktor utama mengucapkan ”assalamu alaikum” ketika mengetuk rumah orang lain, juga kena sensor. Alasannya, ”assalamu alaikum” tak boleh diucapkan oleh orang yang nonmuslim. Saya sungguh tak mengerti. Bukankah itu ucapan salam yang umum?
Love Conquers All lebih banyak menggunakan bahasa Mandarin. Apakah itu juga jadi masalah?
Film ini tak banyak ditonton di Malaysia. Alasannya bukan melulu karena cerita, tapi karena bahasa. Selama ini, orang berbahasa Melayu di Malaysia hanya menonton film Melayu. Begitu pun orang Cina di Malaysia lebih memilih film dari negara berbahasa Mandarin seperti Taiwan, Hong Kong, atau Cina. Jadi, saya membuat film ini sudah sadar betul pasarnya.
Sebagai orang Malaysia keturunan Cina, kesulitan apa lagi yang Anda hadapi untuk memulai membuat film di Malaysia?
Sulit mencari sponsor. Karena para pemodal sadar betul bahwa sebagai film berbahasa Cina di Malaysia nggak bakal laku. Jadi, saya membuat film ini benar-benar mengandalkan uang 10 ribu euro itu. Saya bersyukur punya banyak teman.
Anda memanfaatkan teman. Apakah itu tak mempengaruhi karya masing-masing?
Pengaruh itu pasti ada, tapi dalam setiap proyek kami sadar teritorial masing-masing. Ketika saya menulis skenario Love Conquers All, saya bahkan tak membiarkan James Lee membacanya sampai seminggu sebelum syuting. Saya takut kritik dari teman bisa membuat saya mengubah skenario, karena saya orang yang mudah berubah.
Film Anda selalu menghindari momen-momen penting. Jawaban dari film ini bahkan ditempatkan di tengah. Ini memang disengaja?
Teman-teman saya juga protes. Tapi karena ini proyek saya, mereka mengalah. Lagi pula, apa salahnya menempatkan jawaban di tengah film? Dan terus terang saja, saya tidak sanggup membuat adegan pilu atau dramatis. Makanya, saya biarkan gadis itu diam. Toh, penonton sudah tahu.
Love dibuat dengan sangat minimalis. Apakah karena soal dana?
Kalaupun punya uang lebih, mungkin saya lebih memilih untuk membeli alat-alat yang saya butuhkan. Film ini cukup seperti itu. Dari segi visual, saya memang ingin film ini minimalis.
Asmayani Kusrini (Rotterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo