Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wanita berambut pirang yang duduk di depan jendela kafe gedung De Doelen itu mengepulkan asap rokoknya. Ia kemudian menarik napas lega. ”Semuanya sudah bisa diatasi,” katanya.
Ia, Sandra Den Hamer, direktur Festival Rotterdam. Ia mengaku sempat panik. Salah seorang tamunya asal Filipina tertahan di Bandara Schiphol karena urusan birokrasi. Ini bukan yang pertama kali. Sehari sebelumnya, salah seorang undangan dari Iran dan Israel juga mengalami hal yang sama. Kini, ia tak lagi khawatir, 3.000 undangan dan 400 pekerja film telah hadir.
Den Hamer adalah perempuan di balik sukses festival itu. Sejak menggantikan Simon Field sebagai direktur pada 2004, ia membuat pembaruan dengan membentuk seksi khusus film untuk pemula berbakat, inovatif dalam teknik atau cerita, dalam film-film bertema sosial, atau film-film dari kebudayaan yang belum dikenal. ”Kami mencari gambar dan fakta yang lebih dalam dari sekadar berita yang kami baca atau kami tonton,” kata Den Hamer.
Festival ini juga memiliki Cinemart, badan khusus yang dibuat untuk menjadi mediator antara sutradara dan para pebisnis film—bankir, TV, agen distributor serta calon potensial untuk mendapatkan dana. Cinemart didirikan pada 1983. Biasanya, Cinemart mengumpulkan proyek-proyek film yang masih kesulitan dana. Proyek-proyek diberi nomor meja, dan setiap pemilik modal yang tertarik bisa datang ke meja-meja tersebut untuk mendengarkan presentasi dari sutradara proyek. Ruang Cinemart benar-benar layaknya pasar film.
Lalu ada Hubert Bals Fund yang menawarkan dana khusus untuk pengembangan skenario bagi para pembuat film independen dari negara-negara berkembang. Selain itu juga ada badan dan kategori khusus untuk film-film dengan teknik khusus seperti Exploding Cinema atau Exposing Cinema.
Festival ini pertama kali diadakan pada Juni 1972 oleh Hubert Bals. Sejak awal, Festival Rotterdam didedikasikan sebagai promotor film-film alternatif, inovatif, dan film nonkomersial, khususnya dari negeri-negeri Timur Jauh dan negara-negara berkembang. Meski sempat mengalami kesulitan finansial, festival ini bisa bertahan dan terus mendapat tempat hingga mapan seperti sekarang.
Setelah kematian pendirinya, Hubert Bals, pada 1988, sebuah yayasan didirikan dengan memakai namanya, Hubert Bals Fund. Lembaga yang digunakan khusus untuk mengumpulkan dana bagi sutradara dan pengembangan film-film dari negara berkembang. Pada 1995, festival ini mulai membuat perubahan dari konsep awalnya. Mulai ada penghargaan yang diberikan dan kategori khusus yang dilombakan.
Nama VPRO Tiger Awards ditahbiskan sebagai penghargaan khusus bagi para sutradara muda yang baru membuat film pertama atau keduanya. Sejak tiga tahun lalu, festival juga menyediakan tempat dan penghargaan khusus film-film pendek untuk berkompetisi memperebutkan Tiger Awards.
Festival ini memang tidak sebesar Berlin International Film Festival dari undangan dan pekerja film yang datang. Jumlah filmnya relatif lebih sedikit ketimbang Berlin atau Cannes. Namun, dari segi penonton, Festival Rotterdam tak kalah. ”Lingkungannya juga lebih enak, lebih akrab, dan lebih efektif,” kata Garin Nugroho saat datang. ”Festival ini memberi ruang begitu banyak untuk pembuat film muda berbakat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo