Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya mungil. Ia hampir tenggelam oleh orang-orang Eropa yang ada di sekelilingnya, tapi ia begitu gesit. Tan Chui Mui, gadis 28 tahun itu, mendatangi setiap meja di kafe lantai 3 gedung De Doelen, Rotterdam, Belanda, yang dipenuhi sutradara, aktor, produser, hingga wartawan. Ia membagikan kartu pos bergambar film terbarunya, Love Conquers All.
Mui adalah sutradara muda dari Malaysia. Ia datang bersama 10 pekerja film Malaysia lain, para produser dan pemain. Inilah salah satu rombongan terbesar yang ”menyerbu” International Film Festival Rotterdam, 24 Januari - 4 Februari lalu.
Pesta tahunan yang tergolong sebagai salah satu dari the Big Five festival di Eropa—termasuk Cannes, Berlin, Venice, dan Locarno—itu dibuka tanpa karpet merah, juga tanpa lampu gemerlap. Satu-satunya yang menyolok hanya kibaran ratusan bendera biru dengan gambar macan loreng yang mengaum, maskot festival ini.
Pemandangan itu dilengkapi dengan antrean panjang yang mulai meliuk di depan De Doelen sejak jam 7 pagi. Orang-orang rela antre dalam terpaan angin kencang dan udara musim dingin yang menusuk hanya untuk mendapat tiket. Di sepanjang festival, hampir 400 ribu penonton membeli tiket—bandingkan dengan Berlin International Film Festival yang tahun lalu hanya menyedot 180 ribu penonton.
Festival di Rotterdam ini memang cukup besar. Lebih dari 3.000 undangan, yang terdiri atas kritikus, produser, pemilik rumah produksi, hingga para taipan film dari berbagai negara, serta kurang-lebih 400 pembuat film hadir. Mereka memenuhi 24 gedung pertunjukan film dan 20 tempat untuk acara-acara khusus, seperti Q&A, wawancara langsung dengan TV, Midnight Talk Show, After Party, Dinner with Directors, dan lain-lain.
Hotel-hotel, juga kafe-kafe di sekitar area perhelatan, penuh orang-orang dengan pembicaraan seragam: film. Tua-muda dari berbagai profesi, saling kenal maupun tidak, akan selalu ikut nimbrung setiap kali pembicaraan mengenai film tertentu dibahas di sebuah meja. Suasana pun jadi asyik. Apalagi, di gedung De Doelen, tempat festival ini berpusat, tak ada pagar pembatas antara selebriti dan massa. Yang membedakan mereka mungkin hanya kartu pengenal.
”Anda dari mana?”
”Saya dari Indonesia, senang berkenalan dengan Anda.”
”Oh, kapan Garin (Nugroho) datang?”
Demikianlah antara lain pembicaraan di saat orang makan siang atau minum kopi. Sutradara-sutradara dari berbagai negara hilir-mudik, mengobrol santai. Kalau sedang tidak ada preview, mereka suka ikut berbincang membicarakan film-film sutradara lain. ”Ini adalah pesta yang mencoba mengumpulkan orang-orang yang cinta akan film,” kata Sandra den Hamer, direktur Festival Rotterdam.
Ya, inilah festival yang telah menginjak usia 36 tahun, dan selalu ditunggu para pencinta maupun pembuat film, yang sangat berselera terhadap film-film alternatif dari berbagai negara. Inilah festival yang memang konsisten mendatangkan film-film dari pelbagai penjuru dunia, khususnya dari negara-negara berkembang.
Ada kategori Maestro’s: King and Aces, karya-karya dari para sutradara yang sudah terkenal di dunia festival. Film Scream of The Ants karya Mohsen Makhmalbaf dari Iran, Ararat-Fouteen Views karya Don Askarian (Armenia), Les Anges Exterminateurs garapan Jean Claude Brisseau (Prancis), dan Rescue Dawn besutan Werner Herzog (Amerika-Jerman) masuk dalam kategori ini. Begitu juga Opera Jawa-nya Garin Nugroho.
Juga, ada kategori Cinema of The World: Time and Tide, yang mengangkat film-film bertema kritik sosial atau film-film dengan latar belakang kebudayaan yang belum dikenal. Terakhir, kategori Cinema of the Future: Sturm und Drang, seksi khusus untuk pemula berbakat dan inovasi dalam teknik ataupun cerita.
”Kami mencari film dan kisah dari negeri-negeri jauh dan dari kebudayaan yang belum kami pahami. Kami tak tertarik dengan gaya glamor ala Hollywood atau Cannes,” ucap Den Hamer.
Nah, film Mui di atas masuk kategori kompetisi utama yang diberi nama VPRO Tiger Awards—berasal dari Vrijzinnig Protestantse Radio Omroep (VPRO). Ini penghargaan khusus bagi para sutradara muda yang baru membuat film pertama atau keduanya. Di kategori ini ada 14 film lain yang bersaing, antara lain dari Denmark, Spanyol, Argentina, Jerman, Belgia, dan Makedonia.
Di ajang inilah Mui giat berpromosi. Ia membagikan kartu pos, memasang sendiri poster filmnya, dan tentu saja meminta orang lain menonton filmnya itu. Kegigihan Mui tak percuma, film Love Conquers All akhirnya menyabet penghargaan utama VPRO Tiger Awards dan berhak atas uang sebesar 10 ribu euro. Ini penghargaan bergengsi kedua bagi sutradara perempuan ini setelah meraih penghargaan utama Pusan International Film Festival, Oktober tahun lalu.
Kemenangan Mui semakin membuktikan prediksi Garin Nugroho dalam Tokyo International Film Festival tahun lalu. Garin yang menjadi salah satu juri festival Tokyo itu sempat mewanti-wanti, ”Hati-hati dengan kemajuan film Malaysia.” Festival di Tokyo dan Pusan, Korea Selatan, itu juga diserbu oleh film-film Malaysia. Pada pemutaran perdana Love Conquers All, Den Hammer juga mengemukakan pendapat yang sama. ”Saya bisa memastikan, masa depan sinema Asia akan dipimpin oleh sineas-sineas Malaysia,” katanya.
Inilah fenomena yang tak terbayangkan dua atau tiga tahun lalu. Ketika itu, sulit menemukan film-film Malaysia di pasar Asia, apalagi Eropa. Jumlah produksinya pun sedang merosot. Selama dua dekade, dari 1980 hingga akhir 1990, jumlah filmnya tak lebih dari 15 judul. Pada 1980, 1985, 1988, 1991, dan 1994, produksinya bahkan kurang dari lima judul.
Praktis film-film Malaysia mandek, dibuai kesuksesan film-film masa lalu ketika seniman serba bisa P. Ramlee membuat film pertama Cinta pada 1948. Ramlee (meninggal pada 1973) memberi warna tebal perfilman Malaysia hingga dekade 1960-an. Keadaan cepat berubah. Setelah produser-produser India menguasai perfilman Malaysia pada dekade-dekade kemudian, film Malaysia pun jatuh pada stereotipe film-film bercorak legenda, cerita rakyat, kepahlawanan Melayu, atau cerita drama percintaan biasa.
Film-film dengan judul berikut inilah yang diproduksi: Mat Salleh Pahlawan Sabah (1983), Matinya Seorang Patriot (1984), Gila-gila Remaja (1986), Operasi Cegah Jenayah (1991), Suci dalam Debu (1992), Baginda (1997), hingga Silat Legenda (1998). Hanya beberapa film seperti XXRay karya Aziz M Osman (1995) yang terbilang sukses menangguk penonton.
Pemerintah juga mengontrol lewat sensor yang ketat. Mui dan kawan-kawan, misalnya, masih merasakan sensor yang berlebihan itu. ”Masak, ucapan assalamu alaikum juga ikut-ikutan dipotong,” ujar Mui (lihat wawancara dengan Tan Chui Mui).
Ada aneka kendala yang menghambat apresiasi terhadap film Malaysia, termasuk kendala kultur dan bahasa. Penduduk yang berbahasa Melayu biasanya hanya menonton film Melayu. Sedangkan keturunan Cina lebih memilih film-film berbahasa Mandarin dari Taiwan, Hong Kong, atau Cina.
Dengan keterbatasan itu sutradara-sutradara muda tersebut bersiasat. Film Sepet karya Yasmin Ahmad adalah salah satu film yang membuat film-film asal negeri jiran itu mulai dilirik pada 2004. Sepet bahkan kemudian menjadi Film Terbaik Asia di Tokyo Film Festival pada 2005.
Sepet berkisah tentang seorang gadis muda Melayu yang tergila-gila pada aktor-aktor bermata sipit. Orked, gadis itu, hobi berat menonton serial Taiwan, Korea, dan film-film Cina. Ia kemudian jatuh cinta dengan pemuda Cina penjual DVD bajakan. Jalinan cinta Melayu-Cina ini, juga silang budaya serta silang bahasa, mewarnai Sepet dengan indah.
Setelah Sepet, film-film Malaysia bermunculan bak jamur. Jumlahnya bahkan tiga kali lipat dari film-film pada dekade 1990-an. Mereka pun mulai mendatangi dari satu festival internasional ke festival lain. Dan di awal tahun ini, Malaysia membawa 11 film ke Festival Rotterdam.
Yasmin Ahmad, misalnya, membuat kelanjutan Sepet: Gubra (Anxiety). Seperti Sepet, Gubra juga masih mengolah keragaman, mencoba memperkenalkan berbagai budaya yang ada di Malaysia dengan sentuhan personal Yasmin yang khas.
Lalu ada Before We Fall in Love Again (James Lee), Dancing Bells (Deepak Kumaran Menon), The Elephant and The Sea (Woo Ming Jin), In Solitude: A Camera Eye (Siew Wai Kok), Love Conquers All (Tan Chui Mui), Rain Dogs (Ho Yuhang), Thaipoosam (Shanjhey Kumar Perumal), dan tiga film pendek karya Liew Seng Tat: Daughters, Man in Love, dan Matahari.
Love Conquers All satu-satunya yang masuk seleksi untuk penghargaan utama. Gaya bercerita Mui lewat film ini cenderung halus dan tenang. Emosi tidak begitu terlihat, tapi terasa betul di setiap karakter dan akting para pemainnya. Film-film Malaysia yang lain masuk kategori Cinema of The World, Cinema of The Future: Sturm und Drang, serta berlaga di Tiger Awards for Short Film Competition.
Yang perlu dicatat, film Malaysia yang menyerbu Rotterdam tahun ini berasal dari satu ”geng”. James Lee, sutradara Before We Fall in Love Again, misalnya, menjadi DOP atau juru kamera di film Love Conquers All. Ho Yuhang, sutradara Rain Dogs, juga menjadi editor film tersebut. Sementara Mui pernah bermain dalam film arahan Lee, Sometimes Love is Beautiful. Atau Yasmin Ahmad ikut bermain di film Rain Dogs karya Ho Yuhang.
Kemudian Liew Seng Tat, sutradara film pendek yang sebentar lagi akan merilis film panjangnya yang pertama, merupakan asisten sutradara Amir Muhammad (filmnya, Last Communist dilarang beredar di Malaysia). Amir Muhammad adalah produser Love Conquers All. Tan Chui Mui dan Liew Seng Tat juga pernah bermain di salah satu film Woo Ming Jin. Dan begitu seterusnya.
”Geng” Malaysia ini kompak, berkolaborasi mewujudkan proyek pribadi masing-masing. Tak mengherankan, di antara film-film Malaysia itu, nama-nama sutradara seperti Amir Muhammad, Yasmin Ahmad, James Lee, Tan Chui Mui, atau Woo Ming Jin kadang-kadang muncul dengan status lain.
Dari segi teknis pengambilan gambar, jika membandingkan film Love Conquers All dan Before We Fall In Love Again, misalnya, sulit terlacak kalau James Lee adalah DOP film Love. Meski saling membantu, setiap sutradara punya caranya sendiri untuk menyajikan sebuah film sebagai proyek pribadi. Begitulah.
”Kami saling membantu tergantung kebutuhan. Siapa yang butuh apa, atau apa yang butuh siapa,” kata Yen San Michelle Lo, produser di Da Huang Pictures yang memproduksi lima dari film-film yang masuk seleksi Festival Rotterdam itu. ”Kerja sama seperti ini bisa menghemat biaya produksi. Selain itu, kita juga bisa saling belajar,” kata Michelle. Kolaborasi yang akhirnya membuahkan hasil.
Meski saling bekerja sama, orisinalitas terjaga. Tak ada satu pun film yang punya kesamaan cerita, kesamaan angle gambar, bahkan kesamaan gaya. Persamaannya hanya satu, berani mengeksplorasi keberagaman. Dalam setiap karya, sineas-sineas muda Malaysia ini tidak canggung dengan bahasa mereka yang beragam. Mereka juga fasih memotret pakem-pakem budaya, seperti pilihan kostum kebaya, jilbab, atau makanan tradisional.
”Gagasan yang mereka ajukan dengan cara pandang yang sangat personal membuat penonton menemukan hal baru,” kata Lou Ye, sutradara Cina yang menjadi salah satu juri.
Catatan lain yang juga penting dalam festival ini adalah munculnya film-film Filipina. Setidaknya, ada 14 film yang terjaring oleh para programmer festival yang terkenal superketat menyeleksi. Meski belum sanggup masuk seleksi VPRO Tiger Awards, film-film Filipina masuk kategori utama seperti Cinema of The Future dan Cinema of The World.
Sineas-sineas Filipina juga banyak bermain-main dengan gagasan meski tidak seberagam sineas-sineas Malaysia. Film-film Filipina itu akan terus berkeliling mengikuti festival-festival di Eropa lainnya seperti Goteborg dan Fribourg Film Festival.
Kabar kurang baik justru muncul untuk film Indonesia. Menurut bocoran dari panitia, setidaknya ada 19 film dari Indonesia masuk ke meja panitia. Sayang, tak ada satu pun yang menggugah selera para juri.
Menurut salah seorang programmer khusus untuk film-film Asia yang tak ingin disebut namanya, tak ada film Indonesia tahun ini yang menawarkan sesuatu yang baru. Hmm.…
Yos Rizal S., Asmayani Kusrini (Rotterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo