Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggung senyap dan gelap pekat. Perlahan sekali—seperti tidak rela—lampu melepaskan sinar ke segala penjuru. Tampak di tengah ruangan, sesosok perempuan mungil, gundul, diam meditatif. Dia mengenakan baju balerina, tapi panjang hingga menutupi mata kaki. Sedangkan di sisi kiri tampak empat penari—dua perempuan dan dua laki-laki—juga seperti sedang bersamadi. Di latar belakang, dua pasang patung bangsawan Jawa duduk bersila dan sebuah cermin berbingkai keemasan. Lalu mulailah gerakan-gerakan tarian yang lambat diiringi musik gospel yang mengalir bersama suara soprano.
Itulah awal persembahan koreografer dan penari asal Korea, Sen Hea Ha, A Prayer for Refuge, di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, pekan lalu. Sen Hea Ha dan empat penari dari Studio Tari-Teater TBS, Solo, melakukan gerakan-gerakan yang sebagian besar mengalun. Tarian berdurasi satu jam lebih yang dibagi dalam dua bagian, dengan beberapa penggalan di setiap babak, itu dikemas dengan komposisi musik karya Tony Prabowo serta puisi Goenawan Mohamad dan Chairil Anwar.
A Prayer for Refuge seperti menggambarkan pencarian, kepasrahan, ritual religius, cinta kasih, dan kesedihan atas angkara murka. Sen Hea menggerakkan kedua tangannya, pelan-pelan, menyusuri udara seperti dituntun chi dalam dirinya. Tubuhnya yang mungil bergerak perlahan, ekspresif. Tonjolan tulang belikat, lengan atas, dan jajaran tulang belakang yang berpangkal dari tengkuk seperti turut menari mengikuti gerakan tubuh. Kulit kuningnya yang berpendar disirami cahaya lampu temaram. Kepala plontosnya memperkuat kesan dramatis. Raut wajahnya yang polos dan tak berdaya terkadang menunjukkan kesan ketakutan.
Seluruh pentas seperti tersedot oleh gerak Sen Hea: meskipun ia hanya menggeserkan sedikit tubuhnya atau menggetarkan selentik jarinya. Ini terutama ketika ia menempelkan tubuh di dinding, dan menggetarkan jemarinya saat duduk tertunduk dengan wajah hampir menyentuh cermin di bawahnya dalam penampilan solonya, Mezbah The Altar.
Menurut Sen Hea, A Prayer karya yang lebih mendalam ketimbang kreasinya yang terdahulu. ”Lebih pada inner feeling, menggambarkan bukan sesuatu yang bisa saya lihat, melainkan lebih pada hal-hal yang tak tampak,” tulisnya dalam buklet pertunjukan. ”Pementasan ini semacam doa, sikap-sikap religi keseharian atau ibadah kehidupan.”
Lulusan Jurusan Seni Universitas Kyungsung, Busan, Korea, ini sudah belajar menari di usia lima tahun, khusus tarian ritual upacara keagamaan. Kemudian, pada 1993, ia melanjutkan studinya di Amerika Serikat, mendapat gelar master di bidang Dance Ethnology dan koreografi dari UCLA. Dia juga lulus memuaskan dari National Dance Association.
Itu semua menjadi bekal Sen Hea terjun di kancah dunia tari lokal dan internasional. Dia tampil dalam Le Grand Macabre dan Oedipus Rex/Symphony of Psalms arahan sutradara opera ternama Peter Sellars. Dia diundang belajar bersama Pina Bausch di Wuppertal, Jerman. Dia jatuh cinta pada kesenian di Jawa, termasuk atmosfer kehidupannya. Lalu Sen Hea banyak bekerja bersama penari-penari di Solo, Jawa Tengah. Beberapa karyanya, seperti Wahyu yang pernah dipentaskan di Korea, Singapura, dan beberapa negara Eropa diciptakan berdasarkan pergaulan dengan tarian Jawa. Belakangan dia mengembangkan tarian berdasar loro-blonyo, filsafat Jawa tentang kesuburan.
Gerak meditatif Sen Hea mengingatkan suara bening seperti meniti angin dari Yungchen Lhamo, penyanyi Lhasa, Tibet, yang kini mendapat suaka di Australia. Andai saja mereka berpadu.…
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo