Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teror dari Gedung Tua

Seniman Jerman, Claudia Bosse, menghadirkan pertunjukan dan pameran instalasi yang merefleksikan sejarah sekaligus harapan.

3 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Teror dari Gedung Tua

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pidato Presiden Sukarno di Konferensi Asia-Afrika menjadi narasi yang diucapkan semua penampil sebelum pementasan The Last Ideal Paradise ditutup. Kata-kata itu memberikan semangat, membangkitkan keberanian peserta konferensi untuk menjadi bangsa merdeka dan bebas dari penindasan. Pidato itu cukup menyentuh, meski mungkin tak dipahami oleh penonton. "Itu pilihan Claudia Bosse dari hasil risetnya," ujar Karlina Supelli, yang terlibat dalam persiapan pertunjukan itu, kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Claudia Bosse, sutradara Theatre Combinat asal Jerman, melakukan riset dan memilih pidato itu karena dinilai pas untuk pertunjukan yang berlangsung di Perum Film Negara (PFN), Jakarta Timur, pada 26, 28, 29 Februari lalu, itu. Ia menyiapkan perhelatan yang melibatkan 15 penampil dari dalam dan luar negeri tersebut selama hampir dua tahun. Dia meriset banyak hal tentang sejarah dan pergerakan politik di Indonesia dari beberapa museum dan tempat lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Acara yang dihelat Goethe Institut ini menggabungkan hal-hal masa lalu dan masa kini politik dengan ritual dan mitos, mempertanyakan rezim-rezim yang ada saat ini, dan kemungkinan hidup berdampingan. Pertunjukan dan seni instalasi itu mengajak penonton mempertanyakan "cita-cita" atau surga ideal menurut mereka dalam kehidupan. Penonton diajak menikmati hasil riset dan arsip pergolakan sosial dan etnografi itu.

Acara dimulai dengan memilah penonton dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah lima orang. Satu demi satu kelompok melangkah ke dalam gedung. Begitu masuk, penonton disambut semacam teriakan seram suara laki-laki. Penonton dibebaskan melihat ruangan demi ruangan yang meneror dengan suara-suara serta instalasi boneka yang aneh, seram, dan kelam. Suasananya begitu meneror. Di tiga ruangan sempit terlihat beberapa poster film lawas era 1980-1990-an diletakkan tak jauh dari instalasi.

Dari sana, penonton diajak masuk ke ruangan dengan kaca besar dan sebuah meja kaca. Di depan masing-masing kaca terdapat kursi. Penonton yang duduk akan melihat bayangannya sendiri dan penonton lain, juga instalasi audio dan beberapa arsip foto yang menyeramkan. Salah satunya adalah foto korban hukuman penggal kepala. Menurut suara yang dilantangkan dari speaker, hukuman penggal ini adalah warisan dari sebuah kerajaan di luar negeri, tapi kini menjadi fenomena yang terkait dengan ideologi dan agama.

Di ruang sebelahnya, penonton mendapati instalasi berwarna cerah ceria. Namun terdengar teror gedoran suara di balik pintu. Di dekat instalasi patung dengan kain menjuntai itu terdapat beberapa ruas potongan tulang. Ada pula tiruan burung atau seperti burung hitam yang diawetkan. Di dalam ruang kaca, penonton akan melihat patung manusia yang aneh, maneken telanjang berambut menjuntai, ada pula yang anggota tubuhnya tak lengkap. Suasana itu seperti menyemprotkan kengerian dan kekerasan.

Terakhir, penonton diajak masuk ke sebuah ruang studio yang luas. Di sanalah pertunjukan dihadirkan. Pentas itu melibatkan lima penampil utama dari luar negeri dan 10 penampil dari Indonesia. Mereka membuat gerakan lamban, lalu kemudian menyelip-nyelip di antara penonton. Penampil lalu mengajak penonton keluar dari gedung, menyusuri area gedung tua PFN yang gelap dan terbengkalai hingga ke bagian belakang yang kumuh dan menyeramkan.

Penonton diajak berjalan di antara gedung yang becek dan gelap, lalu kembali ke studio awal yang disekat dan menjadi sempit. Di sana mereka bereksplorasi dengan terpal-terpal yang dibentangkan dan membuat penonton tersekat-sekat oleh ruang yang diciptakan. Penonton disuguhi isu tentang terorisme, teritori, ruang, ketidaksadaran akan kultur dan politik, penggalan sejarah Indonesia seperti peristiwa 1965, hingga isu rasial.

Penonton juga dihubungkan dengan masa lalu atau pengalaman pribadi setiap penampil. Salah satunya pengalaman Ilse Urbanek, 84 tahun. Pada masa kecilnya, Urbanek tumbuh di perbatasan Cekoslowakia dan Austria. Setiap minggu, ia duduk mendengarkan ibunya memainkan piano di gereja. Dia pindah ke Wina dan sempat mengalami kelaparan saat Perang Dunia II.

Claudia menjelaskan, pertunjukan itu membahas isu politik global dan sejarah soal ruang dan lainnya. "Sampai kapan ini akan dibicarakan, dari sebuah sejarah yang kelam. Surga yang seperti apa yang diinginkan," ujarnya. Claudia memilih PFN sebagai lokasi mengekspresikan gagasan seninya karena tempat itu punya sejarah panjang, pada masa lalu erat dengan propaganda dan kini terbengkalai. DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus