Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

The Show Must Go On…

Akhirnya Biennale Jakarta diselenggarakan, walau target yang tinggi terpaksa diturunkan karena kekurangan dana.

29 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya duduk di bangku pinggir jalan Hujan rintik-rintik terus jatuh

PADA 1974 S. Sudjojono ke Paris. Ia membuat sejumlah sketsa-. Sebuah sketsanya Arch de Triump-, Waktu Hujan, dibubuhi tulisan di atas. Agaknya gerimis di- Paris- telah menawan hatinya. Sketsa- lain, Place de la Republique, digambar-nya dari kamar Hotel Avenue, Paris, tempat dia menginap. Dari atas kita diajak melihat suasana pohon-pohon ranggas di sebuah taman. Mobil parkir dan lalu-lalang.

Sketsa langka ini dapat Anda lihat- dalam pameran Milestone Pelukis Indo-nesia di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta. Pameran ini bagi-an dari Bienalle Jakarta 2006 yang loka-sinya tersebar di Galeri Nasional, Galeri Cemara, Galeri Lontar, dan Taman Ismail Marzuki. ”Banyak karya yang jarang kita lihat, misalnya punya Sapto Hudoyo ini,” kata kurator Eddy Soetriyono, jarinya menuding sebuah lukisan berjudul Para Pejuang yang dipasang dekat pintu masuk Galeri Nasional. Almarhum Sapto terkenal sebagai penggiat keramik kasongan, tapi orang lupa karya-karya lukis awal dia.

”Ini juga salah satu karya terbaik Itji Tarmizi yang jarang diketahui orang,” tambah Eddy. Almarhum Itji Tarmizi, pelukis bercorak realis, kelahiran Batu Sangkar, terkenal dengan salah satu karyanya Lelang Ikan—menjadi koleksi Soekarno. Lukisan Tarmizi yang ditunjuk Eddy menampilkan gambar beberapa buruh kasar menyekop batu krakal, merokok, membagikan nasi bungkus.

Kita juga dapat melihat lukisan terkenal yang biasanya ada di repro buku seperti Seko karya S. Sudjojono atau Pengantin Revolusi. Atau karya Zaini, Oesman Effendi, Rusli Basuki Resobowo. Henk Ngantung, Trubus, Soenarto P.R., dan lainnya. Pameran seluruhnya menampilkan karya 179 pelukis. Yang ditampilkan memang banyak yang bukan karya teryahud mereka. Target awal para kurator adalah menghimpun lukisan terbaik para pelukis, termasuk yang dimiliki para kurator. Tapi, karena keterbatasan dana, rencana itu tak berhasil.

”Kita mulanya ambisius, tapi ternyata- dana tak turun-turun, (terpaksa) pinjam,” kata Chandara Johan dari Dewan Kesenian Jakarta pada malam pem-bukaan. ”Kami misalnya meng-incar patung-patung Edhi Sunaryo yang dimiliki Oe Hong Djien (kolektor di Magelang—Red) tapi ya tak jadi, karena kan asuransinya mahal,” kata Suwarno Wisetrotomo, kurator.

Alhasil, mayoritas dari semua yang dipamerkan merupakan koleksi milik- Dewan Kesenian Jakarta, Museum Keramik, Galeri Nasional. Toh, bila dikumpulkan, koleksi ketiga lembaga ini, menurut Suwarno, sudah cukup memadai untuk membentangkan sejarah seni lukis Indonesia modern. Menurut Suwarno, kondisi perawatan di Museum Keramik atau Dewan, misalnya, sangat- memprihatinkan. Tapi, begitu mulai mengamatinya, ia mendapatkan kejut-an tersendiri.

”Saya antara sedih dan bahagia saat mensurvei. Sedih melihat kondisi lukisan ini, tapi bahagia menemukan koleksi tak terduga. Misalnya karya Trisno Sumarjo yang selama ini lebih dikenal sebagai penulis,” kata Suwarno. Dalam pameran, misalnya, juga di-tampilkan karya Basuki Abdullah, Tanjung Priok (1974), yang sama sekali tak molek—seperti umumnya lukisannya. Atau lukisan kecil Raden Saleh, Badai (1831), yang menggambarkan sebuah kapal terombang-ambing badai.

Karena kekurangan dana, banyak ju-ga perupa kontemporer kita mengurungkan ikut Bienalle ini. ”Instalasi- Nindityo, misalnya, membutuhkan dana tinggi, sehingga tak jadi dikirimkan,” tambah Suwarno. Namun ada juga yang bandel dengan biaya sendiri, misalnya Nyoman Erawan. Ia datang dengan satu truk penuh ilalang dari Bali. Itu untuk bahan karyanya, Ritus- Kepala Tertusuk-tusuk. Dari ikatan-ikatan rumput ilalang yang sering di-pakai- untuk atap rumah di Bali, Era-wan membuat ekspresi muka orang menjerit-, kesakitan, cemas. Karya Erawan ini boleh dibilang mencekam.

Atau Khrisna Murti yang menampilkan instalasi video No Hero. Ini tentang- para TKW kita di Singapura. Ada tiga layar. Layar pertama berisi jawaban-jawaban para pembantu atas pertanya-an bagaimana jika Anda disebut pah-lawan. Layar kedua menampilkan citra-citra foto yang dibidik oleh TKW sen-diri. Terlihat mereka begitu gembira dengan aksesori, warna rambut, handphone, kostum punk atau modis mereka. Layar ketiga menampilkan seorang pembantu yang menderita gangguan jiwa. Ketiga layar ini diinteraksikan sebagai sebuah simulasi.

Karya ini sebenarnya lebih cocok digabungkan dengan seksi New Media- (Media Baru) yang diperhelatkan di Taman Ismail Marzuki. Bagian ini kurator-nya adalah Asikin Hasan dan Rizky- A. Zaelani. Dari seksi ini sebetulnya diharapkan karya dengan kejutan yang nakal, menyegarkan. Tapi terasa ke-dua kurator ini agak longgar dalam menyeleksi. Karya Budi Swiss Kustarto di seksi ini, sebuah etalase kaca berisi patung dengan kepala terpisah, cukup menarik, meski tak beranjak jauh dari karyanya sebelumnya yang dipamerkan di Nadi tahun lalu.

Kurator juga menampilkan karya Ariani Dharmawan, film dokumenter ber-judul Anak Naga Beranak Naga. Karya apik ini bercerita tentang pasang surut gambang kromong (durasi 60 menit). Sebuah dokumenter yang naratif. Sama sekali tidak berniat eksprimental-. Berisi wawancara dengan banyak pemusik gambang kromong dan para ahli pembauran Cina. Film ini sebelumnya telah disetel di sejumlah kantong kebudayaan dari Bandung, Jakarta, sampai Malang. Mereka yang sebelumnya menikmati sebagai film dokumenter murni mungkin bingung mengapa kurator menggolongkannya sebagai karya media baru.

Akan halnya perupa ekspatriat yang ikut adalah mereka yang sebelumnya memang aktif berpameran, seperti Fili-po Sciascia asal Italia yang bermukim di Bali. Ann Wiezer, perupa Amerika yang dikenal sering membikin karya dari materi sampah di Jakarta. Atau Midori Hirota, perupa Jepang yang tinggal di Yogya.

Sebulan penuh Bienalle Jakarta ba-kal digelar. Layaknya sebuah pesta, banyak seminar digelar. Juga mena-rik-, pemutaran film para maestro seni: Raden Saleh, Sudjana Kerton, Dullah G. Sidharta , Mochtar Apin, dan lain-lain menjadi bagian dari acara. Ini bisa menjadi semacam retrospeksi, perenungan perjalanan—kegigihan, kepahitan, pencapaian perupa kita.

Sekalipun tertatih-tatih karena dana, dan menjadikannya kurang binal, -Bienalle Jakarta toh tetap bergerak-. Katanya... The show must go on….

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus