Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaya Suprana
MENDADAK, mulai 9 Juni sampai 9 Juli tahun ke-6 abad XXI sikap dan perilaku umat manusia di planet- bumi ini berubah drastis. Segenap perhati-an- dan kepedulian manusia terfo-kus- ke negara bernama Jerman, terutama di bebe-rapa lapangan rumput di beberapa kota besar- setempat-. Pesawat televisi dan radio sampai ke Inter-net atau telepon seluler makin sering dan makin lama di-gunakan untuk memperoleh ataupun tukar-menukar- informasi.
Halaman muka surat kabar di seluruh dunia didominasi berita-berita tentang apa yang telah, sedang, dan akan terjadi di Jerman. Produktivitas kerja di seluruh dunia merosot, terutama di kawasan zona waktu berbeda dengan Jerman akibat keterlambatan hadir. Bahkan mangkir kerja akan meningkat.
Gairah kerja pada pagi hari di Indonesia pasti meloyo ha-bis begadang menyaksikan siaran televisi langsung dari Jerman. Jadwal kegiatan sehari-hari berubah total disesuaikan dengan apa yang sedang terjadi di beberapa lapangan rumput di Jerman. Para penderita penyakit jantung dan darah tinggi harus lebih mampu menahan gejolak emosi masing-masing agar tidak mengalami gangguan kesehatan bahkan ancaman maut.
Majelis Ulama Indonesia maupun Front Pembela Islam tak akan berdaya membasmi angkara murka perjudian yang merajalela saat itu. Pun ketika harkat dan martabat bangsa dan negara dipertaruhkan bukan di medan perang, melainkan cukup di lapang-an berumput! Lucunya, negara dan bangsa yang tidak ikut ”perang” di Jerman juga ikut berdebar-debar. Harap-harap cemas. Sewot menyaksikan -laskar -negara dan bangsa lain betempur seolah perang -dunia sudah meletus.
Segenap perubahan suasana kehidupan ini akibat di Jerman diselenggarakan pertandingan sepak bola antarbangsa (tidak termasuk Indonesia). Me-reka sibuk memperebutkan sebuah piala yang di-gelari: Piala Dunia!
Andai kata makhluk luar angkasa ada, mereka pasti terheran-heran apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bingung menyaksikan perubahan sikap dan perilaku peradaban dan kebudayaan umat manusia di planet bumi selama sebulan pada pertengahan tahun 2006 itu.
Sungguh mengherankan bagaimana sikap dan perilaku miliaran homo sapiens yang konon cukup- berakal itu bisa berubah total. Mereka seolah kehilangan akal akibat ulah 22 insan manusia. Itu pun terbatas yang berjenis kelamin lelaki saja yang serentak bersama-sama berlari-lari di sebuah lapangan rumput luas.
Lapangan itu dilengkapi bangunan kecil berjala di tepi ma-sing-masing sisi. Pria berjumlah 22 orang itu terbagi- men-jadi dua kelompok menggunakan seragam berbeda. Mereka lalu mengelompokkan diri di belahan lapangan yang berbe-da.
Lalu ada seorang pria berbusana hitam-hitam- berkalung peluit berdiri di tengah lapangan. Ia mendadak meniup peluit sebagai pertanda permainan resmi dimulai. Mendadak 22 pria tersebut sibuk memperebutkan sebuah bola yang semula diletakkan di tengah lapangan. Mereka tak boleh menggunakan tangan, tetapi cukup dengan kaki saja. Kadang-ka-dang boleh juga dengan kepala.
Orang yang boleh menggunakan tangan untuk menohok atau menangkap bola hanya seorang dari masing-masing ke-lompok. Ia bertugas dengan seluruh tubuhnya menjaga ja-ngan sampai ada bola masuk ke kotak berjala yang dijaga-nya.
Selama 45 menit, segenap pria itu—didukung so-rak-sorai penonton di sekeliling lapangan—mati-matian berusaha memasukkan bola ke kotak ber-jala yang dijaga penjaga dari kelompok lawan. Sambil juga mati-matian mencegah jangan sampai sang bola masuk ke kotak berjala yang dijaga penja-ga dari kelompok sendiri.
Jika ada kesebelasan mampu memasukkan bola ke kotak berjala lawan, muncul kehebohan. Puluh-an ribu penonton yang berada di sekitar lapang-an, maupun puluhan juta yang me-nyaksikan lewat tayang-an televisi yang kebetulan berpi-hak pada kesebelasan yang mampu memasukkan bola ke kotak berjala lawan, mendadak serentak berteriak panjang goooooooooooool!
Mengagumkan: bagaimana sebuah bola masuk gawang- dapat mempersatukan seluruh bangsa di dunia untuk meng-ucapkan sebuah kata yang sama. Namun jika ada yang keliru memasukkan bola ke kotak berjala yang dijaga penja-ga dari kelompok mereka sendiri, semua mencemooh huuuuuuuuu atas tindakan bunuh diri paling konyol itu.
Setelah 45 menit mendadak pria berbusana hitam- meniup peluit kembali sebagai pertanda masa istirahat sudah tiba. Setelah istirahat 15 menit permainan menyepak bola dimu-lai kembali namun masing-masing kesebelasan bertukar tempat belah-an lapangan. Dengan sendirinya juga bertukar kotak berjala yang perlu dijaga atau diserbu.
Setelah masa 45 menit yang kedua, pria berbusana hitam-hitam kembali meniup peluit- pertanda permainan usai. Seraya ia menghitung berapa kali bola dapat ditendang kese-belasan yang mana, masuk ke kotak berjala yang dijaga ke-sebelasan yang mana.
Kelompok yang lebih sering menendang bola masuk kotak- berjala lawan dinyatakan me-nang. Namun, jika kebetul-an kedua kelompok memasukkan- bola ke kotak berjala lawan dalam jumlah yang sama, permainan dilanjutkan lebih lama lagi, supaya ada yang lebih sering memasukkan bola ke kotak berjala lawan.
Jika waktu perpanjangan sudah terlampaui tetap saja se-ri-, permainan dilanjutkan de-ngan duel antara penendang bo-la dan penjaga gawang. Pendeknya sampai ada kelompok yang lebih sering memasukkan bola ke gawang lawan. Sebab,- makna inti permainan itu sebenarnya memang ha-nya kese-belasan mana yang lebih sering berhasil menendang atau menyundul bola masuk ke gawang lawan. Dia disebut sang pemenang. Itu saja.
Sungguh mengherankan, bagaimana ulah manu-sia sibuk berebutan menendang atau menyundul- bola demi memasuk-kan ke kotak berjala itu bisa mempengaruhi sikap dan pe-rilaku para penonton. Sampai seolah mereka kerasukan se-tan. -Mulai dari sekadar edan-edanan menghias wajah. Bersorak-sorai, jingkrak-jingkrak, beringas merusak lingkungan, baku-hantam, bahkan sampai saling- membunuh. Dalam sejarah belahan akhir abad XX, malah benar-benar terjadi dua negara Amerika Selatan berperang akibat sekadar permainan tendangmenendang bola.
Setelah didukung teknologi telekomunikasi mo-dern, jumlah penonton meledak. Hal itu menjadikan segenap penghuni planet bumi ini keranjingan menyaksikan para wakil berbagai bangsa di dunia ini (tidak termasuk Indonesia) rebutan menyepak sebuah bola agar masuk ke sebuah gawang.- Demi memperoleh sebuah -piala belaka.
Maniak sepak bola merasuki umat manusia bukan ha-nya secara kuantitas, melainkan juga seca-ra kualitas. Mereka kian- menggila setelah industri olahraga dan industri telekomunikasi konsekuen me-manfaatkan permainan sepak bola sebagai komo-ditas produk hiburan mau-pun promosional yang luar biasa potensial.
Semua itu ikut membentuk pergeseran peradab-an dan kebudayaan umat manusia di marcapada. Dari masyarakat agra-ris ke masyarakat industri lalu ke arah masyarakat informasi. Akhirnya menghadirkan masyarakat hiburan yang memang luar biasa lahap mengkonsumsi segala produk hiburan. Seper-ti halnya ulah 22 pria dewasa rebutan menendang sebuah bola demi masuk sebuah kotak berjala. Sehingga makhluk jenis homo sapiens bisa bersama-sama mencapai titik puncak euforia orgasme massal. Satu kata, satu bahasa, satu pekik: Goooooooooooool!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo