Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK dulu, dalam riwayat negara yang beradab, kebijakan yang diputuskan dan dilaksanakan pejabat pemerintah tidak termasuk hal yang punya risiko tuntutan pidana. Kebijakan bisa keliru, bisa mengandung kekurangan, tidak menguntungkan orang banyak, bahkan bisa gagal total. Tapi semua itu bukan digolongkan sebagai kejahatan, dan yang membuat dan menjalankan kebijakan tidak seyogianya diancam dengan hukuman.
Lalu apa perlunya membuat peraturan baru yang melin-dungi pejabat dari ancaman tuntutan hukum ketika melaksanakan suatu kebijakan? Kenyataannya memang agak lain sekarang. Akhir-akhir ini, dalam suasana ingin membe-ran-tas korupsi secara intensif, banyak yang merasa bahwa tidak sedikit pejabat pelaksana kebijakan yang dijebloskan ke penjara karena dituduh telah merugikan negara. K-arena itu orang menjadi ekstrahati-hati.
Lebih dari itu, orang jadi gelisah, dan menolak untuk memimpin proyek pemerintah. Gaji sudah sedikit, risiko tinggi pula. Akibatnya, banyak proyek pembangunan tertunda, ang-garan negara yang terserap hanya seperlima dari yang seharusnya dibelanjakan. Kerugian jadi lebih besar karena yang terkena adalah perekonomian negara. Tapi meng-atasi masalah kekhawatiran yang menimbulkan kemacetan ini de-ngan menerbitkan peraturan presiden yang member-i-kan jaminan perlindungan bukanlah jalan yang tepat. Sebab, tuduhan korupsi itu akan didasarkan pada undang-un-dang, yang tingkatnya lebih tinggi daripada peraturan presiden.
Yang lebih bermanfaat ialah menafsirkan dan menerapkan undang-undang dengan cara yang benar. Tidak ada un-dang-undang hukum pidana yang menilai kebijakan pe-me-rintahan dan memberikan sanksi pada yang membuat, apalagi pada pelaksananya. Salah-benarnya dan baik-b-uruk-nya kebijakan pemerintah pada hakikatnya merupa-kan masalah penilaian politik. Kalau dianggap bersalah, sanksinya pun bersifat politis: dikecam, dicopot, tidak dipilih k-embali.
Yang akan menyidik dan menuntut kasus penyeleweng-an adalah aparat pemerintah, yaitu polisi dan jaksa. L-e-bih baik memberikan garis yang benar kepada kedua apa-rat—jangan sembarangan menangkap—kalau pemerin-tah i-ngin menenteramkan para pejabatnya. Sebetulnya per-atur-an presiden tentang perlindungan pejabat itu belum siap dikeluarkan. Hal itu dihebohkan karena pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang seperti biasa terlalu cepat memberi-kan reaksi. Akibatnya timbul reaksi balik—yang sama ti-dak perlunya—yang menuduh pemerintah berniat melin-dungi penyelewengan.
Tapi jangan salah, kebijakan yang aman hanyalah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan menuruti sepenuhnya prosedur yang ditentukan. Di luar itu, bila ada détournement de pouvoir, misalnya, yaitu melampaui atau menyalahgunakan kewenangan, maka dianggap terjadi pelanggaran administrasi. Akibatnya ialah keputusan jadi tidak sah dan batal, kerugian yang timbul harus diberi kompensasi. Undang-undang yang mengatur mengenai ini sudah tersedia.
Selain itu, pejabat yang mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan pribadi— seperti termuat dalam RUU Admi-nis-trasi Pemerintahan yang akan dibahas di DPR—diancam de-ngan hukuman lima tahun penjara. A contrario, selama unsur kepentingan pribadi tak dibuktikan, pejabat tak akan bisa dihukum. Jadi, pemerintah tak perlu belingsatan membuat peraturan perlindungan. Yang penting semua dijalan-kan menurut ketentuan, bahkan presiden pun bersumpah ”menjalankan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo