Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tim, sebuah kapal bocor

Tim setelah berusia dua windu makin sepi pengujung dan kehilangan seniman yang berbobot. taufik ismail memberikan gagasan program penyelamatan. (sr)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSAT Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki kini ibarat kapal bocor. Oleng dan hampir tenggelam, TIM memerlukan tindakan penyelamatan darurat. Ungkapan Penyair Taufiq Ismail di depan sarasehan menyambut dwiwindu PKJ TIM, Sabtu malam pekan lalu, memang sulit dibantah. TIM bukan saja mulai sepi dari pentas kesenian bermutu, tapi juga sepi pengunjung. Dan lebih tragis lagi, selain teater utama yang bernama keren, Graha Bhakti Budaya bangunan lain mulai keropos. Kursi-kursi di Teater Arena dan Teater Tertutup mulai rusak, begitu pula bangku-bangku kayu di Teater Terbuka. Bahkan, langit-langit dan atap Sanggar Tari Huriah Adam jebol di sana sini. Agaknya, pusat kesenian yang diresmikan 10 November 16 tahun lalu oleh Gubernur Ali Sadikin itu sudah melewati masa keemasannya. Pada tahun-tahun pertamanya, pusat kesenian ini menjadi arcna pentas yang berwibawa. Teater modern muncul dengan gegap gempita, baik dari Rendra, Arifin C. Noer, maupun Teguh Karya. Sementara itu, teater rakyat yang pada mulanya dianggap risi berpentas di TIM, yaitu lenong, mendapat sambutan dari masyarakat. Sekarang, kecuali Arifin - yang kembali mementaskan dramanya akhir bulan ini - rekan seangkatannya sudah meninggalkan panggung di bekas lokasi kebun binatang itu. "Padahal seniman-seniman baru, apalagi yang dibesarkan TIM, belum mampu menyedot penonton," kata general manager TIM, Drs Soeparmo. Sementara itu, tempat-tempat yang menampilkan pertunjukan kesenian pada bermunculan. Jakarta kini juga punya Pasar Seni di Ancol, Taman Ria Remaja, Taman Mini, dan gelanggang remaja di setiap wilayah kota madya. "Sehingga orang-orang yang biasa berkunjung ke TIM tersedot ke tempat lain," tutur Soeparmo lagi. Kehilangan seniman yang "berbobot", munculnya sarana lain di pelbagai tempat, ditambah lagi - menurut Soeparmo - beratnya hidup masyarakat Ibu Kota karena resesi ekonomi, membuat TIM makin sepi pengunjung. "Warga Ibu Kota setiap hari menghabiskan waktunya di luar rumah. Malam mereka letih, dan tidak sempat lagi berpikir tentang tontonan klasik dan berbobot seperti disajikan TIM. Dalam situasi begini masyarakat cenderung memilih hiburan yang dangkal. Yang dicari, Gepeng dan sejenisnya. Orang tinggal tertawa, sesudah itu tidur, dan esoknya bangun untuk kerja keras lagi," kata Soeparmo, yang juga kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Maka, lengkaplah ancaman bagi TIM. Ancaman itu akan lebih nyata bila dilihat angka-angka pengunjung. Setelah masa puncak kunjungan (1971), dengan lebih dari 700.000 orang, angka pengunjung dalam tiga tahun terakhir ini tak pernah mencapai 300.000 orang setahun. Tahun ini, sampai akhir Oktober, pengunjung TIM hanya sekitar 250.000 orang. Dan semua itu berarti defisit berkepanjangan. Contoh terbaru adalah defisit tahun lalu, Rp 130 juta - tahun-tahun sebelumnya rata-rata defisit Rp 100 uta per tahun. Subsidi? Tentu saja, TIM tetap memamah subsidi dari Pemda DKI. Menurut Soeparmo, subsidi itu setiap tahun sebesar Rp 54 juta untuk TIM serta Rp 115 juta untuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) - yang digunakan untuk program kesenian yang akan dijual TIM dan menggaji 232 karyawannya. Padahal, menurut Soeparmo, subsidi untuk TIM itu "untuk membayar listrik saja masih kurang". Dalam kondisi "kapal yang nyaris tenggelam" itu, Taufiq Ismail melontarkan program penyelamatan yang sebenarnya pernah ia kemukakan pada 1972. Bekas rektor LPKJ (kini IKJ) 1973 - 1977 itu melontarkan "Program tanpa Defisit". Untuk jangka pendek, menurut Taufiq, antara lain dengan mengadakan "program sepi" selama tiga bulan (pada musim penghujan). Selama itu, kegiatan pertunjukan hanya terbatas pada yang penting-penting saja. Dalam tiga bulan itu dilakukan perbaikan sarana, latihan bagi karyawan artistik, inventarisasi total aset TIM, serta pembentukan sebuah tim yang akan melakukan penelitian (kuantitatif dan kualitatif) tentang TIM dan kegiatan-kegiatannya selama ini dan di masa datang. Menurut bekas anggota DKJ itu, dari hasil penelitian tim itulah selanjutnya disusun program lima tahun TIM. Sebagai pengamatan dari luar, pikiran-pikiran Taufiq Ismail agaknya cukup masuk akal. Tapi barangkali agak sulit dilaksanakan oleh mereka yang selama ini sehari-hari tenggelam dalam kesibukan di TIM. Mungkin karena itu, Taufiq bergagasan bahwa tim peneliti tadi hendaknya dilaksanakan oleh pihak luar yang profesional. Dengan begitu, program kerja TIM selanjutnya benar-benar dibuat berdasarkan penilaian yang obyektif. Tinggal sekarang orang-orang TIM sendiri: Dapatkah atau sempatkah mereka menerima tali yang dilemparkan Taufiq dari sekoci penyelamat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus