SUDAH hampir dua bulan anjungan minyak Bekapai di perairan Kalimantan Timur terbakar. Dari jarak ribuan kilometer, panasnya api di sana diikuti dengan jantung berdegup oleh manajemen PT Total Indonesie, operator ladang minyak itu. Jutaan dolar devisa hilang percuma dari pulau besi yang pernah mengalirkan minyak sampai 58 ribu barel sehari di masa bahan tambang strategis ini memasuki kejayaan pada 1978 lalu. Apa hendak dikata, kebakaran di Bekapai itu akhirnya juga ikut menbakar kantung PT Tugu Pratama Indonesia, perusahaan asuransi kerugian patungan yang harus siap-siap membayar klaim hampir US$ 55 juta. Taksiran sementara itu, bakal digunakan untuk membayar klaim anjungan US$ 12 juta, asuransi pengeboran setiap dua sumur sebesar US$ 10,5 juta, dan sisanya untuk menutup pertanggungan pemadaman. Kata Soerjadji Soemardjo, direktur produksi Tugu Pratama, taksiran besarnya klaim itu masih bisa berubah sewaktu-waktu, terutama bila terjadi perluasan kebakaran. Maklum, tambahnya, di ladang yang dianggap riskan itu terdapat sembilan buah sumur yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Untung bagi Tugu, tidak semua pertanggungan itu ditutupnya sendiri. Sejauh ini, klaim yang akan ditanggungnya hanya sekitar US$ 5 juta, sisanya dibagi rata di antara 45 perusahaan asuransi kerugian swasta dan pemerintah. "Kalau semua klaim ditanggung Tugu, bisa bangkrut kami," ujarnya. Soerjadji tidak berolok-olok. Sebab, bersamaan dengan Bekapai, Tugu juga harus menutup klaim untuk kebakaran pengeboran minyak Pertamina di Pasir Jadi, Jawa Barat, sebesar US$ 12 juta. Jumlah pertanggungan itu juga dibagi-bagi di antara sejumlah perusahaan asuransi. Kendati semua risiko tadi sudah disebar, toh kebakaran seperti di Bekapai itu terasa cukup telak memukul. "Ketika baru dua hari terbakar, kami memperkirakan hanya akan ada klaim US$ 10 juta," kata Soerjadji. "Setelah diadakan pencegahan, eee, malah bocor di tempat lain, dan terbakar lagi." Memang, meluasnya kebakaran di Bekapai itu tak sampai menyebabkan Tugu jadi tebongkok-bongkok membayar klaim. Hanya, mungkin, pengeluaran perusahaan untuk menutup klaim akan membengkak: boleh jadi akan berada di atas tingkat pengeluaran tahun buku 1983 - 1984 (berakhir Maret), yang mencapai Rp 6 milyar. Soerjadji juga berkeyakinan bahwa dua kebakaran hebat itu tidak akan menyebabkan proyeksi laba 1984 - 1985 jadi melenceng. Tahun buku lalu, perusahaan ini bisa mengantungi laba kotor hampir Rp 13 milyar - sekitar Rp 11 milyar di antaranya berasal dari surplus uang pertanggungan. Tugu, pendatang baru dalam asuransi kerugian, yang didirikan baru tiga tahun lalu, memang tampil secara mengesankan. Aset perusahaan ini, yang sahamnya dlpegang Pertamina (45%), PT Nusantara Ampera Bakti (35%), dan Yaktapena Pertamina (20%), hampir Rp 113 milyar, tahun buku lalu. Sekitar Rp 46 milyar kekayaan perusahaan itu berasal dari penerimaan premi. Kliennya meliputi hampir 50 perusahaan, yang bergerak di bidang penambangan minyak, perkapalan, pabrik pupuk, bank, sampai perusahaan konstruksi. PT Badak NGL Co., operator pabrik pencairan gas alam di Bontang, Kalimantan Timur, juga kliennya. Karena itu. ketika unit pendingin (main cryogenic exchanger) pabrik ini meledak dua tahun lalu, Tugu juga harus mengatur klaim yang diperkirakan akan menelan US$ 33 juta. Dari jumlah itu perusahaan asuransi baru membayar US$ 28,5 juta - karena penghitungan kerusakan belum tuntas. Menurut seorang staf, Tugu hingga kini telah menutup sebagian anjungan dan rig di lepas pantai, serta seluruh 50 rig pengeboran di darat - dengan asuransi US$ 250 ribu sampai US$ 8 juta. "Tak berani menyebut berapa laba bisa kami peroleh nanti," ujar Soerjadji. Sikap hati-hati semacam itu tampaknya diperlukan - apalagi di tengah bisnis minyak yang sedang loyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini