Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Yang Tak Beranjak Setelah 11 September

Peristiwa 11 September setahun silam berpengaruh besar dalam banyak segi terhadap perhatian orang akan politik Islam atau debat tentang Islamisme. Juga dalam penerbitan akademis.

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response Penulis : Bernard Lewis Penerbit : Oxford University Press, New York, 2002 Tebal : 180 halaman LEWIS dan Kepel menyelesaikan karya mereka di atas sebelum tragedi 11 September 2001. Keduanya menyajikan apendiks yang secara terbuka menyatakan hal itu. Pandangan-pandangan yang dikemukakan juga tidak beranjak banyak—hanya kristalisasi tesis-tesis lama. Dua buku ini mewakili contoh yang baik tentang bagaimana menawarkan dua cara pandang yang sudah lama berseberangan. Bernard Lewis, sejarawan berpengaruh besar, berpandangan bahwa gerakan-gerakan Islam punya akar-yang-dalam dalam sejarah dan pemikiran Islam. Ini menjamin bahwa di masa depan gerakan itu akan terus berpotensi menimbulkan perkara. Di halaman awal bukunya, ia bilang, "Saya memang tidak berbicara soal 11 September, tapi Anda tentu bisa melihat bahwa itulah konsekuensi logis dari apa yang saya kemukakan." Sebaliknya, sosiolog Gilles Kepel melihat bahwa momentum bagi gerakan-gerakan Islam itu, apalagi yang radikal dan membenarkan penggunaan kekerasan, sudah lewat. "Serangan terhadap AS adalah simbol keputusasaan akibat isolasi, fragmentasi, dan merosotnya gerakan Islam, bukan tanda kekuatan dan kehebatannya," tulis Kepel. Dan sekalipun ia menduga bahwa konflik Israel-Palestina bisa memancing malapetaka lain berjubah Islam atau jihad, kekerasan sendiri "sudah terbukti merupakan jebakan mematikan bagi kalangan Islamis secara keseluruhan." Dasar argumen Lewis, seperti dikesankan oleh judul bukunya yang triumfalistik itu, adalah menangnya wacana yang anti-Barat di sebagian besar wilayah Islam, khususnya di Timur Tengah. Berbekal pengetahuannya yang luas tentang sejarah Islam, Lewis bertanya mengapa peradaban yang suatu kali amat makmur secara material dan toleran dalam hubungan komunalnya itu bisa mundur drastis ke titik tempat pertumbuhan ekonomi mandek, otoritarianisme politik menguat, dan kekerasan menjadi gejala umum. Itu juga terjadi di dunia pikiran, ketika peran para filsuf, saintis, dan artis yang dulu amat dibanggakan dunia Islam kini diganti oleh para tutor berpikiran cetek dan perencana teror. Penelusuran sejarah Lewis memperlihatkan ada kegundahan besar pada kaum muslim ketika berhadapan dengan Barat, yang dulu dikalahkannya tapi belakangan tampil sebagai pemenang. Ini lalu menopang keengganan kaum muslim untuk menempuh jalur yang menjadi kunci kemenangan Barat itu, yakni pemisahan fungsi-fungsi agama dan politik atawa sekularisasi. Kata Lewis, inilah "Christian remedy," obat yang ditenggak dunia Kristen agar keluar dari masa jahiliahnya, yang tak pernah menjadi resep untuk mengobati kemunduran Islam. Sudah lama profesor Yahudi di Princeton itu mengemukakan alur argumentasi ini. Dan di belakangnya kini berderet murid yang berpendirian sama seperti Martin Kramer dan Daniel Pipes. Ia juga amat rajin menulis, yang menegaskan dan memopulerkan tesisnya itu. Darinyalah berasal istilah "clash of civilization," yang kemudian terkenal lewat Samuel Huntington. Dari pidato Bin Ladin yang mengancam Barat pada awal 1990-an, ia menulis sebuah esai berjudul License to Kill. Maka wajar, oleh kalangan aktivis Islam, ketegasan argumentasinya sering dikaitkan dengan "bias anti-Islam si Yahudi tengik." (Lihatlah misalnya pengantar Amien Rais untuk terjemahan Indonesia karya Lewis mengenai revolusi Iran.) Dalam buku seringkas ini, Lewis tentu juga menggunakan kuas besar. Wajar pula jika bukunya dibilang sebagai position paper untuk para pengambil kebijakan. Tapi kesarjanaan Lewis sebenarnya lebih bernuansa dari itu. Salah satu tesisnya yang di luar mainstream, dan sering dikutip Nurcholish Madjid, adalah bahwa masa keemasan umat Yahudi terjadi ketika mereka berada di bawah kekuasaan Islam di Spanyol. Masa itu lenyap dengan inkuisisi penguasa Kristen di pengujung abad ke-15. Ia juga tidak sepenuhnya seperti dituduhkan Edward Said: ingin memfosilkan sejarah Islam, seperti umumnya orientalis lama. Ia amat sadar akan perubahan-perubahan besar di dunia Islam abad ke-20, seperti yang dipelopori Attaturk di Turki, yang amat dipujanya, atau kemenangan Khomeini di Iran, yang ditangisinya. Masalah Lewis mungkin lebih pada bahwa Barat atau anti-Barat itu terbukti merupakan baju yang kelewat sempit untuk memotret dinamika internal sejarah kontemporer Islam. Seperti ditunjukkan Kepel dalam bukunya, Turki yang dipuji Lewis dan dibayangkan menjadi role model itu belakangan diramaikan oleh berkembangnya sentimen Islam di akar rumput dan ditandai oleh naiknya gerakan Islam yang kuat, Partai Refah, yang harus ditindas untuk didiamkan. Ini tentu tak dibayangkan Attaturk. Atau sebaliknya: revolusi Iran belakangan malah menumbuhkan barisan civil society yang terus menggerogoti hegemoni ulama. Ringkasnya, di tengah agenda hubungan Islam-Barat, kaum muslim sendiri masih bergelut dengan proses modernisasi, diferensiasi kelas dan etnis, pendidikan yang masif, dan seterusnya. Semua ini, kata Kepel, mempengaruhi perkembangan struktur dan budaya politik. Ini juga melahirkan ketakseimbangan, identitas, dan kesempatan-kesempatan baru. Salah satu akibat perubahan sosial politik di atas adalah munculnya kelas terdidik yang mulai mempersoalkan hak prerogatif ulama untuk menafsirkan teks. Dari sinilah orang seperti Sayyid Quthb dan Bin Ladin bermunculan. Ditopang oleh dukungan finansial kalangan menengah yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah dan massa muslim yang tambah taat tapi juga tambah terpinggirkan, definisi Islam mereka memperoleh basis untuk tampil ke publik. Maka radikalisasi di sini lebih merupakan produk dalam negeri, bukan terutama soal hubungan Islam-Barat. Bahwa kedekatan pemerintah Mesir dengan AS makin memperkuat argumen mereka, itu benar. Tapi hubungan taktis saja juga bisa terjadi, seperti perselingkuhan tentara Mujahidin di Afganistan dengan CIA untuk mengusir tentara-tentara Uni Soviet dulu. Bukankah Bin Ladin juga bisa main politik? Jihad: The Trail of Political Islam Penulis : Gilles Kepel Penerbit : Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 2002 Tebal : 454 halaman Dinamika inilah yang dengan kaya disajikan Kepel dalam bukunya yang tebal. Seperti Lewis, ia juga menelisik sejarah, dengan mata terfokus pada naik-turun gerakan-gerakan Islam sejak 1960-an. Setelah konsolidasi internal pada 1960-an, keberhasilan revolusi Iran di pengujung 1970-an memperkuat daya panggil gerakan-gerakan ini. Dasawarsa 1980 antara lain ditandai oleh kemenangan Mujahidin di Afganistan, makin kuatnya Hezbollah di Lebanon, pembunuhan Sadat di Mesir, dan kemenangan Turabi di Sudan. Tapi dasawarsa ini juga ditandai oleh kompetisi antara Arab Saudi dan Iran dalam "mengekspor" versi Islam masing-masing. Tahun 1990-an adalah dasawarsa untuk melihat respons publik terhadap gerakan-gerakan ini dan kohesi internal mereka. Kata Kepel, gambarannya buram karena jaringan mereka "terlepas dari gerakan sosial mana pun dan dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan dengan kepentingan lain." Di Sudan, misalnya, Turabi ditahan patronnya sendiri. Dan di Malaysia, Anwar Ibrahim dipenjarakan dengan alasan tak senonoh. Selain itu, aliansi mereka dengan kaum miskin kota dan kelas menengah yang taat rentan daya tahannya dan tidak cukup kuat untuk melawan negara. Tahun 2000 adalah masa transisi bagi gerakan-gerakan ini. Itu tecermin dari berlangsungnya pemilu di berbagai negara Islam, dari Maroko sampai Indonesia. Di sini para aktivis gerakan Islam ditantang untuk berhenti berbicara tentang kedaulatan Tuhan dan mulai berbicara soal hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme. Proses pelembagaan politik inilah yang mengisolasi model yang ditawarkan Bin Ladin dan mendorongnya melakukan aksi nekat. Sekalipun jaringannya masih kuat, kata Kepel, aksi itu hanya menjauhkannya dari cita-cita utama mereka: melakukan perubahan yang signifikan berdasarkan Islam. Dua buku ini saling melengkapi: yang satu memberikan warning, yang lain releasing. Kedua penulis juga menyarankan penguatan dialog antara para pengambil kebijakan di Barat dan kalangan moderat di dunia Islam. Yang menjadi pertanyaan kita: apakah dialog tersebut bisa berlangsung seimbang dan, karena itu, bermanfaat jika Barat, misalnya akibat peristiwa 11 September, juga tidak berkaca pada diri sendiri dan bertanya "what went wrong"? Misalnya dengan mengevaluasi kebijakan mereka terhadap rezim Arab Saudi atau Iran, atau dukungan penuh mereka terhadap Israel. Alih-alih itu, pemerintahan Bush sekarang lebih sibuk dengan rencana menjatuhkan Saddan Husein. Mereka pura-pura buta bahwa 11 dari 19 teroris dalam peristiwa lalu adalah warga Arab Saudi. Tak juga penting bagi mereka fakta bahwa sementara pemerintah Iran segera mengecam peristiwa itu, pemerintah Arab Saudi malah bersikap mendua. Bayangkan jika para teroris itu adalah warga Iran! Ihsan Ali-Fauzi, mahasiswa di Universitas Ohio, Athens, Amerika Serikat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus