Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Nunukan

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Pulau Nunukan, dunia bukan sebuah dusun global. Hanya sekitar 50 kilometer dari Tawau, di wilayah Sabah, Malaysia, orang-orang yang paling tak berdaya justru diingatkan apa artinya peta bumi yang disusun dari atas, dulu oleh kekuatan-kekuatan kolonial, kini oleh rezim-rezim yang tak punya hati. Perbatasan, paspor, dan hukum cambuk mencemooh dengan lantang seluruh percakapan selama dua dasawarsa terakhir ini tentang bumi yang tanpa-tapal-batas. Petugas imigrasi yang berseragam, para pemeriksa dan pembuat dokumen perjalanan yang getol, bisa menunjukkan dengan kelingking mereka betapa jauhnya Kalimantan Timur dari mobilitas abad ke-21 yang didengungkan di kota-kota dunia. Di sini, hanya tiga jam naik kapal bermotor dari Tawau, di wilayah Sabah, orang-orang Indonesia ingin meninggalkan negeri mereka yang penuh penganggur, tapi mereka bukan yang oleh Pico Ayer digambarkan dengan kalimat-kalimat yang bersinar sebagai transit loungers: orang-orang yang kita temui di ruang-ruang tunggu bandara, mereka yang hidup dalam perjalanan terus-menerus, yang tak begitu sadar akan ke negeri mana mereka tergolong, para musafir tetap yang bisa mengatakan, dengan gaya yang asyik, "akulah sukma multinasional di atas bola dunia yang multikultural". Tapi pada saat yang bersamaan, di Nunukan, seperti di "bola dunia yang multikultural" itu, tak ada bendera yang dikibarkan dengan gagah, tak ada lagu kebangsaan yang dinyanyikan dengan khusyuk. Yang ada hanyalah penawaran, permintaan, dan kecemasan. Dari balik perbatasan Malaysia, para majikan—dari firma elektronik tenar seperti Casio sampai agen penempatan tenaga kerja yang mencari babu dan pembantu—dengan senang bersedia membayar orang-orang Indonesia untuk menyerahkan tenaga sebangsa, sebagai komoditi, dengan tepat dan cepat. Seorang pemasok bisa mendapatkan $ 600 untuk setiap orang yang diserahkan ke seberang. Sang pemasok juga mendapatkan yang lain: bayaran dari tiap buruh yang merasa telah ditolong dari kesengsaraan pengangguran. Pengangguran—satu senti jaraknya dari putus asa—agaknya sesuatu yang sedemikian mencemaskan, bahkan mengerikan, hingga kesengsaraan lain praktis tak pernah terbayang di pelupuk mata. Yang perlu adalah pergi, meninggalkan, mencari, berpindah. Dalam sebuah laporan yang ditulis Sidney Jones yang dimuat dalam Asia-Pacific Magazine 1 April 1996, disebut kira-kira 5.000 migran ilegal dari Indonesia tenggelam di Selat Malaka antara tahun 1990 dan 1995, ketika mereka hendak menjangkau tanah Semenanjung. Jumlah 1.000 korban setahun itu bisa ditambah dengan mayat-mayat yang ditelan laut ketika ratusan orang hendak mencapai Sabah di Malaysia Timur. Para makelar tenaga kerja mengangkut mereka, tanpa mengindahkan keselamatan mereka. Para polisi Indonesia mengetahui keadaan mereka, tanpa melakukan apa-apa untuk mereka. Maka apa yang sebenarnya terjadi? Tiap malam, kapal-kapal sederhana melintasi selat dengan terengah-engah, sesak dan sarat. Tiap malam, ratusan orang Indonesia membobol dinding antara apa yang legal dan tak legal, bukan dengan membunuh, merampok, atau korupsi, melainkan semata-mata karena tiap malam mereka mengutuk perbatasan dan dikutuk perbatasan. Perbatasan adalah garis-garis yang diwakili oleh "alat-alat negara", tapi sebenarnya tak jelas benar apakah orang-orang berseragam itu alat negara. Sebab tiap malam, seperti halnya di Nunukan hari-hari ini, kita menyaksikan sebuah negara nasional yang tiba-tiba tampak tak relevan lagi—sesuatu yang mungkin tak perlu, sesuatu yang mungkin malah mengganggu. Tentu saja masih tetap dicatat, bahwa di Jakarta, para jenderal dan para pembesar bisa bicara keras tentang "NKRI", dan nasionalisme bisa diteriakkan dengan raungan ala Kwik Kian Gie. Tapi di Nunukan, kabupaten pulau di timur Kalimantan itu, Indonesia praktis berhenti—justru bukan karena sebuah kekuatan asing, bukan pula oleh sebuah proses yang kini disebut "globalisasi". Sekitar 25 ribu warga negara, orang sebangsa, menjadi orang usiran, yang terdampar, lapar, patah harapan, tergeletak di tepi-tepi jalan. Mereka tak ada tempat untuk menetap, hanya ada tempat untuk pergi. Mereka tak cukup persediaan untuk makan. Penyakit berkecamuk. Sanitasi memburuk. Kemarin saya dengar lebih dari 40 orang telah mati. Kita tak tahu apakah sebuah wabah akan mulai. Seorang ibu dikabarkan menjual bayinya seharga 300 ribu rupiah. Ia dan suaminya datang jauh dari Flores. Mereka hendak pulang. Tapi sebenarnya ke mana mereka akan pulang? Nunukan, wilayah "Negara Kesatuan Republik Indonesia", sama-sama tertutup bagi mereka seperti halnya Sabah, wilayah Kerajaan Malaysia. Presiden Megawati sama acuh tak acuhnya dengan Yang Dipertuan Agung Malaysia. Di Nunukan, 25 ribu penderitaan adalah 25 ribu orang yang ditendang, dan 25 ribu orang yang ditendang adalah 25 ribu pengungsi. Tapi—dan inilah paradoksnya—setiap himpunan pengungsi, yang ingin atau terpaksa lepas dari sebuah negara dan sebuah bangsa, sebenarnya lari untuk sebuah negara, sebuah bangsa. Di Nunukan, negara-bangsa yang mereka cari itu mungkin tetap bernama "Indonesia". Namun pasti ia sebuah Indonesia yang lain: sebuah Indonesia yang tidak mengasingkan mereka, sebuah Indonesia yang tidak mengabaikan mereka, melainkan sebuah Indonesia yang bisa bertanggung jawab kepada mereka, dan sebab itu mereka bisa bertanggung jawab kepadanya. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus