Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergusurnya Orang Kuat

Permana Agung Drajattun lengser setelah 17 kali diisukan akan diganti. Bagaimana sistem yang tepat untuk menangkal penyelundupan di negeri kepulauan ini?

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG rapat Direktur Jenderal Bea dan Cukai di Jalan Ahmad Yani, Jakarta Timur, Kamis malam pekan lalu tampak gelap. Si empunya ruangan, Raden Bagus Permana Agung Drajattun, belum pulang. Ia sengaja mematikan lampu untuk memperlihatkan sebuah video berisi adegan penangkapan kapal penyelundup kayu di laut lepas. Para petugas Bea Cukai di video itu tampak seperti jagoan dalam film laga di layar lebar. ”Sistem pre-shipment inspection tak memungkinkan penangkapan seperti ini,” ujarnya sinis. Permana Agung, 50 tahun, kelihatannya tengah jengkel. Sistem pre-shipment inspection yang disebutnya itulah yang diduganya telah memelantingkannya dari kursi Direktur Jenderal Bea dan Cukai, yang sudah didudukinya sejak Januari 1999. Selama ini doktor dalam bidang kebijakan publik lulusan Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, itu bisa bertahan di sana meski pelbagai isu penggantian dirinya—ada 17 kali, kata Permana, 3 di antaranya di masa pemerintahan Megawati—datang silih berganti. Namun Presiden Megawati sudah memutuskan nasibnya Sabtu dua pekan silam. Esok ia akan dirotasi menjadi staf ahli di Departemen Keuangan. Jabatannya diserahkan kepada anak buahnya, Eddy Abdurrachman, Kepala Bea dan Cukai Makassar, yang namanya pernah mencuat sekali saat terjadi kasus dugaan penyelundupan mobil yang melibatkan Komjen Polisi Sofjan Jacob. Jika kali ini Permana bisa diturunkan, siapa yang punya peran? Banyak pihak yang menganggap Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini M.S. Soewandi, punya pengaruh besar dalam pergantian tersebut. Rini, yang dikenal dekat dengan Megawati, memang beberapa kali bersilang kata dengan Permana. Mei lalu, ia mewajibkan semua importir pemegang angka pengenal impor, umum, produsen, dan terbatas mendaftarkan nomor pengenal importir khusus—suatu hal yang dianggap kewenangan Bea Cukai. Beberapa pekan lalu, dua pejabat yang berkepentingan dengan soal penyelundupan ini terlibat dalam perdebatan terbuka tentang penyelundupan dan pergantian sistem kepabeanan dari pemeriksaan barang di pelabuhan tujuan (post-audit) menjadi pemeriksaan di pelabuhan asal (pre-shipment inspection/PSI). Rini bahkan sudah mengirim surat kepada Presiden Megawati pada akhir Agustus lalu, yang meminta agar pemerintah mengubah sistem kepabeanan tersebut. Permana kukuh mempertahankannya. ”Kalau pemerintah menerapkan pemeriksaan di pelabuhan asal, saya akan mundur,” katanya. Nyatanya, sebelum sistem itu diterapkan, Permana digusur lebih dulu. Perselisihan pendapat yang meruncing tersebut berawal dari maraknya penyelundupan. Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Sutrisno, penyelundupan barang marak dalam tiga tahun belakangan ini. ”Apa saja diselundupkan, mulai dari mobil, barang elektronik, beras, gula, sampai pakaian bekas,” ujarnya. Menurut Benny, yang juga dibenarkan oleh koleganya, Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia, Anton Supit, tak mungkin aparat Bea Cukai tidak tahu soal penyelundupan ini. Memang, kata Anton, aparat Bea Cukai mengaku sudah mati-matian mengatasi penyelundupan, tapi ternyata barang ilegal tetap lolos. Kemungkinannya, menurut Anton, cuma dua: mereka tak mampu atau tidak serius. ”Katakanlah mereka tidak bermain, tapi apakah barang itu jatuh dari langit?” tanya Anton. Data yang ada di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memang menunjukkan trend peningkatan penyelundupan. Pada tahun 2000, misalnya, nilai barang selundupan yang dibongkar oleh Bea Cukai mencapai Rp 124 miliar. Tahun sebelumnya cuma Rp 20 miliar. Itu baru dari barang yang ketanggor. Yang lolos? Biasanya jumlahnya lebih besar. Besarnya kerugian negara akibat penyelundupan ini pernah diteliti oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dari harga yang dipalsukan (underinvoicing) saja, kerugian mencapai US$ 1,2-2 miliar per tahun atau Rp 10,5-17,5 triliun, lebih besar dari target perolehan bea masuk yang cuma Rp 12,3 triliun pada tahun anggaran 2002. Menurut Benny, maraknya penyelundupan membuat perusahaan yang berorientasi pasar lokal sulit bersaing dengan barang selundupan, yang kebanyakan datang dari Cina atau Singapura. Mestinya, barang-barang impor tersebut minimal terkena pajak pertambahan nilai (PPN) impor sebesar 10 persen dan pajak penghasilan (PPh) 2,5 persen. Tapi, karena masuk secara ilegal, mereka hanya mengeluarkan biaya sogok sekitar 5 persen. Itu sebabnya, banyak perusahaan tekstil dan garmen yang kini berada di ambang kebangkrutan. Dalam catatan Benny, pada tahun ini ada 40 perusahaan tekstil yang merugi, 76 perusahaan yang lain tak jelas kondisinya. Tak hanya tekstil dan garmen yang diselundupkan, tapi juga produk elektronik, beras, gula, hingga pakaian bekas dan telepon genggam. Untuk telepon seluler ini, menurut Benny, jumlahnya mencapai 2,5 juta unit per tahun. Harus diakui, informasi Benny akurat karena di Indonesia banyak beredar handphone di pasar gelap. Untuk mengecek apa itu barang selundupan atau tidak, gampang saja. ”Instruksinya pakai bahasa Indonesia atau tidak, ada garansinya tidak,” kata Benny. Kerugian akibat barang ilegal ini, tak dapat disangkal, melebar ke mana-mana. Pabrik tutup, buruh kehilangan pekerjaan, negara dirugikan. Soal adanya penyelundupan ini tak dibantah oleh Permana. Seperti koboi, dia berkali-kali memimpin timnya untuk membongkar kontainer yang dicurigai. Gambarnya masuk televisi. Namun kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau tak membantu aparat Bea Cukai menangkal penyelundupan. Menurut Permana, penerimaan dari bea masuk pada tahun 2000 sebesar Rp 5 triliun, seperempatnya dari barang ilegal. Lelaki ini juga telah mengeluarkan 18 keputusan untuk memagari pegawainya dari pungutan-pungutan haram. ”Sudah 300 pegawai kita non-job-kan gara-gara ini,” katanya. Walau begitu, Permana mengatakan bahwa Bea Cukai tak bisa dipersalahkan begitu saja karena barang-barang murah masuk ke pasar Indonesia, terutama dari Cina. ”Soal pakaian bekas begitu juga. Pemerintah daerah di Riau membolehkan masuknya pakaian bekas, asal bayar pajak. Kita bisa berbuat apa kalau begitu?” katanya. Permana tampak kesal ketika dituding banyak mengalihkan barang impor dari jalur merah ke jalur hijau, sehingga barang yang mestinya harus diperiksa jadi langsung masuk jalan tol. ”Hilang kesabaran saya,” katanya. Meski Permana mencoba meyakinkan bahwa Bea Cukai sudah bekerja keras, para pengusaha tetap saja tak puas. Agaknya, sebagai bekas pengusaha, Rini tahu betul soal ini. Karena itulah, bekas Direktur Utama Astra International itu membentuk tim khusus yang bertugas memberantas penyelundupan. Tim ini melibatkan berbagai pihak, termasuk kepolisian. Sedianya tim ini akan segera melakukan penggerebekan perdana untuk membuktikan bahwa penyelundupan memang banyak terjadi di berbagai pelabuhan di Indonesia. Tapi Permana sudah keburu diganti. Rini bahkan melangkah lebih jauh. Bekas Komisaris Utama Semesta Citra Motorindo ini mengusulkan pergantian sistem kepabeanan untuk mengurangi penyelundupan. Menurut Rini, Indonesia tak perlu takut menerapkan sistem pemeriksaan prapengapalan karena Bea Cukai tak akan kehilangan pekerjaan. Biaya pemeriksaan akan ditanggung oleh pengusaha. ”Kalau Bea Cukai mau memeriksa, silakan. Ini malah bisa dipakai untuk cek dan ricek,” kata Rini kepada Retno Sulistyowati dari Tempo News Room. Sistem pemeriksaan di pelabuhan asal ini sebenarnya pernah diterapkan Indonesia pada 1985-1997 dengan menunjuk Societe Generale de Surveillance (SGS) sebagai pelaksananya. Selama kurun waktu itu, pegawai Bea Cukai—pos basah yang diincar orang—seperti diamputasi karena hanya diberi wewenang memeriksa barang impor yang nilainya di bawah US$ 5.000. Namun, gara-gara krisis yang menyebabkan nilai tukar dolar melambung, sistem ini dikembalikan ke yang lama, yakni post-audit. Namun, menurut Permana, penerapan sistem pemeriksaan prapengapalan tak menjamin penyelundupan bisa dihilangkan. Dan lagi, sistem ini justru dipakai oleh negara yang terbelakang seperti negara-negara di Afrika atau Amerika Latin. ”Itu tugas negara, bukan tugas perusahaan asing. Martabatnya tidak ada,” ujarnya. Selain itu, biayanya yang sangat besar. Menurut Permana, yang dibayarkan pemerintah Indonesia kepada SGS mencapai US$ 500 juta per tahun. Bandingkan dengan anggaran Bea Cukai pada tahun 2001 yang cuma Rp 350 miliar untuk menggaji 11 ribu karyawan dan mengoperasikan 137 pelabuhan. Tapi Permana kini sudah diganti. Ganjalan untuk menerapkan kembali sistem pemeriksaan prapengapalan sudah hilang. Kendati demikian, tak berarti keinginan Rini bakal kesampaian. Menteri Keuangan Boediono termasuk yang tidak setuju dengan sistem yang diusulkan Rini itu. Menurut Boediono, pemerintah tengah melakukan reformasi di bidang kepabeanan. ”Kita lihat dulu hasilnya nanti,” katanya kepada Multazam dari Tempo News Room. Dengan dibantu Dana Moneter International (IMF), pemerintah memang tengah memperbaiki sistem dan kinerja kepabeanan. Ada empat strategi tengah dijalankan, yakni mengurangi korupsi dengan meminimalkan kontak tatap muka antara petugas dan pengguna jasa, memberikan fasilitas perdagangan bagi importir yang punya reputasi baik, perang terhadap penyelundupan, dan meningkatkan koordinasi semua pengguna jasa kepabeanan dengan membentuk Komisi Penasihat Kepabeanan. Jadi, pemerintah tampaknya tidak akan tergesa-gesa mengubah sistem kepabeanan. Meski Rini mengadakan pendekatan langsung ke Presiden, tampaknya Menteri Keuangan masih mempertimbangkannya masak-masak. Langkah ini dibenarkan oleh ekonom Indef, Dradjad Wibowo. ”Persoalannya bukan pada sistemnya, tapi pada yang menjalankannya. Korupsi bisa dilakukan dalam sistem apa pun,” katanya. Karena itu, kata Dradjad, kalau pemerintah mau serius menangani korupsi di pabean, kompetisi harus dijalankan. Caranya dengan memberikan peluang kepada semua perusahaan surveyor untuk ikut tender. Siapa yang menawarkan pelayanan yang baik dan harga yang murah, itu yang dipilih. ”Pemilihan perusahaan pelaksananya jangan ditunjuk,” katanya. Peran Bea Cukai adalah sebatas menjadi pengawas. Dengan sistem ini, masalah yang jadi persengketaan antara Rini dan Permana, yaitu pemeriksaan prapengapalan atau pascapengapalan, tak lagi relevan. Keduanya bisa dipakai. M. Taufiqurohman, Setiyardi, Gita W. Laksmini, Levi Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus