Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THIS IS IT
Sutradara: Kenny Ortega
Koreografer: Michael Jackson
Pemain (sebagai dirinya sendiri): Michael Jackson, Kenny Ortega, Travis Payne, Michael Bearden, Dorian Holley, Judith Hill
Produksi: Columbia Pictures, The Michael Jackson Company, dan AEG Live. Dirilis oleh Sony Music Entertainment’s Columbia/Epic Label Group.
SETELAH kematiannya yang mengguncang dunia, Michael Jackson menyanyikan lagu perpisahannya melalui This is It. Setelah menyaksikan film dokumenter sepanjang dua jam ini, apakah kita lebih mengenal Michael Jackson? Tidak. Sebab, film ini memang bukan sebuah pengungkapan atau gunjingan gaya infotainment yang terus-menerus mempersoalkan operasi plastiknya, gaya hidupnya yang aneh, dan tuduhan pelecehan seks kepada sejumlah anak lelaki. Film yang semula untuk mendokumentasikan kegiatan selama proses latihan konser 50 ”This is It” yang rencananya akan dipentaskan di London, Inggris, dan dimaksudkan sebagai konser terakhir Michael Jackson itu akhirnya menjadi sebuah film perpisahan.
Untuk mereka yang gemar mengutak-atik sisi buruk seseorang dan bukan karyanya, sebaiknya tak perlu menyaksikan film ini. Sejak awal, film ini didedikasikan: Untuk Penggemar. Jadi yang bukan penggemar, pasti akan keluar dari bioskop karena merasa mual, jengkel, sinis, gatal-gatal karena melihat ratusan penari, kru, dan sutradara Kenny Ortega yang begitu memuja sang bintang. Tapi, bagi para penggemar musiknya, yang akan mencintai karyanya tanpa peduli ribut-ribut latar belakang sang seniman, film ini adalah sebuah dokumentasi yang menarik.
Film ini menceritakan para peserta audisi yang terdiri atas generasi yang tumbuh oleh lagu-lagu Michael Jackson dan—seperti kita juga—hanya menyaksikan ikon pop itu melalui videoklip dan kaset atau CD. Maka, ketika mereka terpilih, tentu saja Anda bisa membayangkan para remaja ini langsung kelojotan seperti baru menenggak obat perangsang! Menari dan menyanyi bersama The King of Pop hanya akan terjadi sekali dalam hidup mereka!
Lalu Michael Jackson muncul didampingi sang sutradara, Kenny Ortega—sutradara film High School Musical—yang saling berbagi ide. Meski Ortega adalah sutradara, jelas sepanjang film, Michael adalah arsitek seluruh pertunjukan. Dia bergerak dengan insting, bukan dengan teori atau struktur pertunjukan. Pengalamannya sejak kanak-kanak hingga menjadi salah satu penyanyi dan penghibur terbesar di dunia ini tentu saja membuat sutradara, kru panggung, dan para penari serta penyanyi cenderung menjadi yes-man yang mengikuti kemauan Michael dengan debat kecil-kecilan di sana-sini. ”Yes Sir, I love you Michael” bertebaran di sana-sini. Dan memang sulit untuk tidak terhipnotis oleh karisma penyanyi yang sebetulnya sangat sopan perilakunya ini.
Anehnya, Michael tak tampak—atau lebih tepatnya: tak terlalu—seperti seorang diva. Kalaupun dia tak puas dengan salah satu nomor, misalnya lagu I Want You Back, ketika Michael tampak jengkel karena musik bermain terlalu keras, Michael tersenyum menanti hingga musik selesai. Lalu dia tak langsung menggempur dengan bentakan. Dengan halus dia berkata, ”Kau tahu kalau musik demikian keras, rasanya telinga kita dihajar habis-habisan oleh tonjokan musik. Kita tak bisa menikmati apa-apa.”
Seluruh isi stadium terdiam. Mereka bingung dengan ”teguran” gaya Michael.
”Maksudmu, Michael?”
”Maksud saya, tolong suara musiknya diturunkan volumenya, supaya saya bisa mendengar dengan baik,” Michael tersenyum.
”Oooh….” Barulah mereka paham, ”Oke, oke… volume diturunkan.”
”Love…I am saying it with love…,” kata Michael yang selalu menghaluskan tegurannya, ”l-o-v-e….”
Sepanjang latihan itu, meski ia tampak kurus dan ringkih serta hampir selalu mengenakan jas atau jaket gombrong untuk berlatih, Michael tak pernah tampak seperti seseorang yang bakal menemui ajal. Tentu kita mempertanyakan apakah tubuh yang tipis dan ringkih itu mampu menyanyi dan berdansa selama dua jam lebih di atas panggung nonstop?
Michael Jackson mencoba ”menghemat” suara dan gerak, sehingga terlihat pada beberapa nomor, dia tak mengerahkan seluruh tenaganya dan hanya memberikan instruksi di mana para penari harus bergerak atau berhenti. Tapi, ketika dia berduet dalam I Can’t Stop Loving You bersama penyanyi muda belia Judith (yang akhirnya pada acara perkabungan Michael Jackson tampil menyanyikan beberapa lagu hit Michael Jackson), Jackson tak bisa menghindar untuk mengeluarkan suaranya, improvisasinya, karena tergoda oleh lawan nyanyinya yang memang sebutir berlian yang tengah digosok itu.
Film ini juga memperlihatkan betapa Jackson seorang perfeksionis. Meski lagu-lagunya tidak mengalami perubahan aransemen yang signifikan, Jackson mementingkan visual dan bentuk. Lagu Smooth Criminal disajikan dengan intro sebuah film pendek noir yang merupakan potongan film Gilda, yang menampilkan Rita Hayworth dan Humphrey Bogart. Michael Jackson ditampilkan mengenakan setelan jas dan celana putih—sama seperti apa yang dikenakan dalam videoklip film itu—dan seolah berpandangan dengan tokoh Rita Hayworth. Keren betul. Ini mungkin salah satu nomor yang akan meledak seandainya konser ini dipentaskan.
Jackson juga merekrut sejumlah ahli teknologi CGI yang dikawinkan dengan aksi panggung. Lagu They Don’t Care about Us, yang rencananya dipentaskan di atas panggung oleh Michael dengan beberapa penari, akan disambung dengan layar hijau yang menggambarkan tentara yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan orang. Imaji perkawinan panggung dan CGI ini menjadi sungguh spektakuler, meski hanya sebuah latihan. Dan inilah sesuatu yang hanya bisa ditampilkan oleh seorang ikon, seorang Michael Jackson.
Jackson juga menyadari kemajuan teknologi sejak sukses film Harry Potter, Twilight, dan semua epigonnya. Hantu beterbangan di udara—seperti adegan film-film Harry Potter—tampil dalam latihan lagu Thriller—kepada kita kemudian disajikan zombie versi baru yang jauh lebih gritesque, mengalami deformasi wajah yang menjijikkan, dan yang spektakuler. Di antara ratusan sosok zombie yang berkelojotan, sosok-sosok hantu yang gentayangan di udara stadium itu, kita masuk ke dunia Thriller yang dulu pernah mengguncang dunia industri musik.
Secara keseluruhan, film ini adalah sebuah gambaran bahwa pada saat-saat terakhir hidupnya, Michael Jackson memang hidup dari musik. Dan itulah yang ingin dia persembahkan kepada dunia.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo