Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi tahukah kita dari mana datangnya keadilan?
Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari ”rasa keadilan”. Kata ”rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah ”kesadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain, sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang kita sebut ”rasa keadilan” itu.
Tapi ”rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya gelap yang mungkin belum juga selesai.
Ada masanya ”keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalasan simetris, sesuatu yang kita dapatkan dalam cerita silat Hong Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas nama keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusapati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi lex talionis yang mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, ”satu mata dibalas satu mata”.
Tapi jika ”keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita temukan dalam cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya sebuah karya Aeschylus di Yunani abad ke-5 Sebelum Masehi kita temukan bagaimana ”keadilan” itu mengalami transformasi.
Dalam lakon Oresteia yang terdiri atas tiga bagian itu, Agamnenon membunuh anaknya yang perempuan, dan sebagai pembalasan ia dibunuh istrinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya. Semuanya atas tuntutan keadilan.
Memang kepada sahabatnya, Pylades, ia bertanya: ”Apa yang kulakukan? Membunuh ibu sendiri, betapa mengerikan!” Tapi atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya melakukan hal yang mengerikan itu juga.
Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut —yang dalam bahasa Inggris disebut ”the furies”—mengejarnya. Orestes harus membayar perbuatannya dengan nyawanya.
Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang radikal: lex talionis digantikan dengan sebuah proses peradilan. Dewi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat mengambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sendiri memberikan suara untuk membebaskan Orestes. Lalu diubahnya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides. Dalam kisah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk selama-lamanya.
Pendek kata, ini adalah lakon lahirnya hukum yang berbeda sama sekali.
Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan meringkus. Hukum yang diletakkan dasarnya oleh Athena memotong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus sepenuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan.
Hukum itu juga meringkus: ia tak mengizinkan perasaan pribadi seseorang bergejolak jadi pedoman memutuskan ”pembalasan”. Mungkin inilah awal pandangan yang disebut ”positivisme hukum”: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-nilai pribadinya. Mereka hanya harus mengikuti apa yang digariskan undang-undang—biarpun itu dirasakan tak adil.
Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aeschylus, Antigone, positivisme itulah yang jadi prinsip Raja Kreon. Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas dikuburkan di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan yang melawan tanah airnya sendiri. Ia pengkhianat. Menurut undang-undang yang berlaku, mayatnya harus dibiarkan tergeletak dimakan gagak di luar dinding kota.
Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal itu tak bisa diterima. Untuk itu Antigone siap melawan dan mengorbankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih luhur, yakni hukum dari dewa-dewa, dibandingkan dengan hukum kerajaan. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai berperang, negara tak akan kukuh hukumnya bila ia goyah—meskipun putranya sendiri, tunangan Antigone, membela gadis yang membangkang itu.
Tapi dari kedua lakon Yunani kuno itu kita bisa tahu: di dasar hukum, di awal hukum, ada kekerasan yang disembunyikan. Para dewi pembalasan yang tertanam di bawah mahkamah adalah semacam bawah sadar hukum positif. Dan kita lihat: hukum Kreon adalah kelanjutan dari peperangan.
Bahkan hukum mengandung kekerasan sejak awal, ketika undang-undang mereduksikan hidup seseorang yang unik dan khas jadi oknum yang bisa dikenai hukum yang berlaku umum. Derrida menyebut reduksi ini ”kekerasan klasifikasi”.
Dengan kekerasan itu, di mana keadilan tanpa darah? Jika keadilan telah diubah jadi sesuatu yang tak lagi pembalasan dendam, dari manakah keadilan datang? Antigone berbicara tentang hukum dewa-dewa yang lebih adil, sebab para dewa tahu bahwa seorang manusia tak bisa dianggap sebagai sekadar sebuah kasus legal.
Tapi pada saat yang sama kita tahu para dewa Yunani kuno ikut dalam percaturan yang berdarah antara manusia. Rasanya tak ada mereka digerakkan oleh rasa keadilan. Dalam agama Abrahami, Tuhan disebut maha adil, tapi kita tak paham mengapa, dalam Alkitab, Tuhan menyengsarakan Ayub walaupun lelaki yang baik dan soleh ini tak berbuat aniaya.
Persoalan seperti ini menyebabkan riwayat keadilan tak selamanya jelas, dan mungkin memang tak akan jelas. Tapi tiap kali kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita melihat ke sebuah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mungkin mengubah kita jadi seseorang yang berteriak: ”Keadilan, atau kehancuran!”
Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa dibenamkan oleh bangunan mahkamah mana pun. Hukum selamanya sebuah kekurangan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo