Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ini Proyek Sekali Seumur Hidup

Perhelatan Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 telah usai pada pertengahan Oktober lalu. Indonesia, yang tahun ini ditunjuk sebagai Ehrengast, atau The Guest of Honour alias Tamu Kehormatan, dinilai sukses besar dalam perhelatan pameran buku terbesar sejagat tersebut. Ini sebuah pencapaian yang layak dicatat, apalagi Indonesia hanya memiliki waktu persiapan selama dua tahun-bandingkan dengan negara lain yang butuh lima hingga delapan tahun. Sebagai Tamu Kehormatan, Indonesia mengusung tema "17.000 Islands of Imagination".

31 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Ini Proyek Sekali Seumur Hidup
Perbesar
Ini Proyek Sekali Seumur Hidup

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Perhelatan Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 telah usai pada pertengahan Oktober lalu. Indonesia, yang tahun ini ditunjuk sebagai Ehrengast, atau The Guest of Honour alias Tamu Kehormatan, dinilai sukses besar dalam perhelatan pameran buku terbesar sejagat tersebut. Ini sebuah pencapaian yang layak dicatat, apalagi Indonesia hanya memiliki waktu persiapan selama dua tahun-bandingkan dengan negara lain yang butuh lima hingga delapan tahun. Sebagai Tamu Kehormatan, Indonesia mengusung tema "17.000 Islands of Imagination".

Budayawan Goenawan Mohamad ditunjuk sebagai Ketua Komite Nasional untuk FBF 2015 sejak awal tahun ini. Dia menggantikan Agus Maryono yang sudah bekerja sejak 2013, tapi mengundurkan diri pada tahun ini. Persiapan yang amat singkat dan kekakuan birokrasi merupakan hal besar yang mesti diatasi Komite Nasional. Untunglah Goenawan dapat mengandalkan timnya. "Tim saya bagus. Mereka kerja full time. Kami kerja tujuh hari (dalam sepekan) dan 24 jam (dalam sehari)," kata Goenawan dalam wawancara dengan Ali Nur Yasin, Iqbal Muhtarom, dan Anisatul Umah dari Tempo, di Yogyakarta, Rabu lalu.

Dalam waktu yang terbatas itu, Komite berhasil menerjemahkan lebih dari 200 jilid buku ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan bahasa lain yang dipajang di FBF 2015. Selain Pulang (karya Leila S. Chudori) dan Amba (Laksmi Pamuntjak), ada karya penulis-penulis lain, seperti Eka Kurniawan, Andrea Hirata, Dee, Ahmad Tohari, Ahmad Fuadi, Oky Madasari, serta Ayu Utami, juga buku anak-anak, buku kuliner, buku perjalanan, dan buku jenis lain. Selain 200 buku yang diterjemahkan itu, diperkirakan 8.000 buku lain ikut dipajang.

Berikut ini petikannya.

Anda sempat tidak setuju Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair?

Karena persiapannya terbatas. Saat rapat-rapat, pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak ada yang datang. Beberapa penerbit juga ragu karena kita biasanya hanya membeli copyright dan bukan menjual. Waktu itu saya bilang, berikan saja kepada Malaysia.

Lalu bagaimana sampai Anda kemudian ditunjuk menjadi Ketua Komite Nasional untuk perhelatan FBF ini?

Pada 2013 saya diminta wakil presiden saat itu, Pak Boediono, untuk ikut rapat pembentukan Komite Nasional. Pada tahun itu, baru ditandatangani MoU dengan Direktur Frankfurt Book Fair. Kita hanya punya waktu dua tahun untuk persiapan. Saat itu Ketua Komite Nasional-nya adalah Pak Agus Maryono, insinyur lulusan Jerman yang ahli tentang sungai. Saya mengatakan saya tidak mau jadi ketua. Saya juga tidak mau menjadi Ketua Komite Buku. Kenapa? Karena saya pengarang, nanti pasti dianggap mementingkan diri sendiri. Saya hanya minta menteri-menteri tidak usah dilibatkan dalam Komite. Tim ini dibentuk untuk membantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi ini adalah proyek Kementerian.

Kapan Anda ditunjuk menggantikan Pak Agus Maryono?

Pada 2015 Mas Agus mundur dari Ketua Komite dan meminta saya menggantikan dia. Menteri Pendidikan Anies Baswedan yang menandatangani karena sudah ada pergantian kabinet. Kami waktu itu bekerja tanpa anggaran, jadi pakai anggaran rutin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Apa saja yang disiapkan oleh tim Anda?

Ada road map, namanya Jalan Menuju Frankfurt. Pertama, Indonesia harus tampil di Leipzig, sebuah pameran buku terbesar kedua di Jerman. Saat itu kami mendatangkan Ahmad Tohari. Waktu itu buku Laksmi Pamuntjak (Amba) sudah disebarkan. Lalu ada sedikit pertunjukan, kuliner, dan galeri. Setelah itu, ikut pameran buku anak-anak. Selanjutnya ikut pameran buku di London. Itu semua harus dilakukan untuk mempromosikan Indonesia. Semua dilakukan dalam waktu yang sangat singkat dan butuh biaya untuk menyewa tempat, mendatangkan orang, bikin katalog, bikin acara. Nah, setelah itu, kami mulai persiapan ke Frankfurt.

Anda sempat marah-marah karena anggaran susah cair?

Karena memang pemerintah tidak ada uang pada Januari-Februari 2015. Untuk penerjemahan, pemerintah hanya menganggarkan Rp 150 ribu per halaman, padahal tarif internasional Rp 480 ribu per halaman. Ya, enggak ada yang mau. Penerjemah dari Jerman banyak yang mengundurkan diri. Kita ini ibarat mau beli Mercedes tapi pakai harga Kijang.

Bahasa Indonesia tidak dikenal. Penerjemah bahasa Indonesia yang bagus tidak sampai 40 orang, padahal waktunya sudah mepet dan penerjemahan sastra itu perlu waktu setidaknya satu tahun.

Strategi kita berbeda dengan Cina. Mereka menulis sendiri, kemudian diterbitkan sendiri. Tetapi, kalau caranya begitu, buku kita tidak akan laku, karena enggak ada promosi.

Ketika Anies Baswedan menjadi menteri, dia tidak bisa mengubah agar anggaran lebih cepat cair?

Dia kan baru menjabat, sementara program sudah jalan. Jadi memang tidak bisa diubah. Anggarannya sudah ditetapkan pada masa Menteri Muhammad Nuh. Aturan pemerintah dan birokrasi (dalam pencairan anggaran) masih kaku. Misalnya, kita menyewa tim public relations. Mereka berbulan-bulan belum dibayar sampai kami mau diancam-tapi belum sampai disomasi. Untung bisa saya dibujuk.

Berapa anggaran totalnya?

Tahun 2014, bujetnya ditetapkan sekitar Rp 147 miliar. Pemerintah yang menetapkan anggarannya. Jadi, bukan kami yang mengajukan. Program yang kami susun menyesuaikan dengan bujet yang sudah ditetapkan pemerintah.

Tidak mencari sponsor?

Waktu itu saya mau cari sponsor, tapi dibilang jangan. Sebenarnya tidak perlu sponsor memang, kalau pembayarannya lancar. Saya terpaksa nombokin. Saya juga minta bantuan teman-teman untuk nombokin.

Berapa biaya untuk sewa paviliun?

Sekitar Rp 19 miliar, tapi ini proyek sekali seumur hidup. Ini ibarat kita ikut Olimpiade. Saya bersyukur menjadi bagian dari sejarah ini.

Banyak yang menyoroti bahwa buku-buku yang ditampilkan lebih banyak tentang peristiwa 1965?

Mereka (FBF) yang memilih buku apa yang diterjemahkan, kita menawarkan sekian buku. Dari 200 buku yang terpilih, tidak hanya menyangkut 1965. Sebenarnya yang diminati bukan peristiwa 1965, melainkan tentang Islam di Indonesia. Karena waktu itu juga ada persiapan pengadilan internasional tentang 1965. Itu kan gemanya sampai ke Frankfurt.

Dalam perhelatan ini, buku Laksmi Pamuntjak seperti yang ditonjolkan?

Buku Laksmi itu kan sudah diterjemahkan sebelum tim dibentuk. Novel Laksmi Pamuntjak dipilih sebagai novel luar Jerman yang terbaik. Kita tidak bisa kontrol mereka yang memilih. Buku itu dipromosikan secara besar-besaran oleh mereka. Ternyata disambut baik. Itu buku terjemahan yang dicetak paling banyak, 15 ribu eksemplar. Laksmi menulis novelnya dalam bahasa Inggris, kemudian dia terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Nah, yang bahasa Inggris sudah beredar.

Dalam perhelatan FBF ini, paviliun Indonesia banyak menampilkan acara kesenian, padahal ini acara mengenai perbukuan?

Frankfurt Book Fair ini merupakan ajang bagi para penerbit buku. Ini bukan festival sastra, bukan festival pengarang. Bodoh sekali kalau menganggap ini sebagai festival pengarang. Pengarang di sana hanya aksesori. Yang dipamerkan buku. Kalau ada pengarangnya, ya syukur. Kalau tidak, ya, tidak apa-apa.

Jadi, acara-acara kesenian itu menjadi salah satu yang mendongkrak?

Di Frankfurt itu ada proyek besar yang disebut Indonesia Lab. Jadi, didatangkanlah, misalnya, enam komposer Indonesia yang kerja sama dengan orkes terkenal di Eropa. Yang lain adalah kuliner, kita mendatangkan 11 chef. Kita bikin paviliun yang bagus sekali hingga semua orang kagum. Itu kerjanya luar biasa. Jadi, biasanya selama ini Indonesia kan hanya membeli. Sejak 2014 mencoba menjual dan ini berhasil.

Apa catatan Anda untuk tahun depan agar persiapan kita jauh lebih siap?

Karena sudah menjadi tamu kehormatan, kita tidak bisa lagi hanya buka lapak seperti sebelum 2014. Kedua, kita harus mulai menyiapkan dana penerjemahan. Ketiga, tahun ini kita ditolong oleh buku-buku yang sudah ditulis jauh sebelumnya, seperti karya Andrea Hirata, Ayu Laksmi, dan lain-lain. Untuk tahun depan, saya belum menemukan buku-buku yang layak.

Sayang sekali kalau momentum yang sudah bagus ini tidak bisa dimanfaatkan di masa mendatang, ya?

Tujuan Frankfurt Book Fair itu kan agar hak ciptanya bisa dibeli. Karena penjualan buku di dalam negeri paling 3.000 eksemplar. Sehingga ada motivasi untuk memproduksi buku yang bagus. Dari 30 penerbit yang kita biayai ke FBF 2015, hampir tidak ada yang penerbit sastra. Penerbit kita umumnya memproduksi buku kurikulum. Nah, perlu ada ambisi mencari market di luar karena itu menguntungkan sekali. Ini bisa merangsang produksi. Apalagi kalau dibentuk dana penulisan seperti di Belanda.

Bagaimana dengan karya sastra?

Di Indonesia banyak puisi dan cerpen, tapi itu enggak laku. Kita tahu diri kalau yang bukan novelis akan berat. Penulisan akademikus kita juga kurang bagus.

Ada yang menyatakan bahwa Indonesia adalah tamu kehormatan terbaik sepanjang penyelenggaraan Frankfurt Book Fair. Benarkah?

Saya pikir, kalau orang ke paviliun kita untuk melihat pameran buku bermeter-meter, kan capek. Nah, di paviliun kita ada tempat duduk dan kuliner. Yang paling bagus adalah Islandia karena seperti suasananya ya ruang baca. Nah, kita kombinasikan itu dengan banyak acara. Orang bisa duduk-duduk dan baca.

Anda selama ini lebih banyak bergelut dengan dunia pemikiran, lalu kini harus mengurus masalah teknis sebagai Ketua Komite Nasional?

Bagi saya, ini pekerjaan yang enteng. Saya pernah memimpin Tempo yang setiap pekan diburu deadline. Yang berat itu birokrasi keuangan. Tim saya bagus. Mereka kerja full time. Kami kerja 7 hari 24 jam.

Usai acara di Frankfurt ini, sudah bertemu dengan Menteri Anies?

Kami harus bikin laporan dulu. Dalam kesimpulannya, menurut saya, Indonesia berhasil. Anies Baswedan sudah setuju dengan proyek penerjemah, tapi kerjaan dia kan juga banyak.

Ada yang menuduh ada korupsi di proyek Frankfurt Book Fair ini?

Saya enggak pernah pegang uang. Di bawah saya ada orang Kementerian Pendidikan. Tidak ada yang kami tutup-tutupi. Saya termasuk mengawasi kalau ada usaha-usaha ke arah itu.

Biografi:
Nama lengkap: Goenawan Soesatyo Mohamad
Tempat tanggal lahir: Batang, 29 Juli 1941

Pendidikan dan pelatihan:
-Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
-Nieman Fellowship, Harvard University, Amerika Serikat (1993)

Beberapa karya sastra dan esai di antaranya:
-Parikesit (1969)
-Interlude (1971)
-Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (1972)
-Seks, Sastra, dan Kita (1980)
-Kesusastraan dan Kekuasaan (1993)
-Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001)
-Kata, Waktu (2001)
-Eksotopi (2002)
-Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai (2007)
-Don Quixote (2013)

Penghargaan:
-Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Republik Indonesia (2015)
-Dan David Prize Award (2006)
-Wertheim Award (2005)
-Louis Lyons Award (1997)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus