Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Jamartin Sihite menghadapi masa-masa paling berat dalam mengurus orang utan.
Pandemi berpengaruh untuk pembiayaan, rehabilitasi, dan pelepasliaran.
Hal yang paling menantang adalah mencari hutan yang cocok dan aman untuk melepasliarkan.
Sudah satu dekade Jamartin Sihite mengurus rehabilitasi orang utan di Kalimantan. Terjadinya pandemi Covid-19 adalah masa terberat bagi CEO Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation itu. Orang utan ikut terkena dampak. Masa paling berat dirasakan pada awal masa pandemi. Mereka harus menerapkan protokol kesehatan ketat dalam mengurus orang utan, tapi alat pelindung diri, peralatan, dan disinfektan susah didapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Virus corona sangat berisiko bagi orang utan, yang DNA-nya sangat dekat dengan manusia. Jamartin pun harus mencari cara bagaimana mencegah risiko itu, baik dalam mengurus mereka di tempat rehabilitasi maupun saat pelepasliaran. Pembengkakan biaya pun tak terhindarkan. “Dari mulai pakai helikopter, jalan darat, lalu lewat sungai,” ujar Jamartin kepada Dian Yuliastuti dari Tempo, melalui aplikasi panggilan pada Rabu, 25 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, selama masa pandemi, jumlah donasi ikut menurun. Bahkan Jamartin sempat berpikir menjual aset untuk membiayai pengurusan orang utan jika kondisi tak terkendali. “Untunglah sampai saat ini belum ada aset yang terjual.” Ia pun terus berusaha agar semua kegiatan berjalan dengan baik meskipun banyak tantangan dan kesulitan harus dipecahkan. Tak hanya itu, Jamartin pun bercerita tentang pengalaman yang unik bekerja di bidang lingkungan. Berikut ini petikan wawancaranya.
Jamartin Sihite melepasliarkan orangutan albino di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Tengah, 2018. Dok. BOSF
Anda habis-habisan menjaga orang utan di masa pandemi. Bagaimana dengan pembiayaannya?
Pandemi Covid-19 menghantam banyak orang, jadi lebih susah. Donor-donor kami bukan pemerintah atau swasta, melainkan orang per orang. Kami memang tidak bisa mengandalkan fund raising. BOS Foundation sejak 1991 membuat sistem pencarian dana, dengan BOS Sister. Ada BOS Inggris, Jerman, Amerika, Swiss, dan Australia. Karena kami butuh bantuan teman-teman. Memang agak sulit pada masa ini karena tidak ada bangsa yang tak terkena dampak.
Biaya mengurus orang utan naik berapa besar?
Pada awal-awal pandemi ini, cost meningkat sekali. Untuk masker, disinfektan, harganya gila-gilaan. Sebelum masa pandemi, BOSF kan juga sudah menerapkan protokol, ya dengan memakai masker, sarung tangan, dan cairan disinfektan. Nah, saat pandemi itu semua kan harganya naik berlipat-lipat. Dulu, sebelum pandemi, hanya mereka yang bersentuhan langsung dengan orang utan yang menggunakan protokol kesehatan, seperti dokter hewan, pengasuh, atau petugas yang membersihkan kandang. Tapi begitu ada pandemi, orang di kantor pun juga harus pakai masker. Kami harus sediakan disinfektan juga sebagai antisipasi. Peningkatan 20-30 persen cost untuk peralatan. Sekarang harga sudah turun meski masih lebih mahal daripada sebelum pandemi.
Apakah masih banyak yang memberikan donasi?
Meski situasi sulit, banyak yang kehilangan pekerjaan atau berkurang pendapatannya, tapi sejauh ini donasi masih lumayan. Mungkin ada penurunan 10-20 persen di luar negeri, ya. Di Indonesia kami mengupayakan crowd funding, yang dulunya cukup lumayan di Kitabisa.com. Setidaknya 4-5 bulan ke depan masih bisa. Tapi sekarang, ya, kami tidak muluk-muluk. Masalah hari ini, ya, diselesaikan hari ini. Yang bisa kami lakukan hari ini, ya, kami lakukan. Masalah di depan, ya, dipikirkan nanti. Selain dari crowd funding, ada figur publik yang ikut mendukung kerja konservasi ini.
Alokasi donasi?
Selalu kami berupaya cari untuk pakan orang utan.
Banyak figur publik terlibat di BOSF, apakah cukup membantu?
Bukan soal nominal ya, tapi yang kami suka karena mereka ikut tergerak. Hati mereka terbuka. Itu jauh lebih penting. Yang paling susah itu kan membangun kesadartahuan. Kawan-kawan figur publik ini yang ikut membantu memantik awareness. Melalui media sosial, mereka yang punya ribuan atau jutaan follower, berapa persen saja ikut tergerak membantu kan juga lumayan. Kalau mereka di-endorse untuk produk tertentu kan mahal. Nah, mereka mengalokasikan media sosial mereka untuk kepedulian bagi orang utan itu sudah sangat membantu.
Jamartin Sihite bersama aktor Hollywood, Harrison Ford di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, 2013. Dok. BOSF
Katanya sempat mau jual aset untuk memenuhi kebutuhan di tempat rehabilitasi?
Iya, perkiraan kami demikian kalau donasi kurang. Kami tak mungkin biarkan orangutan lapar. Kalau harus jual aset, ya, akan kami jual. Tapi sampai hari ini syukurlah belum jual aset-aset. Artinya donasi dari teman-teman di dalam dan luar negeri masih mencukupi. Cost banyak yang terhenti, tidak ada biaya tertentu, misalnya biaya perjalanan. Overhead kantor juga berkurang. Hanya memang untuk kebutuhan masker, peralatan meningkat, dan kami lakukan penghematan juga.
Pelepasliarannya bagaimana?
Yang paling penting sebagai pusat rehabilitasi adalah upaya pelepasliaran. Selama pandemi ini kami melakukan banyak penyesuaian. Butuh setahun penyesuaian, terutama untuk analisis risiko. Butuh satu tahun untuk belajar, mengubah protokol ketika akan melepasliarkan. Saat pandemi kami pernah melepasliarkan memakai helikopter untuk menghindari kontak dengan manusia. Sebelum dilepaskan, kami pastikan pula orang utan sehat, dites PCR, dan orang yang mengantar serta pilotnya juga tes PCR, helinya juga disemprot disinfektan. Setelahnya, orang-orang yang terlibat pun kemudian menjalani karantina lagi. Gila, benar-benar gila kemarin itu.
Tidak ada cara lain?
Untuk memindahkan individu ke pulau bisa lewat jalan darat, tapi penuh risiko. Selain pakai heli, kami melakukannya lewat sungai. Kalau lewat jalan darat 4-5 jam, tapi lewat sungai bisa setengah hari. Kami sewa speedboat, ponton, dan di dalamnya hanya kami, tidak boleh ada orang lain. Itu makan biaya lagi memang. Tapi itu demi memperkecil risiko.
Kondisi masih gawat begini masih bisa melepasliarkan?
Sementara berhenti dulu sambil melihat dampak varian baru ini. Mungkin kalau kondisi sudah reda, PPKM level 2, mungkin baru rilis. Kami lihat analisis risikonya lagi. Di Amerika, gorila, harimau, yang DNA-nya jauh dari manusia saja, bisa kena Covid-19. Ini orang utan yang DNA-nya sangat dekat sangat rentan tertular. Makanya kami menerapkan one health system. Orang yang mengurus harus sehat, sehingga orang utannya juga sehat. Kami memastikan orang utan yang akan dilepasliarkan ini benar-benar sehat. Jadi, tidak membawa penyakit yang akan menularkan ke alam. Mungkin satu-dua bulan ini akan melihat kemungkinan pelepasliaran di pulau.
Bagaimana cara mengupayakan kesehatan keduanya tetap terpantau?
Kami mengusahakan tes antigen setiap bulan. Ketika kasus naik, kami lakukan tiap dua minggu. Nah, ini kemarin varian baru meletus naik, PPKM darurat. Balikpapan dan Palangkaraya zona merah, padahal ini dua tempat rehabilitasi. Sebulan terakhir ini tes cepat antigen dilakukan setiap minggu. Semua anggota tim sudah divaksin, tapi kami sadar masih ada kemungkinan kena, ada yang tanpa gejala.
Ada orang utan yang pernah kena Covid-19?
Pertengahan Juli lalu, walau ada beberapa orang dari tim ada yang positif saat PCR, tapi orang utannya tetap negatif. Pengawalan juga ketat. Kawan-kawan yang mengurus juga sebaiknya tidak boleh pergi ke mana-mana dulu. Tapi kalau ada yang positif, ya kami tracing tujuh hari ke belakang, dengan siapa berinteraksi dan juga orang utan yang diurus.
Saat ini berapa banyak individu di tempat rehabilitasi?
Per Juli lalu totalnya masih ada 420 individu. Di Nyaru Menteng, Palangkaraya, ada 297 individu, sedangkan di Samboja 123 individu. Sejak 2012 kami sudah melepasliarkan 425 individu. Jalan masih panjang. Dulu waktu saya masuk itu masih 800-an individu. itu PR berat.
Berapa luas area untuk pelepasliaran?
Di Kalimantan Timur kamu punya HPH restorasi yang diizinkan pemerintah untuk dikelola. Ini area pemerintah, kurang-lebih 86 ribu hektare. Tidak semuanya layak. Nah, 30 persennya ini layak untuk kawasan pelepasliaran. Hitungan kelola hutan dari 30 persen yang layak ini termasuk kandang di Samboja, belum lagi nanti kalau ada yang masuk lagi. Kami sudah mohon tambahan area, sudah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi), tinggal menunggu dari pemerintah pusat. Kami berharap pemerintah mengabulkan. Kalau dikabulkan, itu luasnya 40-50 ribu hektare. Ada gunung. Maunya itu ada sungai sebagai batas untuk memudahan manajemen. Jadi, bisa 50-60 ribu hektare. Untuk membangun hutan lestari untuk orang utan dan manusia. Itu bisa jadi koridor juga untuk beberapa area lindung.
Jamartin Sihite menuju pelepasliaran orangutan albino ke Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Tengah, 2018. Dok. BOSF
Apakah pinjam hutan perusahaan juga?
Soal peminjaman hutan, pulau, kami mencoba mendekati perusahaan yang ada di Kalimatan Timur. Pinjam pakai area, dia tidak membuka untuk usaha sawit sekitar 80 hektare. Dibuat jadi pulau, ini jadi sekolah orang utan, dan dia ikut biayai kebutuhan operasional tempat rehabilitasi. Ini menjadi bagian komitmen dia. Itu bukan green washing. Kalau dihitung, itu berapa biaya keuntungan kalau dipakai untuk sawit.
Di Kalimantan Tengah kami bekerja sama dengan perusahaan mengelola 2.000 hektare, tapi BOSF keluar dana untuk membeli 700 hektare. Sisanya dibeli perusahaan itu dan kita pakai, dan dia bantu pengelolaan. Kami berharap perusahaan lain terinspirasi. Tidak cuma untuk orang utan, tapi bisa satwa lain, seperti harimau dan gajah. Coba kalau ada 100 perusahaan yang ikut.
Apakah banyak kritik dengan konsep ini?
Adakah hidup kita ini yang bebas dari kritik? Ya, aku cuma gunakan apa yang diajarkan orang tua. Kerjakan apa yang kamu doakan, doakan yang kamu kerjakan. Kalau dapat kritik, ya, kita lihat poinnya, apa yang perlu diperbaiki. Saya tidak mau banyak waktu memikirkan komentar orang. Lebih baik saya kerjakan, apa yang bisa saya lakukan untuk orang utan, lingkungan, dan negara ini. Karena itu, BOSF akan melihat lebih hati-hati untuk bekerja sama. Kita ini cuma alat Tuhan di dunia, enggak ada yang sempurna. Kritik ini bisa kita gunakan sebagai cambuk. Ibarat sopir, kalau lihat spion terus, bakal nabrak. Bukan berarti saya antikritik, ya. Ini sebagai informasi untuk memperbaiki diri.
Karena komitmen Anda itu, makanya kemudian dapat penghargaan ya?
Ah, itu semua untuk kerja kawan-kawan BOSF. Karena pelepasliaran itu. Apa yang saya pribadi lakukan pun tidak lepas dari kerja BOSF.
Orang utan yatim-piatu yang menginspirasi Anda itu apa kabarnya?
Saya tidak tahu nasib orang utan itu. Kala itu saya bekerja di Pulau Komodo, lalu diajak kawan kerja untuk orang utan. Saya tinggalkan kerja di TNC (The Nature Conservancy) di Bali, lalu pindah ke OCSP (Orangutan Conservation Services Program) di bawah USAID. Di situ saya mulai berinteraksi dengan orang utan. Ketika ke Tanjung Puting, saya lihat orang utan tua, saya foto dan ikutkan lomba, ternyata menang. Apa kemudian dilepaskan nggak tahu. Lalu aku pikir tentang orang utan, masak di kandang terus
Lalu?
mulai tumbuh kecintaan melihat mata orang utan kecil. Tapi saya benar-benar jatuh cinta ketika melihat orang utan tua yang tak ada harapan. yang ada di kandang itu. Mata mereka itu seperti minta dikembalikan ke hutan. Mereka tidak layak di kandang. Lalu saya kerja di BOSF. Saya pikir mereka harus kembali ke alam, harus hidup di pohon. Karena itulah kemudian muncul ide untuk bikin pulau-pulau buatan atau suaka untuk mereka.
Ada rencana lain?
Kami berencana bikin di Kalimantan Tengah. Itu jadi suaka buat orang utan yang tidak bisa kembali ke alam liar. BOSF punya mimpi orang utan yang tidak bisa dilepaskan ke hutan liar (karena berbagai alasan, seperti sakit atau tidak bisa lagi mencari makan sendiri) akan dilepaskan ke pulau buatan. Mereka masih bisa berinteraksi dengan manusia tapi masih bisa hidup di pohon.
Ada berapa individu yang tidak bisa dilepasliarkan?
Sekitar 80-100 individu, yan tidak bisa ke hutan beneran. Karena itu kami akan tempatkan di pulau buatan, di antara sungai.
Adakah orang utan yang menginspirasi kerja Anda?
Kopral dan Shelton itu menginspirasi aku bekerja sama. Kopral itu tidak punya tangan, sementara Shelton itu buta. Mereka bekerja sama bisa memanjat pohon. Lihat itu rasanya, kok, malu. Kamu dan aku yang tidak punya keterbatasan masa tidak bisa bekerja sama.
Kalau Hiu, Faruk, Iqbal, itu sudah tua. Mereka sukanya duduk di pojok kandang, diam. Seperti tidak punya harapan di mata mereka. Mata-mata mereka itu yang bikin kami bertahan. Aku pingin bisa mengembalikan jiwa itu. Mereka terbiasa di kandang ukuran 3 x 3 x 5 meter selama 20 tahun. Bagaimana mereka bisa jiwa itu kembali.
Ada kasus lain?
Kejadian pada Romeo di Kalimantan Timur. Dia dikandangin terus, diisolasi, karena ada hepatitis. Ternyata 15 tahun kemudian ketahuan hepatitis ini juga ada di alam. Dia sudah terisolasi 15 tahun. Siapa yang bisa ngajarin hidup di alam, udah segede itu? Mata dia itu kadang-kadang seperti marah kalau lagi (kami) lewat, karena kami belum bisa menepati janji.
Romeo akhirnya dilepas di pulau buatan. Itu saya stres. Karena dia biasa di kandang, lalu dibawa ke alam. Di sekelilingnya ada air, sungai. Sejak kecil dia tidak pernah tahu, ada air dan bisa tenggelam. itu risiko juga. Dengan segala perhitungan kami pindahkan ke pulau. Tapi kemudian dia sadar, bisa manjat-manjat tiang, matanya berubah, bisa menikmati.
Jamartin Sihite melepasliarkan orangutan albino di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Tengah, 2018. Dok. BOSF
Anda bilang mengurus orang utan seperti naik roller coaster?
Yang naik-turun dinamikanya. Dimaki-maki orang, misalnya, kadang bikin bikin down. Roller coaster perasaan, ya. Saya jadi lebih hati-hati saja memikirkan perkataan orang. Bapak saya pernah bilang, dalam pekerjaan yang butuh daya tahan itu tidak banyak orang. Yang banyak orang tahan itu hal-hal yang pendek. Konservasi ini kan satu hal yang panjang, butuh kesetiaan, komitmen, dan kerja panjang.
Sepertinya orang tua sangat mempengaruhi Anda?
Orang tuaku cuma memberi contoh, tanpa mendikte. Orang tua kan dari keluarga pendeta, baik dari pihak bapak atau ibu. Saya bilang, bapak-mamak, doakan saja apa yang saya kerjakan. Apa pun yang kamu kerjakan jangan lebih takut dengan orang-orang, tapi lebih takutlah kepada yang memberi hidup. Karena pertanggungjawabannya kepada Tuhan.
Dari pengalaman mengurus orang utan ini, hal apa yang paling menantang?
Yang paling menantang adalah mencari hutan yang cocok dan aman. Juga membangun kesadartahuan itu. Saya waktu masuk berpikir, kok, banyak orang utan di kandang, bukan di hutan, ini ada yang salah. Maka kami prioritaskan untuk pelepasliaran. Kami bermimpi BOSF ini organisasi konservasi yang paling kecil ngurusi rehabilitasi, tapi paling besar mengurus orang utan di hutan.
Putra Anda tampaknya mengikuti jejak Anda?
Ya, biarlah dia mengikuti langkah hatinya. Tugas orang tua mengajari menemukan yang sesuai dengan hatinya. Dia kan masuk fakultas kehutanan. Saya bilang, “Buat apa? Kan hutan makin sedikit?” Dia bilang, “Ya jangan makin sedikit, he-he-he.” Nah, waktu liburan itu dia bilang mau ikut ke hutan saat ada pelepasliaran. Saya memastikan niat dia sampai malam sebelum pelepasan di lokasi. Dia malah minta izin seminggu tinggal di sana.
Saya tidak jawab, tapi saya suruh pikirkan ulang karena kondisi medan dan geografisnya berat. Ternyata dia malah akhirnya minta tinggal lebih lama. Saya sampaikan ke tim di lapangan, dia ini mahasiswa yang mau belajar, bukan anak bos. Jadi, perlakukan dia seperti mahasiswa yang belajar. Ternyata dia menikmati.
Bagaimana dengan anak Anda yang lain?
Kalau anak nomor dua kuliah di bisnis, tapi pernah bikin desain merchandise. Saya bilang ke teman-teman, ada desain ini, tapi tidak bilang itu desain anak saya. Ternyata banyak yang suka dan dia menyumbangkan desain itu.
Selama tidak bisa sering ke tempat rehabilitasi, apa saja kegiatan Anda?
Pada masa pandemi ini malah banyak kegiatan. Kerja lebih berat juga. Seminggu pasti meeting, pemantauan, evaluasi dengan tim yang berada di Kalimatan. Untuk memompa semangat tim yang di lapangan juga. Sebelum ada varian baru, kemarin sempat ke Kalimatan. Lalu di sini juga ada meeting, zooming, ngobrol dengan teman-teman, mahasiswa.
Kegiatan santai selama pandemi ini?
Paling nyiram-nyiram anggrek hibridaku yang mudah diurus. Cukup untuk bikin bahagia. Yang mudah disiram kalau nanti harus ditinggal bolak-balik ke Kalimantan. Aku juga mencoba menulis, curhat di Facebook, ha-ha-ha. Nulis yang ada saja soal ngurus orang utan. Di awal-awal pandemi itu aku sempat nulis Quo Vadis Pusat Rehabilitasi karena kondisinya kan gila-gilaan dengan cost yang melambung tinggi. Ini lagi mikir-mikir nulis, ngumpulin tulisan-tulisan, bikin sesuatu dengan cerita pendek-pendek saja.
CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Jamartin Sihite. Dok. BOSF
Biodata
Nama: Jamartin Sihite
Lahir: Pematang Siantar, 21 Agustus 1965
Pendidikan:
• S-3 Ilmu Lingkungan - Institut Pertanian Bogor, 2004
• S-2 Ilmu Lingkungan - Institut Pertanian Bogor, 1993
• S-1 Konservasi Tanah – Institut Pertanian Bogor, 1989
Penghargaan
2015 : Penghargaan Ian Redmont
2019 : Penghargaan Virginia McKenna untuk Konservasi Penuh Kasih
2020 : Pongo Environmental Award 2020
Pengalaman Profesional:
• 1992-2011, Pengajar di Jurusan Arsitektur Lanskap Universitas Trisakti
• 2005-2007, Deputi Direktur Konservasi Putri Naga Komodo (PNK)
• 2007-2010, Wakil ketua partai (DCOP) di Program Layanan Konservasi Orangutan (OCSP)
• 2010-sekarang, Presiden direktur di Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI)
• 2011-sekarang, CEO di Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF)
Pelatihan:
• Pelatihan Kepemimpinan Lingkungan, University of California di Berkeley, Juni-Juli 2009
• Pelatihan Pengembangan Proyek Karbon Hutan, Conservation International di Bali, Juni 2008
• Pelatihan Trainer Audit Pengelolaan Hutan Lestari. Institut Ekolabel, 1999
• Pelatihan Auditor Kehutanan. Institut Ekolabel, 1997
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo