Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Pidi Baiq: Saya Enggak Punya Cara Khusus Menulis Novel

Energi Pidi Baiq seolah-olah tidak pernah habis. Belum selesai film terbarunya, Milea: Suara dari Dilan, tayang di bioskop pada bulan ini, pendiri kelompok musik The Panas Dalam ini bergegas mempersiapkan film terbarunya berjudul Helen dan Sukanta.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Pidi Baiq di kafe The Panas Dalam, Bandung, Jawa Barat, 2018. TEMPO/Prima Mulia
material-symbols:fullscreenPerbesar
Pidi Baiq di kafe The Panas Dalam, Bandung, Jawa Barat, 2018. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Energi Pidi Baiq seolah-olah tidak pernah habis. Belum selesai film terbarunya, Milea: Suara dari Dilan, tayang di bioskop pada bulan ini, pendiri kelompok musik The Panas Dalam ini bergegas mempersiapkan film terbarunya berjudul Helen dan Sukanta. Seperti cerita Dilan dan Milea, film itu bercerita tentang kisah cinta Helen yang diangkat dari novel terbaru berjudul sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini bakal menggarap film Helen dan Sukanta bersama Fajar Bustomi. Keduanya pernah berkolaborasi ketika Max Picture menggarap film Dilan 1990 pada 2018 dan Milea: Suara dari Dilan. "Kami sudah saling kenal. Kalau marah pun, kami tidak akan saling tersinggung," kata Pidi Baiq.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pidi Baiq adalah sosok multitalenta. Sebelum terkenal sebagai penulis novel, ia ilustrator buku, prangko, pelukis, penyair, dan pemusik bersama kelompok musik The Panas Dalam hingga berjulukan imam besar. Beberapa lukisannya terpajang dan tersimpan di kantor sekaligus kafenya, Kantin Nasion Rumah The Panasdalam, Bandung. Ia juga penceramah tapi enggan diungkapkan.

Namanya mulai menarik perhatian publik setelah menulis kitab Drunken Molen pada 2008, lalu Drunken Monster, Drunken Marmut, hingga trilogi Dilan-Milea yang melambungkan namanya. Namun ketenaran itu tidak membuat Surayah, panggilan akrabnya di media sosial, berubah drastis. Ia tetap bertopi baseball, berkaus hitam, memakai celana sedengkul, dan bersandal jepit.

Pada Rabu lalu, kepada wartawan Tempo, Anwar Siswadi, Pidi Baiq bercerita tentang proses kreatif sebagai penulis hingga soal film-filmnya. Berikut ini petikan wawancaranya.

Mengapa Anda memutuskan memfilmkan novel Helen dan Sukanta?

Saya enggak pernah menolak jika ada rumah produksi ingin mengangkat buku saya ke layar lebar. Syaratnya, saya harus dilibatkan. Untuk Helen dan Sukanta, saya menggarapnya bersama Fajar Bustomi. Kami sudah akrab. Kalau orang baru, bukannya tidak bagus, tapi harus ada pendekatan lagi. Ada ewuh pekewuh. Saya sudah teken kontrak dengan Max Picture dan rencana mulai jalan Maret tahun ini.

Bagaimana pembagian peran Anda dan Fajar Bustomi?

Pada akhirnya, kalau di lapangan, saya menjadi sutradara esensi. Saya berperan lebih menjaga isi cerita filmnya, apalagi saya lebih tahu kondisi Bandung. Kalau Fajar Bustomi lebih ke sutradara untuk sinematografinya.

Siapa yang mengalihwahanakan naskah Helen dan Sukanta ke naskah film?

Saya dan Titien Wattimena. Itu artinya apa pun yang ditulis dalam skenario harus sesuai dengan gaya saya. Di lapangan saya bilang kita harus sering kembali ke buku. Pernah dalam film Milea, misalnya, ada satu narasi Dilan ngomong, "Aku ingin menangis dalam pelukanmu." Saya terkejut (karena bukan dari saya). Waktu ngedit saya enggak ngeh bagian itu. Bagian itu lolos dari kontrol saya, tapi akhirnya sudahlah.

Anda sempat mengatakan film Anda mengalami banyak proses editing. Anda kecewa dengan hasilnya?

Tidak kecewa, tapi tidak ideal seperti yang saya dan Fajar inginkan. Karena keterbatasan durasi, walau saya percaya kalau Dilan tayang tiga jam itu bakal ditonton. Tapi itu juga akan mengubah sistem bioskop. Kekuatan Dilan itu kan ada di dialog, kalau di Helen dan Sukanta tidak begitu.

Helen dan Sukanta juga percintaan, apa bedanya dengan Dilan-Milea?

Cinta itu kan hanya stimulus untuk memunculkan pandangan-pandangan saya melalui tokoh-tokoh atau pandangan si pencerita yang saya ungkap melalui konteks percintaan. Percintaan itu hanya kendaraan saya. Percintaan itu (dalam Helen dan Sukanta) gerbang untuk melihat persoalan rasisme dan kolonialisme, sehingga ada benturan pandangan di antara dua orang.
Cinta bagian dari kehidupan. Sebetulnya pada Dilan dan Milea juga seperti itu. Gara-gara percintaan jadi ada benturan pemahaman dan pemikiran setiap tokoh.

Bagaimana Anda menuliskannya?

Saya enggak punya cara khusus menulis novel. Saya mah enggak tahu harus bagaimana kaidah menulis novel. Saya menulis sesuai dengan kemampuan saya. Saya tidak menulis kemudian melakukan wawancara, atau saya wawancara lalu ditulis kisahnya. Awalnya dari ngobrol, tidak ada rencana untuk menulis. Waktu saya bilang ke Helen bagaimana kalau saya tulis, itu hanya iseng, belum sungguh-sungguh. Saya juga basa-basi ke Helen supaya mau cerita.

Kapan pertemuan dengan Helen?

Novel Helen dan Sukanta itu berawal dari pertemuan dengan Helen di restoran di Frankestraat, Haarlem, Belanda, 7 Juni 2000. Lalu saya menyambangi rumah Helen di Amsterdam dan mulai menggali cerita selama dia tinggal di Ranca Suni, Ciwidey. Dia cerita juga enggak lama, cuma sehari penuh. Dia cuma kasih clue, setelah itu saya cari data sendiri, lalu disulam.
(Helen Maria Eleonora merupakan nama samaran. Dia mengenang tanah kelahirannya di Ciwidey pada 1924 hingga cintanya tumbuh kepada Sukanta alias Ukan lalu harus kembali ke Belanda setelah kemerdekaan Indonesia).

Anda melakukan riset lapangan untuk Helen dan Sukanta…

Saya pernah ke beberapa lokasi karena tertarik oleh cerita Helen. Awalnya tidak ada niat bikin buku, waktu itu hanya ingin tahu lokasinya seperti apa. Bagaimana sih situasi dulu. Saya juga tanya-tanya ke warga, pernah ada enggak perempuan Belanda di sini. Kata warga ada, tapi enggak sezaman dengan Helen.

Anda juga melacak tokoh Sukanta?

Saya tanyakan ke warga apakah mereka orang asli atau enggak. Kata mereka ada yang datang dari Jawa, Cirebon, Sumedang, nah, berarti Helen benar. Karena saya berpikir aneh juga ngapain mereka ke Ciwidey, ternyata mereka memang bekerja sebagai kuli pada masa itu.

Anda sempat bertemu dengan Helen kembali selama pembuatan novel ini?

Enggak sempat karena Helen keburu meninggal pada 12 Juni 2012.

Butuh waktu lama untuk Anda menyelesaikan Helen dan Sukanta…

Saya menyelesaikan buku ini 2019. Itu lama karena sempat vakum gara-gara menggarap Dilan, lalu menggarap Drunken Monster. Ada stimulus lain yang menyebabkan saya mau meneruskan buku Helen. Lihat Gedung Merdeka, mungkin Helen pernah ke sini atau cerita Dilan tahun 1990 Bandung kok keren ya, itu mendorong saya untuk terus menulis. Itu pun saya cicil, misalnya, bab yang sudah jelas datanya, tetap saya tulis duluan meskipun itu untuk bagian akhir.

Apakah cerita sebenarnya bisa lebih panjang dari yang ditulis?

Saya edit yang penting-penting saja meskipun bisa lebih detail. Kalau cerita aslinya, mungkin bisa jadi dua buku. Saya juga enggak bisa bilang ini fiksi karena memang ada clue dari Helen secara langsung. Misalnya dulu, dia suka menghadiri orang Belanda yang membangun gedung dengan mempersembahkan kepala kerbau. Saya cari informasi soal itu kemudian saya rangkai dengan cerita yang saya dapat.

Mengapa Anda tidak membuatnya seperti trilogi dalam cerita Dilan-Milea?

Enggak, karena cerita Helen dan Sukanta ini panjang dan akan kagok kalau jadi dua buku. Lagian, satu buku saja ceritanya bisa selesai. Enggak bisa saya bikin Suara Ukan. Tapi kalau ditemukan mah mungkin bisa, ha-ha-ha. Kalau ketemu keturunannya juga bisa saja ditulis. Saya masih menunggu respons dari pembaca. Lagian saya bukan penulis profesional, tapi amatir, menulis karena senang saja.

Anda tergolong penulis produktif, bagaimana mengatur ritme penulisan?

Itu karena ada dorongan dalam diri saya saja. Sehingga, pada suatu waktu, saya bahkan bisa menulis sampai pagi. Dorongan seperti itu bisa membuat saya lupa diri. Seperti kita enggak bisa menghentikan gunung meletus. Tetapi memang paling berat menulis buku Helen dan Sukanta, karena harus riset data. Saya beruntung mendapatkan beberapa bantuan dari teman dari Belanda. Kalau dibandingkan, menulis cerita Dilan mah lebih ringan.

Setelah Dilan-Milea, lalu Helen dan Sukanta yang juga akan difilmkan, apa selanjutnya?

Saya baru saja ketemu orang, dia cerita cross boy atau anak-anak nakal Bandung 1970-1990-an. Saya tertarik, karena hari ini bisa jadi adalah dampak keadaan pada masa lalu. Saya ingin mengolahnya agar anak muda sekarang tahu.

Apa tidak takut dianggap mereproduksi kesuksesan cerita Dilan dengan geng motornya?

Saya sebenarnya terganggu oleh batasan-batasan itu. Padahal ingin jujur memotret keadaan yang sebenarnya. Saya mewaspadai dampak ketika menulis hal-hal yang kira-kira vulgar atau kasar. Ceritanya sekarang lagi ditulis.

Anda juga melakukan wawancara sebelum menuliskan cerita itu?

Saya mah tidak memposisikan diri menulis yang konyol-konyol. Kalau mau serius, ya nulis yang serius. Saya tidak bisa membuat brand image ke masyarakat bahwa musik The Panas Dalam juga konyol, saya nulis lagu serius juga. Sesukanya saja. Kayak makan kadang di emperan atau restoran sesuai yang nraktir aja. Itu justru tidak membatasi saya harus jadi seperti apa.

Apakah kesuksesan Dilan-Milea mengganggu proses kreatif Anda dalam menulis?

Sebenarnya tidak terganggu, cuma saya selalu bertanya-tanya apakah hanya Dilan yang harus diomongkan di dunia ini. Menurut saya, agak berlebihan ketika Dilan booming terus saya juga ikut ngomongin Dilan. Jadi giung (kemanisan dalam bahasa Sunda), buat saya itu malah norak. Intinya, saya tidak suka ngomongin diri sendiri. Saya lebih suka ngomongin hal lain. Makanya kalau saya diundang sebagai pembicara, saya malas karena kesannya menggurui.

Di samping menulis, tampaknya Anda mulai menikmati pekerjaan sebagai petani…

Itu enggak dikonsep juga. Sejak pindah ke Lembang tiga tahun lalu, saya melihat tanahnya subur, lalu saya manfaatkan. Ada juga kebun di Cileunyi, saya tanam tanaman buah. Saya mau pohon tumbuh bersama saya dalam keadaan apa pun. Hasil panennya nanti dibagi-bagi.
Sebetulnya juga itu biar saya enggak disebut sebagai penulis. Saya merasa jadi penulis itu mewah buat saya. Apalagi menjadi sutradara, kesannya pekerjaan itu enggak cocok buat saya. Saya kan imam besar, kok malah jadi sutradara, turun level dong, ha-ha-ha...

Pidi Baiq

Tempat dan tanggal lahir:

Bandung, 8 Agustus 1972

Istri: Rosi Pidi Baiq

Pendidikan: FSRD ITB Angkatan 1991

Anak:
- Timur Laut
- Bebe Pidi Baiq

Karya-karya:
- Drunken Monster
- Drunken Molen
- Drunken Mama
- Komik Silinder I dan II
- Kitab Al-Asbun Manfaatulngawur
- Asbunayah
- At-Twitter: Google Menjawab Semuanya
- Pidi Baiq Menjawab Semaunya
- Koboy Kampus
- Trilogi novel Dilan

- Novel Helen dan Sukanta

Film:
- Trilogi Dilan
- Koboy Kampus
- Baracas

Idola:
- Bob Dylan
- Rabindranath Tagore
- Salman Rushdie
- Hasan Tiro

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus