Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Efek Rumah Kaca mengadakan Konser Rimpang tanpa mengandalkan sponsor.
Stigma musik hanya hiburan membuat musikus dianggap tidak punya kemampuan nalar dan kritis.
Lagu-lagu ERK juga banyak berangkat dari peristiwa besar.
Suasana di ruang pertunjukan menjadi hening saat suara latar dari panggung di Tennis Indoor Gelora Bung Karno menyampaikan informasi bahwa Konser Rimpang akan segera dimulai. Tepat pukul 19.30, keheningan pecah saat Cholil Mahmud muncul di tengah panggung dengan pakaian serba-putih dan memainkan solo gitar elektriknya sebagai pembuka lagu Bergeming, salah satu lagu dalam album Rimpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat di belakangnya terbentang tirai dari ratusan benang memanjang hingga ke langit-langit yang mengerucut ke tengah. Instalasi seni tersebut menghadirkan efek visual hologram saat cahaya warna-warni ditembakkan ke tengahnya. Cahaya dan gambar warna-warni yang bergerak tampak kontras dengan semua personel dan penyanyi latar yang menggunakan baju serba-putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konser perayaan album Rimpang karya Efek Rumah Kaca (ERK) membetot mata dan telinga penonton. Rimpang merupakan album keempat Cholil dan kawan-kawan. Album mereka sebelumnya Efek Rumah Kaca (2005), Kamar Gelap (2008), dan Sinestesia (2015). Sepuluh lagu dalam album Rimpang dimainkan dengan apik secara bergantian oleh band indi beraliran pop alternatif ini. Beberapa musikus juga hadir berkolaborasi menyanyikan lagu ERK bergantian.
Lagu kedua, Bersemi Sekebun, diisi dengan pembacaan puisi oleh Ucok, pentolan band Homicide, grup hiphop asal Bandung. “Ini impian kami bisa berkolaborasi dengan Morge Vanguard,” kata Cholil dari atas panggung yang disambut riuh penonton. Morge Vanguard merupakan nama panggung Ucok Homicide. Suguhan musik lagu ketiga ditutup oleh Ucok yang dengan lantang menyuarakan orasi dukungan terhadap perjuangan petani Pakel di Jawa Timur; warga Wawoni, Sulawesi Tenggara, yang melawan tambang; korban Kanjuruhan; dan beberapa perjuangan yang melibatkan gerakan masyarakat lainnya.
Penonton tampak puas dengan ikut bernyanyi dan bersorak tiap Cholil dan para kolaborator menyapa di lagu-lagu berikutnya. Konser dibagi dalam dua sesi. Pertama, khusus untuk lagu-lagu dalam album Rimpang. Sesi berikutnya, penonton dimanjakan dengan lagu nostalgia, seperti Putih dari album Sinestesia, Balerina dari album Kamar Gelap, hingga Cinta Melulu dari album pertama yang dibawakan dengan gaya paduan suara oleh band The Adams.
Tata panggung konser itu begitu memukau. Pujian itu datang dari Asfinawati, aktivis HAM yang juga mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). “Konser ini luar biasa. Musiknya juga membawa pesan-pesan reformasi dan kemanusiaan yang disajikan indah,” ujarnya saat ditemui selepas konser, Kamis, 27 Juli lalu.
Asfinawati, yang juga ikut dalam barisan penonton, mengaku terpukau oleh visual dan aksi panggung yang ditampilkan, seperti foto Munir, aksi teatrikal, dan pembacaan puisi. “Dengan menonton konsernya, kita bisa tahu masalah HAM enggak hanya orang hilang. Ada macem-macem, dan kasus itu enggak ada yang selesai.” Asfinawati menyebut ERK sebagai fenomena langka dalam dunia musik. “Mereka membuktikan, mengangkat isu kemanusiaan dan kritik sosial bukan berarti tidak bisa terkenal,” kata dia.
Di akhir konser, Cholil mengucapkan terima kasih kepada penonton yang hadir. “Konser ini dibiayai oleh kalian semua,” kata Cholil dari atas panggung. Efek Rumah Kaca berhasil menjual lebih dari 3.000 tiket tanpa mengandalkan sponsor. Ia memang tidak bekerja sama dengan sponsor untuk konser ini.
Berbeda dengan konser untuk album sebelumnya, Konser Rimpang tak hanya menggunakan tata cahaya, tapi juga instalasi seni yang terbuat dari banyak tali vertikal lurus yang dirangkai membentuk tirai, menghadirkan efek hologram. Ditambah tembakan visual bergerak dan warna-warni. Menurut Cholil, hal itu dibuat sesuai dengan konsep album mereka, Rimpang.
Saat sesi latihan terakhir menuju konser, Ilona Esterina Piri dari Tempo berkesempatan mewawancarai Cholil di Gudskul Ekosistem, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 18 Juli lalu. Ia bercerita tentang Konser Rimpang, lagu-lagu perlawanan ERK, serta bagaimana pentingnya membangun pemikiran kritis.
Cholil Mahmud dalam sesi latihan menuju Konser Rimpang, Gudskul, Jagakarsa, 18 Juli 2023. Tempo/ Ilona Esterina
Apa yang ditawarkan dalam konser kali ini?
Kami melanjutkan visual art yang ada di album. Kan, yang buat Cempaka Surakusuma, kebetulan backing vocal (album Rimpang) dan desainer juga. Jadi, ada visual tata cahaya dan instalasinya. Rimpang bagi kami adalah sebuah perlawanan yang munculnya multifase, tidak hierarkis, tidak linier, menjalar di bawah tanah, seperti jahe dan tumbuh-tumbuhan rimpang, dan menjalar sehingga konstruksi visualnya seperti rimpang.
Mas Rubi (Rubi Roesli) menerjemahkan lagi bagaimana penyebaran visualnya. Dan yang sudah ada di cover album akan jadi gerak atau motion yang bisa bergerak menyelimuti lagu-lagu di album Rimpang untuk membuat efek visual dan aural. Jadi, ada kombinasi musik dan visual.
Mengapa menggunakan penata lighting dan khusus?
Ya, kami mau musik ERK yang dimainin itu ada rasa-rasa sinematis gitu. Sepertinya kalau ditambahin pengalaman menonton yang ada visual lighting mungkin memberikan tenaga lain, selain sonik-sonik yang sudah kita bangun. Biar pengalamannya lebih lengkap, jadi kami pake visual dan ada instalasinya. Kalau yang sekarang, kami memang pengen melakukannya lagi setelah (konser) Sinestesia, yang sebelumnya juga mati-matian kami kerjakan. Kali ini bentuk penghargaan terhadap album Rimpang juga. Karena kami pengen menyodorkan konsep berbeda. Jadi, kami pakai orang yang sejalan untuk menerjemahkan konser ini. Ketemunya Mas Rubi Roesli dan Arafura yang membantu menerjemahkan album Rimpang dalam tata cahaya. Kami ajak Mas Rubi. Kami tahu karya dia, ngobrol, dan cocok. Dia bisa membuat pengalaman visual, sonik, aural menjadi tontonan yang jadi satu capaian lagi bagi ERK.
Mengapa lagu dalam album Rimpang agak berbeda dengan album-album sebelumnya yang liriknya lebih lugas dengan kalimat dan nada mudah diingat?
Kami coba menghadirkan sesuatu yang baru. Sebab, kami sudah coba dengan pendekatan ini, pendekatan itu. Kami juga ingin mengasah kemampuan menulis lirik dengan pendekatan yang lain. Di Rimpang, saya coba lebih memperdalam sehingga lirik itu punya tenaga walaupun sedikit kata-katanya.
Selain itu, pengen menghadirkan lagu dengan berbagai makna. Kami coba terapkan itu di Rimpang. Memang enggak lebih repetitif dan tidak lebih lugas dari sebelumnya, tapi maknanya tetap sama. Bahkan ini mungkin lebih marah, tapi lebih terpendam. Memang terasa waktu buat lagu enggak pengen mengatakan terlalu lugas, seperti Mosi Tidak Percaya atau Jangan Bakar Buku. Ini lebih multi-interpretatif, sih.
Konser kali ini tanpa sponsor?
Ya, enggak ada. Kami dibiayai penonton.
Konser tanpa sponsor dan dalam beberapa kesempatan, Anda pernah mengatakan siapa pun bebas membajak lagu ERK. Dengan cara itu, bagaimana bisa hidup dan bertahan sebagai musikus?
Jangan punya biaya hidup tinggi. Jadi orang sederhana saja. Saya enggak punya mobil, rumah, atau apa-apa, ya, enggak apa-apa. Yang penting bisa tetap berpikir, anak bisa sekolah, makan bisa. Melimitasi gaya hidup itu jalan pertama untuk mengerem keinginan-keinginan yang enggak terlalu perlu dalam hidup ini. Jadi, kita fokusnya bermusik, ya sudah.
Kami mungkin belanja juga alat musik untuk menunjang performa. Tapi, di luar itu, ya enggak terlalu gimana-gimana sama kebendaan atau finansial. Kami butuh duit, tapi bukan jadi yang utama dalam berkarya dan bersosialisasi. Gaya hidupnya sederhana saja, jadi enggak akan terlalu menuntut.
Jadi, tidak mengejar keuntungan finansial?
Kami enggak demand harus punya uang banyak. Oke, uang perlu, tapi enggak terlalu hidup mewah. Walaupun ada bayaran tertentu yang kami minta kalau kami tampil komersial, buat kami sendiri, enggak terlalu jadi faktor utama.
Bagaimana tanggapannya soal fenomena konser dan kerelaan orang mengeluarkan uang banyak untuk membeli tiket?
Memang kalau kita lihat bagaimana masyarakat itu sangat senang nonton konser, dugaan gue karena mereka suka menikmati musik secara komunal, bareng-bareng. Kedua, budaya karaoke mulai banyak. Di beberapa platform musik dan konser, ada lirik sehingga mereka bisa bernyanyi. Jadi, ketika ke konser, mereka enggak rugi. Mereka rela ngeluarin uang untuk melampiaskan kemumetan hidup mereka. Itu kan membantu mereka bersosialisasi, hangout juga. Masyarakat jadi menggilai konser. Ada hasil riset orang ke konser lebih happy. Harga tiket mahal mungkin karena biaya produksi musik tinggi.
Apakah benar karena gaya hidup atau sekadar FOMO (fear of missing out)?
Tidak tahu juga. Memang konser kembali rame dan lagi tren. Bisa cepat hilang juga kalau hanya mengikuti tren. Dan itu enggak baik buat bisnis musiknya juga karena prediksi produser dan musikus penggemarnya banyak, eh ternyata sebagian bukan penggemar, melainkan hanya FOMO.
Album terbaru band Efek Rumah Kaca 'Rimpang' di Kios Ojo Keos, Cilandak, Jakarta, 15 Mei 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Dari pemilihan diksi lirik dalam lagu-lagu, ERK sering disebut band intelektual, juga politis. Bagaimana tanggapan Anda?
Menurut saya, seni tidak bisa dipisahkan dengan politik. Ada stigma yang disematkan Orde Baru pada seni, khususnya musik, bahwa seni itu sekadar hiburan, bukan pancaran dari keresahan senimannya. Kalau pancaran keresahan, sebetulnya dia meluapkan apa yang menjadi keresahan dia, bukan sekadar mencari sesuatu hal yang orang akan terhibur. Mungkin kita bisa belajar dari keresahan itu.
Stigma itu jadi membuat kita dianggap enggak punya kemampuan nalar dan kritis yang baik dan punya keberanian melawan otoritas tertentu. Itu membuat hegemoninya jadi lemah. Itu terus terjadi sampai sekarang. Kami sering baca ada yang bilang, musik enggak usahlah menyinggung politik. Padahal kita enggak bisa memisahkan politik dari hal-hal yang berhubungan dengan kita. Menurut saya, keputusan untuk tidak membuat lagu politik saja juga merupakan keputusan politik. Jadi, itu sebuah hal yang sia-sia memisahkan musik dengan politik.
Belasan tahun ERK berkarya, bagaimana merawat konsistensi lagu-lagu bertema perlawanan sampai sekarang?
Harus genuine, jujur aja dari hati. Kalau enggak punya perasaan melawan, ya enggak usah dipaksakan. Nanti ketahuan rasanya itu kayak buatan atau marketing saja. Karena kalau lagu perlawanan laku, pasti orang-orang beramai-ramai akan buat. Pendengar juga bisa merasakan kejujuran.
Kami memang jiwanya ke sana dan semoga bisa terus tulus ngerjainnya. Kami selalu berusaha mengasah kepekaan kami untuk berpihak kepada hal yang terjadi penindasan di sekitar. Kami mengasah kepekaan itu. Jauh dari ideal buat kami karena memupuk konsistensi terus berpihak kepada yang lemah memang susah, ya. Kami belum tentu bisa, tapi kami terus berusaha.
Selain melihat keadaan sosial, inspirasi membuat lagu dari mana?
Bacaan juga. Enggak mungkin kita bisa nulis bagus kalau kita enggak membaca bacaan bagus. Lirik juga dari buku dan koran, yang membuat punya ketertarikan menerkam kejadian-kejadian di sekitar. Kalau diperhatikan, lagu-lagu ERK juga banyak berangkat dari peristiwa yang besar-besar, yang terjadi di waktu tertentu. Jadi, kami seperti mendokumentasikan peristiwa. Kalau orang lewat berita, kami coba lewat lagu. Walaupun ada juga yang berangkat dari pengalaman pribadi. Dari karya orang juga kami belajar. Kami terinspirasi dan olah lagi jadi identitas kami.
Influence musik Anda siapa?
Awal-awal, saya besar di musik progressive rock Indonesia 1970-an. Jadi, saya suka Yockie (Yockie Suryo Prayogo), Chrisye, Fariz R.M., Iwan Fals, yang menemani saya (dari) kecil dan membekas.
Kenapa ERK enggak bikin lagu cinta-cintaan?
Karena hidup kami enggak semua cinta. Karya kami merefleksikan hidup kami semua. Yang kami lihat lebih ke peristiwa keluarga kami yang radikal. Buat apa lagi kami menuhin lagu-lagu yang sudah banyakan cinta? Alternatif itu saya kira juga perlu. Kini alternatif makin sedikit. Enggak semua situasi isinya cinta. Walaupun hidup saya ada cinta dengan keluarga, anak, istri, enggak melulu itu. Kalau di luar sana orang membuat lagu cinta banyak, enggak perlu ditambah lagi. Lebih variatif-lah.
Bagaimana tanggapannya soal band besar yang dulu juga menciptakan lagu-lagu perlawanan sekarang membuat lagu penuh pujian?
Saya sendiri tidak sepakat dengan pilihan itu. Memang semua orang punya hak melakukan apa pun. Tapi, menurut saya, kita perlu mengambil sikap. Tinggal kita saja yang tidak perlu memberikan panggung untuk mereka yang tidak sesuai dengan hati kecil kita.
Kalau enggak sesuai dengan kita, kita tidak perlu memberi respek, tidak perlu membeli tiket, merchandise kalau dia manggung, karena enggak sesuai dengan kita. Kalau sejalan, ya, silakan. Orang berubah pikiran itu juga biasa. Saya juga melakukan perubahan pemikiran, berusaha merevisi kalau ada yang salah.
Kebetulan saja jalur perubahan yang band tersebut tempuh, gue enggak setuju. Gue mengambil jalan lain. Gue memberikan sikap juga dengan “gue enggak mau nonton lu lagi, enggak mau denger lu.”
Jadi, perlu diberikan konsekuensi tertentu?
Kalau banyak orang melakukan aksi, misalnya, melakukan reaksi dari pilihan tersebut atau dari karyanya dia, nanti dia pasti akan mempertimbangkan, “Wah gue bunuh diri bikin lagu ini. Ah, balik lagi nanti pro-rakyat lagi.” Tapi tetap nanti rakyat juga yang menentukan, beneran pro-rakyat atau rakyat cuma dagangan. Trust itu jadi pertaruhan.
ERK punya banyak penggemar. Pernah mendapat tawaran bergabung dengan parpol?
Enggak pernah, sih.
Ke depan?
Saya pribadi, meski sadar politik punya peranan, ya, kami enggak bisa berharap. Tapi saya enggak anti kalau ada teman dari musikus atau seniman yang bergabung. Menurut saya, jika sistem yang rusak dan karatan atau busuk dan kita masuk di dalamnya, pilihannya cuma dua: kita bisa membenahi atau ikut membusuk.
Tapi lagu ERK yang berjudul “Merah” menyinggung orang-orang bersih untuk terjun ke politik dan jangan diam atau jadi petapa?
Ya memang, kita juga enggak bisa mengharapkan semua bersih kalau tangan kita enggak mau ikut kotor. Jadinya kebijakannya begitu-begitu saja.
Tapi, saya pribadi, kalau ditanya mau enggak bergabung, saya merasa enggak punya kemampuan di situ. Kedua, saya masih pengen terus di musik. Dan sadar juga enggak akan kuat (di politik). Jangan-jangan, saya yang ikut sistem, membusuk.
Personil band Efek Rumah Kaca Poppie Airil (kiri), Akbar Bagus, Choili Mahmud dan Reza Ryan di Kios Ojo Keos, Cilandak, Jakarta, 15 Mei 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Anda bergabung di Kontras sebagai anggota. Bagaimana pandangan Anda soal kasus Fatia dan Haris?
Kalau saya pribadi, pejabat publik harus siap dikritik. Memang Fatia dan Haris ngomong suatu hal yang debatable. Tapi Fatia dan Haris mengkritik kan dalam konteks Luhut sebagai pejabat publik dan bukan hanya satu yang dikritik. Jadi, kasus ini kayak ngincer aja menurut saya, atau orang yang menurut mereka salah dalam versi mereka, jadi sengaja dikejar aja.
Persidangan, kalau kita perhatiin juga, ini kok berat sebelah. Terasa-lah, enggak bisa bohong. Jadi, masyarakat pasti bisa menilai sendiri bagaimana persidangan itu direkayasa. Hakimnya juga meladeni pertanyaan yang menjurus untuk membongkar satu hal yang ditutupi juga kelihatan. Itu akan menimbulkan kemarahan terpendam. Dalam satu titik nanti bisa muntah kemarahan itu.
ERK pernah ikut dalam beberapa gerakan solidaritas, salah satunya untuk KPK. Bagaimana tanggapan soal gerakan-gerakan solidaritas sekarang?
Yang saya tangkap sekarang, gerakan perlawanan banyak juga bentuknya, seperti mural. Dan sekarang yang vokal juga komika-komika dalam stand-up (comedy) mereka membakar kesadaran masyarakat untuk kritis.
Masyarakat sendiri juga mengasah kritisismenya dengan cara sarkas. Di medsos besar gerakannya, seperti ada narasi-narasi, “Wah, gue dukung lo. Bismillah komisaris.” Itu kan bentuk cemooh atau olok-olok praktik penjilatan yang sudah di luar nalar dan terjadi. Bentuk kemuakan itu juga kritik yang menjalar.
Saya pribadi, merekam kejadian ini. Kita ditipu oleh orang-orang yang bilang kita demokratis, tapi enggak. Di Rimpang kami juga coba tangkap dalam lagu, bahwa kita sering kalah. Itu hal yang biasa, tapi kita masih punya secercah harapan bahwa gerakan perlawanan masih ada walaupun bentuknya biasa aja.
Jadi, bagaimana Anda melihat soal situasi demokrasi Indonesia sekarang?
Menurut saya, sekarang demokrasi makin menyusut. Kelihatannya aja bagus. Kalau kita lihat di Amerika, misalnya. Dalam pertarungan calon presiden Donald Trump sama Joe Biden, lalu ending-nya Trump jadi menteri pertahanan, itu enggak ada. Tetap aja oposan dan itu kuat, supaya balancing. Di sini kan enggak. Kita di bawah sudah hancur berantakan, sudah gila-gilaan konfliknya. Tapi di atasnya gitu. Itu kan menunjukkan demokrasi kita tambah buruk.
Jadi, kita perlu kritis terus?
Kritik membuat kita stabil. Di Amerika, saya tinggal delapan tahun di sana. Mereka masih memperjuangkan demokrasi harian. Mereka melakukan rally, keluar tenaga agar kebebasan yang mereka dapatkan terus terjaga. Kita enggak bisa menganggap semua sudah baik-baik saja. Harus diperjuangkan terus-menerus.
Anak Anda tadi diajak tampil main terompet. Kenapa? Apakah diarahkan menjadi musikus?
Mungkin dia punya bakat, kami cuma menyalurkan. Kadang, dia lebih tahu dari saya soal musik. Tapi, kalau arahnya tidak tepat, ya, saya debat. Saya berdebat dalam artian saya kasih tahu pandangan lain, jadi ada diskursus. Kalau soal maunya dia apa, saya jadi fasilitator saja. Dia mau gitar, saya kasih gitar. Mau terompet, saya kasih terompet.
Apakah anak juga diajarkan untuk kritis?
Lewat diskursus, berdebat pandangan. Dia bisa punya hak untuk berargumentasi, tapi juga harus bisa mandiri. Dalam artian, kalau masih perlu orang tua, ya, harus bisa bargain kepentingan. Itu kan juga terjadi di rumah. Kalau nanti sudah bisa melakukan semua sendiri, ya, silakan saja.
Bagaimana contoh adu argumentasi yang terjadi dengan anak?
Misalnya, waktu di Amerika, kita pergi makan ke toko burger. Di dalam toko itu, dia melihat stiker. Tulisannya, “Go protest your parents because your parents banyak ngatur. Segera pergi dari rumah daripada diatur-atur. Kita harus mulai nyuci sendiri, kerja untuk bisa bayar apa.” Saat itu dia kan masih kecil. Ketika dia sampaikan ke saya, saya bilang boleh-boleh aja. Tapi kamu laundry sendiri, masak sendiri, bersihkan kamar, sudah siap? Belum, kan? Jadi, kita negosiasi lagi apa yang boleh dia lakukan, ada yang enggak boleh. Ada tawar-menawar juga saat dia diwajibkan belajar membaca, enggak boleh game terus. Semuanya kami diskusikan. Itu bagian dari negosiasi dan membangun kultur di rumah.
Bagaimana tanggapan anak soal ayah dan keluarga?
Menurut anak saya, keluarga kami aneh. Bapaknya di rumah, ibunya pergi ngajar. Anaknya sekolah ditemenin bapaknya. Itu kan enggak biasa menurut dia. Tapi memang kami punya satu preferensi, yang mau kami tuju apa sih memang. Kalau sudah punya keinginan bareng, diwujudkan saja.
Terakhir, apa yang Anda inginkan dari konser kali ini?
Ini kesempatan kami bertemu dengan kolaborator yang baru. Bagi ERK, dari situ kami belajar mencari cara baru bagaimana menampilkan musik ERK. Semoga kami terus punya gairah untuk terus mencoba hal-hal baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo