Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Suku Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Utara memasang alat pemantau udara di sekitar Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cilincing, Jakarta Utara, pada Kamis, 25 Juli 2019. Alat itu dipasang setelah adanya protes dari masyarakat mengenai polusi debu batu bara dari aktivitas bongkar muat perusahaan PT Karya Citra Nusantara (KCN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Alat pemantau udara ambien untuk mengetahui tingkat ambang batas baku mutu yang ditetapkan untuk pencemaran udara," ujar Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan dan Kebersihan (Kasi Wasdal) Sudin Lingkungan Hidup Jakarta Utara Suparman saat dihubungi Tempo, Jumat, 26 Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan adanya alat itu, Suparman mengatakan pihaknya dapat memantau pencemaran udara di sekitar Cilincing dan Marunda. Saat ini, Sudin LH Jakarta Utara menemukan fakta bahwa udara di pesisir Jakarta itu sudah tercemar debu batubara.
"Untuk hasil tidak bisa langsung, kurang lebih 10 sampai 15 hari sejak alat dipasang," ujar Suparman.
Sejumlah masyarakat di Cilincing dan Marunda sebelumnya mengeluhkan polusi debu batu bara yang terjadi di kawasan tempat tinggalnya. Polutan batu bara itu membuat masyarakat mengalami sesak napas hingga batuk-batuk.
Sugiyanto, warga Marunda Pulo menunjukkan sisa debu batubara di kusen rumahnya, Selasa 23 Juli 2019. Tempo/M Julnis Firmansyah
Suwito Cahyadi, warga Cilincing menjelaskan polutan debu batubara membuat anaknya yang masih berusia lima tahun mengalami sesak napas. Selain itu, dia menemukan debu batu bara mengotori lantai rumahnya hampir setiap pagi. "Saya sudah protes ke perusahaan dan pemerintah, tapi polusi debu masih ada," ujarnya.
Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan Agus Dwi Susanto menjelaskan debu batu bara dapat menyebabkan pneumokoniosis batu bara atau black lung (paru-paru hitam). Penyakit ini timbul sebagai akibat debu batu bara yang terhirup dan menumpuk di paru sehingga menimbulkan kekakuan pada jaringan paru dan membuat fungsi organ paru menurun.
"Kasus ini (black lung) umumnya muncul pada pekerja batubara, nama lainnya coal workers pneumokoniosis," ujar Agus.
Meskipun umumnya ditemukan pada pekerja tambang, Agus mengatakan masyarakat yang tinggal dekat dengan area yang terkontaminasi debu batu bara memiliki risiko yang sama. Umumnya, seseorang baru menyadari terkena black lung setelah 10 tahun terpapar debu batu bara, yang ditandai dengan sesak napas dan terkadang batuk dengan dahak bewarna hitam.
Selain black lung, dari hasil penelitiannya Agus mengatakan polusi debu batu bara dapat memicu penyakit pernapasan lainnya, antara lain infeksi saluran pernapasan, bronkitis kronis, hingga penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK. "Partikel-partikel debu batu bara itu yang bikin penyakit," ujarnya.