KENDATI mitos kehebatan ekonomi Jepang belakangan ini mulai dipertanyakan, negeri para samurai itu tampak tetap berperan sebagai pemberi pinjaman terbesar di dunia. ODA (Official Development Assistance) alias utang bersyarat lunak yang disediakan Jepang untuk tahun fiskal 1990-1991, menurut RAPBN yang sedang dibahas parlemen mereka, mencapai sekitar US$ 10,7 milyar, terbesar yang pernah diberikan sebuah negara, selama tiga tahun terakhir. Di Jepang ada empat instansi pemerintah yang mengurusi ODA: Gaimusho (Deplu), Departemen Keuangan, MITI (Departemen Perdagangan Internasional dan Industri), dan Badan Perencanaan Ekonomi. Di antara keempat instansi itu, Gaimusho -- khususnya biro kerja sama luar negeri -- merupakan "kunci" dalam hal pembagian ODA Jepang. Kamis pekan silam, Seiichi Okawa, Kepala Biro TEMPO di Tokyo, menemui Shoshichi Kowata, 57 tahun, Dirjen Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo, untuk sebuah wawancara khusus. Kowata -- bekas Dubes Jepang di Syria -- akan mendampingi PM Toshiki Kaifu dalam kunjungan ke India, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, dan Indonesia. Pernah beberapa kali ke Indonesia Kowata bicara lama dengan Prof.Dr. Widjojo Nitisastro, yang pertengahan April lalu berkunjung ke Tokyo sebagai utusan khusus Pemerintah RI. Mereka berunding soal pinjaman Indonesia untuk tahun anggaran 1991-1992, di bawah ini petikan wawancara TEMPO dengan Soshichi Kowata: Kini Jepang merupakan pemberi pinjaman terbesar di dunia. Apa saja prinsip dasar untuk pembagian ODA itu? Kami sedang berusaha memperluas dan mengembangkan ODA, baik kualitas maupun kuantitasnya. Karena sumber ODA adalah pajak rakyat Jepang, maka cukup keras juga suara rakyat menuntut kejelasan tentang itu. Dalam hal pinjaman lunak ini, Jepang tetap berpegang pada dua pedoman: demi kemanusiaan dan prinsip saling ketergantungan. Maksudnya, karena Jepang juga dahulu adalah negara berkembang, berdasarkan pengalaman itu, dari sudut poros masalah Utara-Selatan, Jepang perlu membantu negara-negara berkembang. Itu semacam kewajiban bagi Jepang, baik karena alasan historis maupun karena tanggug jawab secara internasional. Kini, di Asia Tenggara maupun Selatan, ada kekhawatiran pinjaman untuk mereka akan dikurangi, mengingat Jepang mengalihkan sebagian pinjamannya ke Eropa Timur (Polandia & Hungaria beroleh pinjaman US$ 2 milyar). Itu kekhawatiran yang tak beralasan. Pokoknya, skala ODA Jepang setiap tahun semakin meningkat. Misalnya dalam RAPBN tahun fiskal 1990, skala ODA naik 5,*% dibandingkan tahun sebelumnya (menurut rancangan anggaran ODA, dana ODA untuk tahun ini sebesar 1 trilyun 450 milyar yen atau sekitar US$ 10,7 milyar). Maka Jepang sama sekali tak akan mengurangi ODA kepada negara-negara Asia Tenggara kendati pada waktu yang sama memberi bantuan ekonomi kepada Eropa Timur. Bagaimana menurut Anda mengenai keadaan ekonomi Indonesia sekarang? Ketika saya datang ke Jakarta pada Maret 1984, sebagai wakil ketua delegasi yang dipimpin Saburo Okita, saya beroleh kesan bahwa Pemerintah Indonesia telah menempuh kebijaksanaan ekonomi yang berarah baik. Misalnya, orientasi untuk meningkatkan ekspor nonmigas, atau gagasan perbaikan infrastruktur seperti jaringan kereta api Jabotabek, juga rencana peningkatan jaringan kapal feri. Memang, dulu Indonesia terlalu bergantung pada pendapatan migas hingga menderita pukulan berat ketika harga migas anjlok. Tapi dengan mobilisasi berbagai kebijaksanaan, misalnya penghematan dan deregulasi, juga perbaikan lingkungan investasi. Selama 1-2 tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung pulih hingga kami melihat usaha-usaha yang baik itu akan diteruskan oleh Pemerintah Indonesia. Apakah Jepang menggali lebih jauh soal kebijaksanaan itu? Februari lalu, rombongan riset kerja sama ekonomi ke-2 yang dipimpin Ryozo Sunobe melawat ke Jakarta. Maksudnya untuk membahas tema-tema penting Repelita V. Kedua pihak sepakat akan bekerja sama untuk Repelita V, antara lain untuk perlengkapan transportasi, telekomunikasi, energi, dan pembangunan kawasan industri. Kita juga sepakat tentang pembinaan sumber daya manusia dan pendidikan. Juga untuk kerja sama demi penghapusan kemiskinan, penghentian kesenjangan antardaerah, dan pembangunan desa pertanian. Dalam misi Februari lalu, apakah Jepang memperoleb informasi tambahan? Agar Jepang dapat benar-benar mengerti needs (kebutuhan) Indonesia, Jepang juga harus berusaha sebisa-bisanya. Terutama, kami merasa perlu sekali mencari calon-calon proyek kebutuhan rakyat, khususnya dari daerah. Kami perlu menggali ide-ide dari daerah. Untuk itu riset oleh pihak donor pun perlu dilakukan. Dua tahun lalu Jepang membantu Indonesia senilai US$ 2,3 milyar, dan tahun lalu US$ 2 milyar. Bagaimana tahun ini? Konon, permintaan dari Jakarta US$ 1,7 milyar. Benarkah? Prinsipnya kami mau bekerja sama semaksimal mungkin. Maka, kunjungan Prof. Widjojo yang menemui beberapa menteri Jepang mempunyai dampak dan arti yang sangat besar. Widjojo menjelaskan permintaan Indonesia, dilengkapi penjelasan latar belakang ekonomi Indonesia. Sekarang saya belum bisa memberi tahu berapa bantuan untuk Indonesia tahun ini karena memang belum final. Tapi, baik Gaimusho maupun instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan telah mengerti permintaan Indonesia. Dua tahun lalu, juga tahun silam, beban utang Indonesia membengkak gara-gara yendaka. Maka, Prof. Widjojo pun datang ke Tokyo, dan minta bantuan khusus. Bagaimana kesan Anda tentang kunjungan Widjojo kali ini? Pokoknya, pernyataan Widjojo-san dapat meyakinkan kami. Namun, soal berapa bantuan Jepang tahun ini kepada Indonesia, saya tak bisa memberikan konfirmasi. Soal angka itu akan jelas setelah PM Kaifu tiba di Jakarta. Bantuan Program tahun ini akan ditambah? Bagaimana dengan hibah? Itu semua belum bisa dijelaskan, tapi saya yakin bantuan ekonomi Jepang tahun ini akan ditentukan sesuai dengan permintaan Indonesia. Soal grant (hibah), pada 1988, Jepang memberi bantuan gratis 7,1 milyar yen ditambah bantuan teknik 10 milyar yen. Sedang tahun lalu diberikan bantuan gratis 8,1 milyar yen. Tapi soal bantuan teknik, belum ada datanya. Adakah Indonesia menyatakan keinginannya untuk memperoleh lebih banyak bantuan gratis? Di samping adanya keinginan itu, ada juga konsensus di forum pemberi bantuan ekonomi bahwa bantuan ekonomi gratis perlu diarahkan untuk negara-negara terbelakang. Kan Indonesia belakangan ini berhasil mengendalikan perekonomiannya. Pemerintah Jepang tentu berusaha, tapi untuk peningkatan bantuan gratis itu harus dipikirkan dalam kombinasi bantuan ekonomi yang lain. Di samping bantuan ODA Jepang juga memberi pinjaman dan sektor swasta. Hanya kami tak tahu berapa besarnya. Namun, kalau dihitung berdasarkan ODA Pemerintah Jepang, hingga akhir 1989, seluruh saldo pemberian kreditnya tercatat sebesar 979,4 milyar yen dan itu tak termasuk bunga. DSR Indonesia pada 1988 mencapai 39,9%. Apakah ini sehat? Kalau dilihat dari utang jangka menengah dan panjang Indonesia -- kecuali utang milik sektor swasta -- angka DSR itu 34,2%. Indonesia selama ini tak pernah terlambat mencicil utangnya. Maka, kami menilai kredibilitas Indonesia tinggi. Hal ini juga bisa kami rasakan dari pernyataan Prof. Widjojo. Pernyataan itu meyakinkan kami bahwa Indonesia tak berminat untuk meminta penjadwalan kembali ataupun penundaan pembayaran utang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini