INDONESIA kedatangan seorang tamu penting lagi. Dialah: Perdana Menteri Toshiki Kaifu. Kepala pemerintahan Jepang ini bertamu dari 4 sampai 6 Mei. Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, kunjungan Kaifu untuk meningkatkan hubungan kedua negeri, dan sekaligus mengadakan pertukaran pikiran dengan para pemimpin Indonesia mengenai masalah-masalah di Asia Pasifik. Sewaktu berkunjung ke Eropa Timur, Desember 1989, Kaifu melontarkan bantuan pembangunan sebesar US$ 1,95 milyar untuk Polandia dan Hungaria. Adakah ia akan melontarkan pula suatu angka bantuan di Jakarta? Tiga tahun silam, dalam pertemuan dengan kepala-kepala negara ASEAN di Manila, Perdana Menteri Jepang (waktu itu Noboru Takeshita pernah menjanjikan bantuan pembangunan bagi ASEAN sebesar US$ 2 milyar -- tanpa rincian jumlah bagi negara-negara anggotanya. Karena bantuan yang dijanjikan Takeshita untuk ASEAN itu, yang belakangan disebut ASEAN-Japan Development Fund (AJDF), belum terealisasikan seluruhnya, maka selama Kaifu di Jakarta, yang hanya akan bertemu dengan pejabat-pejabat Pemerintah RI, diduga kalau sampai soal bantuan yang dijanjikan tersebut dibicarakan tampaknya pembicaraan akan terfokus pada kebutuhan Indonesia. Tapi menurut Dirjen Biro Kerja Sama Luar Negeri Kemlu Jepang, Shoshichi Kowata, yang ikut dalam rombongan Kaifu, sesungguhnya dana AJDF sudah dikucurkan di Indonesia. "Tahun lalu Jepang sudah memberi pinjaman 19,4 milyar yen (sekitar Rp 230 milyar) kepada Indonesia," katanya. Dari jumlah itu, antara lain 16,95 milyar yen diberikan sebagai kredit untuk perusahaan perkebunan swasta, dan sebagian lagi kredit untuk perusahaan menengah kecil yang disalurkan lewat bank-bank nasional pemerintah dan swasta. Tampaknya yang lebih diharapkan Pemerintah Indonesia bukan dana dari AJDF, melainkan bantuan Jepang yang disalurkan lewat forum IGGI. Selama ini Jepang merupakan pemberi bantuan utama untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Dari sidang IGGI di Negeri Belanda, tahun silam, sekitar 40% daFi bantuan proyek sebesar US$ 4.297,5 juta yang dijanjikan negara-negara donor tersebut ditanggung pihak Jepang (lihat grafik). Jumlah itu belum termasuk komitmen Jepang di luar IGGI, antara lain dari Bank Exim Jepang dan Dana Bantuan Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri Jepang (OECF). "Bantuan ekonomi Jepang untuk Indonesia tahun ini akan ditentukan sesuai dengan permintaan pihak Indonesia," kata Kowata. Pemerintah RI tampaknya telah mengajukan jumlah yang dibutuhkan. Menurut sumber TEMPO di Tokyo, Presiden Soeharto telah mengutus Prof. Widjojo Nitisastro untuk membicarakan soal bantuan tersebut pada pertengahan April lalu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bekas Menko Ekuin itu telah mengadakan serangkaian pembicaraan dengan tokoh-tokoh kunci di Jepang, seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan. "Pernyataan Widjojo-san dapat meyakinkan kami. Kami anggap permohonan Indonesia memang berdasarkan situasi masyarakat Indonesia yang sebenarnya dan itu dipikirkan sampai dalam," kata Kowata tanpa mau menjelaskan apa saja yang dikemukakan Widjojo. Diduga pernyataan Widjojo tak berbeda dengan apa yang dilontarkan dalam sebuah simposium di University of California, Berkeley, akhir Maret lalu. Dalam makalah setebal sebelas halaman itu, Widjojo secara dalam mengungkapkan tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia. Masalah utama Indonesia, katanya, yakni soal laju pertumbuhan penduduk yang pesat dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Malangnya, sementara program keluarga berencana masih mendesak, dukungan internasional justru memburuk. Widjojo menambahkan bahwa pembangunan telah berhasil mengurangi persentase kaum papa, tetapi mereka yang berada dalam golongan miskin mutlak masih sekitar 30 juta orang. Restrukturisasi dalam perpajakan, deregulasi, dan debirokratisasi, menurut dia, masih perlu diperluas dan diperkuat. Penasihat ekonomi pemerintah ini juga tak lupa menyentil negara-negara maju yang mengkritik Indonesia seolah-olah sebagai perusak lingkungan. Menurut Widjojo, justru negara-negara industri maju yang sangat lahap memakai sumber-sumber alam (termasuk minyak dan batu bara) perlu bertanggung jawab mencegah perusakan lingkungan sekaligus mempertahankan pembangunan di negara berkembang. Tapi yang tak kalah menarik dikemukakan Widjojo adalah bagaimana Indonesia mengelola utang di tengah gerakan-gerakan kurs valuta asing yang tak bisa dikendalikan oleh G-7 (7 negara terkemuka) -- terutama Amerika dan Jepang. Pada 1985-1987, jumlah utang luar negeri Indonesia meningkat sekitar 60%. Pada periode yang sama DSR (debt service ratio) -- perbandingan beban cicilan utang dan bunga terhadap jumlah devisa hasil ekspor -- meningkat sekitar 64%. Jumlah utang serta DSR yang naik tajam itu terutama disebabkan oleh perubahan substansial dari kurs valuta dunia, khususnya depresiasi yang padat dan kurs dolar Amerika terhadap yen Jepang. Padahal, jumlah utang Indonesia sebagian besar dihitung dalam yen. "Menurut perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF), lebih dari 80% kenaikan utang Indonesla dan sekitar 2/3 dari kenaikan DSR tadi disebabkan oleh menguatnya nilai dolar terhadap yen," kata Widjojo. Sudah jatuh begitu, Indonesia masih ketimpa pukulan lain, yakni jatuhnya harga minyak dan gas yang merupakan sumber utama (70%) penerimaan devisa negara. Akibatnya, pembangunan Indonesia menerima pukulan ganda: sementara harga minyak jatuh dari US$ 25 per barel jadi kurang dari US$ 10 (pertengahan 1986), kurs dolar terhadap yen anjlok pula dari 238 yen jadi 125 untuk setiap US$ 1. "Kedua negara besar dari Pasifik (Amerika dan Jepang) tentu saja tidak sengaja menyusutkan kurs valuta mereka untuk melukai pembangunan di suatu negara Pasifik," kata Widjojo. Penyusutan kurs itu dilakukan Jepang dan Amerika untuk memperkecil perbedaan neraca pembayaran kedua negara. Tapi, keputusan yang mereka ambil itu jelas mengabaikan neraca pembayaran Indonesia. Belakangan ini kurs dolar terhadap yen telah meningkat kembali: 158 yen untuk US$ 1. Kenaikan kurs itu memberikan sedikit keringanan bagi utang Indonesia. Tapi keringanan itu, kata Widjojo, tidak diakibatkan oleh kebijaksanaan yang sengaja diciptakan Amerika dan Jepang. "Hal itu lebih tepat merupakan akibat tak kelihatan dari ketidaksanggupan mereka untuk menahan gerakan kurs dalam batas-batas yang mereka anggap wajar," kata Widjojo lagi. Buktinya, belakangan ini Amerika dan Jepang mulai berusaha mengembalikan kurs pada tingkat yang wajar. Kini Indonesia, menurut Widjojo, terkenal sebagai negara yang dililit utang besar. Namun, Indonesia tidak meminta negara-negara donor membuat penjadwalan kembali, dan juga tidak mengundang bank-bank komersial meringankan syarat-syarat pinjaman. "Indonesia juga tidak menarik fasilitas IMF. Pinjaman-pinjaman setelan (adjustment loans) dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) juga tidak bersifat mengikat, melainkan didasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang justru sudah diambil Pemerintah Indonesia," kata Widjojo di Berkeley, 28 Maret lalu. Dari pernyataan Widjojo tersirat bahwa forum IGGI, termasuk Ketua IGGI J.P. Pronk maupun para anggota donor, tidak bisa menekan Indonesia. Selama ini ada kesan bahwa IGGI memberikan bantuan kepada Indonesia berdasarkan rekomendasi Bank Dunia. Menurut beberapa pejabat Bappenas, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia, rekomendasi Bank Dunia itu sebenarnya telah disesuaikan dengan data dari Pemerintah Indonesia. Rekomendasi Bank Dunia itu biasanya dimuat dalam laporan tahunan berjudul Indonesia, Country Economic Report. Untuk 1990 buku itu rupanya terlambat terbit -- biasanya, pada bulan April sudah beredar secara terbatas di Jakarta, kali ini sampai Senin malam belum tampak. "Masalahnya pemimpin tim ekonomi dari Bank Dunia baru saja diganti," kata seorang yang sangat mengetahui hal itu. Namun, menurut sumber TEMPO, jumlah bantuan untuk Indonesia yang akan direkomendasikan Bank Dunia di IGGI tak akan jauh berbeda dengan jumlah tahun lalu, yakni sekitar US$ 4,2 milyar. Bank Dunia diperkirakan masih akan mengusulkan pinjaman khusus (special assitance loan) bagi Indonesia. Hanya saja, untuk tahun lalu angka yang diusulkan US$ 1,8 milyar, sedangkan tahun ini diperkirakan turun jadi US$ 1,2 milyar. Pinjaman khusus ini sebenarnya masih diharapkan Pemerintah. Sebab, pinjaman itu berbentuk uang tunai yang bisa dibelanjakan di dalam negeri. Lagi pula, bentuknya dalam valuta asing, sehingga bisa memperkuat cadangan devisa. Apalagi bunga pinjaman itu jauh di bawah suku bunga pinjaman komersial yang biasanya mengikuti LIBOR (suku bunga antarbank komersial di London), bahkan memberikan bunga cuma sekitar 3-6%, lebih rendah dari pinjaman dari Bank Dunia yang kini berbunga sekitar 7% per tahun. Tapi pinjaman khusus itu tentu tak bisa terus-menerus diharapkan. Bank Dunia, dalam Laporan Ekonomi Indonesia Tahun 1989, memperkirakan pinjaman khusus yang dibutuhkan Indonesia untuk tahun 1991-1992 akan menyusut lagi, dan akhirnya jadi nol pada tahun anggaran 1992-1993. Semua itu dengan perkiraan penerimaan rupiah dari pajak sudah akan meningkat, begitu pula penerimaan devisa negara dari ekspor. Sementara itu, beban DSR, yang pernah mencapai 36,9% pada 1988, sudah turun jadi 33,4% pada akhir 1990, bahkan akan terus menyusut hingga 21,8% pada 1995. Perkiraan itu berdasarkan perhitungan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan menghadapi hambatan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Max Wangkar TB. ------------------------------------------------------------------------- BANTUAN YANG DIJANJIKAN IGGI BUAT INDONESIA ------------------------------------------------------------------------- Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 ------------------------------------------------------------------------- Bantuan Jepang 279,3 321,3 303,3 473,5 606,8 1.400,0 1.460,0 (12,5%) (13,1%) (12,6%) (18,8%) (19,2%) (34,9%) (34,0%) -------------------------------------------------------------------------- Total 2.240,0 2.459,7 2.405,8 2.519,3 3.161,2 4.015,7 4.297,6 --------------------------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini