LAGI, kabar baik tentang ekonomi Indonesia. Kali ini muncul lewat laporan tahunan yang dikeluarkan Asian Development Bank (ADB), Senin pekan ini. Di situ disebutkan bahwa perekonomian Indonesia akan tetap menikmati laju pertumbuhan. "Meskipun ada kemungkinan kehilangan momentum tahun ini, prospek Indonesia tetap cerah," demikian laporan itu menyebutkan. Jika diukur dengan angka, bisa lebih jelas lagi. ADB memperkirakan Indonesia akan tetap mencatat petumbuhan ekonomi di atas 6 persen, tepatnya 6,4 persen. Sementara itu, untuk tahun 1989, perhitungan ADB menghasilkan angka pertumbuhan 6,5 persen. Yang lebih penting tentu bukan pada penetapan angka pertumbuhan tahun kemarin. Tapi apakah pertumbuhan itu bisa terus dipertahankan. Itulah pokok soal sekarang. Seperti dikatakan oleh ekonom Mari Pangestu. "Menilai pertumbuhan ekonomi harus melihat kecenderungannya naik atau turun, angka absolutnya bisa berbeda-beda." Nah, ADB yang akan membuka sidang tahunan ke-23 di New Delhi, Rabu pekan ini, rupanya tak terlalu berani berpandangan optimistis. Meskipun tipis, perkiraan mereka tahun ini menunjukkan trend menurun. Ini sejalan dengan pemikiran Dr. Sjahrir, yang juga memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini tak akan sekuat tahun lalu. Dengan perhitungan bahwa pertumbuhan tahun 1989 mencapai 7 persen, Sjahrir meramalkan untuk tahun ini pertumbuhan ekonomi kita tak akan setinggi itu. "Tapi tetap di atas 6 persen," kata pakar lulusan Harvard tersebut. Alasan utama Sjahrir bertolak dari penilaiannya atas deregulasi yang di sektor riil agak mengendur. Ia menyebut tak ada pengurangan non-tariff barrier sebagai misal. Ia pun menunjuk ditetapkannya tarif pajak ekspor kayu gergajian sebesar 1.000 persen. "Padahal, ekspor kayu gergajian kita jumlahnya cukup besar. Jelas, itu mengurangi kemampuan pertumbuhan kita," tuturnya tandas. Sjahrir juga memperkirakan bahwa sudah terjadi kejenuhan mobilisasi dana di sektor perbankan. Tahun kemarin, suksesnya mobilisasi dana ini memang menjadi salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi. Tetapi sepanjang tahun 1990 ini, sukses itu berbalik menjadi bumerang. "Bank-bank tak bisa menyalurkan kredit," tuturnya. Menurut Sjahrir, mestinya ini tak perlu terjadi jika tak ada batasan legal lending limit, yang melarang bank memberikan pinjaman lebih dari 20 persen dari seluruh asetnya untuk perusahaan yang tergabung dalam kelompok bisnisnya sendiri. Juga keharusan bank untuk memberikan 20 persen kreditnya kepada pengusaha golongan ekonomi lemah cukup berpengaruh pada penyaluran kredit. "Akibatnya, ada kredit yang secara teknis perbankan cukup layak, tapi tak bisa disalurkan," tuturnya. Lain lagi pendapat Mari Pangestu. "Saya perkirakan, pertumbuhan ekonomi kita dalam kecenderungan menanjak," katanya optimistis. Ia yakin, angka 7 persen untuk tahun ini akan terlampaui. Perhitungan Mari ini didasarkan pada terus meningkatnya permintaan konsumsi di dalam negeri. Untuk menjelaskan soal ini, Mari lantas menelaah sejarah perkembangan perekonomian Indonesia. Ketika era rezeki minyak masih deras, pertumbuhan ekonomi banyak dipacu oleh pengeluaran pemerintah yang besar. "Kan pemerintah punya banyak uang," katanya. Setelah sempat lesu, lalu ekonomi Indonesia kembali dipacu dengan meningkatnya ekspor nonmigas. "Nah, sementara ekspor masih kencang, sekarang ini ditambah lagi dengan meningkatnya permintaan konsumsi yang sejalan dengan naiknya daya beli masyarakat," ucap Mari. Ia lalu menunjuk panjangnya deretan "daftar tunggu" para calon pembeli mobil, sebagai salah satu indikator. Demikian pula dengan munculnya pertokoan yang menjual barang-barang "supermahal" seperti Sogo. "Jelas, untuk tahun ini pertumbuhan akan lebih tinggi dari tahun kemarin," kata Mari bersemangat. Terlepas dari kecenderungan naik atau turunnya pertumbuhan ekonomi kita, laporan tahunan ADB juga mencatat hal menarik lain. Pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Tenggara ternyata sudah melampaui empat macan Asia, yang selama ini dikenal unggul. Rata-rata pertumbuhan negara macan itu -- Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong -- cuma 6,4 persen tahun silam, sementara rata-rata di Asia Tenggara mencapai 7,8 persen. Lebih hebat lagi, laporan itu juga mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Asia akan dua kali lipat pertumbuhan ekonomu dunia. Ekonomi Asia diperkirakan tumbuh 5,5 persen tahun ini, sedangkan dunia cuma akan tumbuh 2,9 persen. Hanya saja seperti kata Kimimasa Tarumizu, Presider ADB yang baru, "Jutaan rakyat yang masih miskin, terutama di Asia Selatan, tentu tak bisa diabaikan." Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini