KONICIWA, Kaifu-san. Kedatangan Perdana Menteri Jepang Toshiki Kaifu ke Jakarta boleh disambut dengan kegembiraan. Kaitannya tentu dengan sejumlah bantuan yang akan dikucurkan ke sini, apakah itu melalui ODA (Official Development Assistance) atau melalui IGGI. Apalagi sudah terdengar kabar bahwa Pemerintah Jepang cenderung tidak akan terbawa oleh semangat Ketua IGGI J.P. Pronk, yang pernah mengatakan bahwa jumlah pinjaman konsesi (special assistance loan yang segera bisa dirupiahkan itu) akan dikurangi. Jepang pun menjadi tumpuan harapan, sebagai negeri donor yang sudah banyak menggelindingkan yen ke sini. Boleh dilihat tahun fiskal 1988, misalnya. Bantuan khusus mencapai US$ 1,7 milyar. Pada tahun fiskal berikutnya, 1989, jumlah bantuan tersebut US$ 950 juta. Untuk tahun anggaran 1990 ini, memang belum diputuskan berapa jumlahnya. Tapi tak ada salahnya bila kita menaruh keyakinan bahwa Jepang tetap akan membantu pembangunan Indonesia. Apalagi Negeri Matahari Terbit itu sudah sejak awal tahun silam berhasil menjadi negeri pemberi bantuan (donor) nomor wahid di dunia. Ia menyalip Amerika Serikat, yang selama ini memegang supremasi kreditor utama. Jepang, yang 26 tahun silam ketika mempersiapkan Olimpiade Musim Panas 1964, masih berstatus sebagai penerima dana Bank Dunia terbesar kedua (setelah India), kini melahirkan sejumlah keajaiban di bidang ekonomi. Terakhir sebagai pemasok terbanyak dana bantuan ke negara-negara berkembang. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutkan, pada 1989 Tokyo merelakan dana US$ 9,6 milyar dalam bentuk bantuan langsung dan melalui lembaga multilateral semacam Bank Dunia -- jumlah itu berarti US$ 600 juta lebih banyak ketimbang yang diberikan Washington. Seandainya semua yang dianggarkan terpenuhi, jumlah dana yang dipinjamkannya melalui ODA mestinya mencapai US$ 10 milyar. Dan Perdana Menteri (ketika itu) Noboru Takeshita sendiri sudah menjanjikan, dalam jangka lima tahun akan mengeluarkan bantuan ke negeri-negeri berkembang sejumlah US$ 50 milyar. Bantuan tersebut tidak terlepas dari semangat politik luar negeri Jepang. Stabilitas dunia sangat penting bagi Jepang dan kalau perlu ia menebusnya, melalui bantuan dana pembangunan dan pinjaman. Dan dunia tersebut bagi Jepang tak lain adalah para negara tetangga dekat. Dari seluruh pinjaman dan bantuan yang diberikannya, 70% dicurahkan untuk negeri-negeri Asia dan anak benuanya. Dari 10 penerima ODA yang terpenting, hanya satu (Turki) yang berada di luar kawasan itu. Data terakhir, 1990, yang dikeluarkan MITI dan Kementerian Keuangan menyebutkan, total bantuan Jepang di negeri-negeri Asia dikaitkan dengan investasi langsung dan hubungan perdagangan dengan negara bersangkutan (terkecuali Singapura, Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan, yang tentunya tidak menerima bantuan). Kepada RRC, misalnya bantuan Jepang sampai 1989 total US$ 2,17 milyar -- sedangkan nilai perdagangannya US$ 53,19 milyar (1986-1989) dan nilai investasinya US$ 2 milyar (1986-1989). Untuk Indonesia, angkanya (dalam urutan bantuan, perdagangan, dan nilai investasinya) adalah US$ 1,4 milyar, US$ 48,26 milyar, dan US$ 1,72 milyar (1986-1989). Selain bertujuan untuk memiliki kelompok tetangga yang ekonomi dan kehidupan sosialnya stabil -- berkat dana pinjaman itu -- Pemerintah Jepang memiliki pertimbangan lain ialah bahwa realisasi bantuan dan pelaksanaan pembangunannya harus ditangani oleh kontraktor Jepang. Artinya, dana bantuan dan pinjaman tersebut memang memiliki dua tujuan, kecuali untuk membantu juga untuk menghidupi perusahaan-perusahaan Jepang sendiri yang terlibat dalam kontrak (sebagai kontraktor dan konsultan). Pihak Jepang sendiri tidak sungkan untuk mengakui, bantuan dan pinjaman yang diberikannya bisa saja melahirkan efek dan pengaruh tambahan. Umpamanya dalam kasus bantuan ke Muangthai, yang pada 1988 jumlah dana terpakainya (disbursed) US$ 350 juta atau 16 kali (US$ 22 juta) bantuan Amerika Serikat. Bahkan jumlah seluruh bantuan pada 1989 pun mencapai US$ 1,3 milyar. Pinjaman jangka panjang berbunga lunak tersebut memang sangat bermanfaat mendukung pendanaan pembuatan jalan raya, jembatan gantung Sungai Chao Phraya, dan perluasan Bandara Internasional Don Muang. Dikaitkan dengan sejumlah investasi perusahaan swasta Jepang dan peningkatan hubungan dagang (1986-1989 mencapai US$ 26,50 milyar), bantuan tersebut makin mengeratkan hubungan kedua negara. "Bantuan kami telah berhasil membuat orang Thai lebih menyukai orang Jepang," kata seorang pejabat Kedutaan Besar Jepang di Bangkok. "Mereka tahu, Jepang telah ikut andil dalam kebangkitan ekonomi Muangthai." Tapi Jepang tidak begitu berhasil menyelipkan pengaruhnya ketika menyalurkan dana lewat lembaga multinasional seperti Bank Dunia dan IMF. Ada sepertiga dari seluruh bantuan Jepang disalurkan lewat kedua lembaga tersebut. Itu pun setelah 1986 di Bank Dunia, ketika Tokyo berhasil meningkatkan jatah suaranya dari 5% menjadi 6,5% (sementara Washington merosot ke 18% dari 20%). Dan di IMF Jepang menempati urutan kelima kendati ia masuk ketegori negara kedua yang terkuat ekonominya, setelah AS. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini