Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Membawa Kembali Bank Konvensional ke Aceh

Gangguan layanan BSI mendorong rencana menghidupkan kembali bank konvensional di Aceh.

 

25 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana pelayanan perbakan Bank Syariah Indonesia di Jakarta, 22 Mei 2023. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kalangan pengusaha meminta bank konvensional kembali beroperasi di Aceh.

  • Pemerintah Aceh mengajukan revisi Qanun layanan keuangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

  • Perbankan konvensional siap kembali ke Aceh.

JAKARTA — Serangan siber yang melumpuhkan layanan PT Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 8 Mei lalu membuat publik mendesak dikembalikannya operasional bank konvensional ke Aceh. Sebagaimana diketahui, sejak penerbitan Qanun atau Peraturan Daerah Aceh Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), seluruh perbankan konvensional kala itu berhenti beroperasi, menyisakan hanya perbankan dan unit usaha syariah yang dapat melayani transaksi keuangan masyarakat hingga saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lumpuhnya sistem dan layanan BSI yang selama ini menjadi andalan masyarakat Aceh dinilai cukup membuat kewalahan dan mengganggu aktivitas perekonomian. Terlebih, gangguan itu terjadi selama lima hari dan pemulihannya dilakukan bertahap. Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas wilayah Aceh, Nahrawi Noerdin, menuturkan BSI sebagai bank syariah pelat merah juga banyak dipercaya oleh masyarakat umum ataupun pelaku usaha di Aceh. Maka, ketika terjadi gangguan, dampaknya cukup besar. Di sisi lain, pilihan masyarakat terbatas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Akses dan layanan keuangan yang luas tak bisa dinikmati di Aceh sehingga pengaruhnya cukup besar pada perekonomian,” ujar Nahrawi, kemarin. Setidaknya saat ini ada dua bank syariah besar yang beroperasi dan banyak digunakan masyarakat ataupun pelaku usaha di Aceh. Selain BSI, ada Bank Aceh Syariah. Adapun pilihan lainnya adalah BCA Syariah serta unit usaha syariah milik Bank BTN, yaitu BTN Syariah, tapi dengan lokasi kantor cabang yang terbatas.

Nahrawi mencontohkan, ketika gangguan sistem dan layanan terjadi, pemilik SPBU atau pom bensin di Aceh tidak bisa membayar penebusan minyak ke PT Pertamina (Persero), baik secara transfer maupun tunai. “Tidak ada solusi ketika kesalahan terjadi. Padahal layanan keuangan sangat penting untuk berbagai kebutuhan masyarakat,” kata dia.

Pemerintah Provinsi Aceh sebelumnya membenarkan perihal dibukanya peluang menghidupkan kembali operasional bank konvensional di Serambi Mekah. “Penyempurnaan Qanun itu membuka kembali peluang perbankan konvensional untuk kembali beroperasi di Aceh,” ujar juru bicara pemerintah Aceh, Muhammad M.T.A. Ihwal rencana revisi qanun itu, penjabat Gubernur Aceh juga telah menyerahkan rencana perubahannya kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk kemudian dibahas di parlemen.

Seorang nasabah di depan counter Bank Aceh Syariah. ANTARA/HO

Rencana ini, kata Muhammad, telah ditinjau pemerintah Aceh sejak beberapa waktu lalu, didukung oleh aspirasi masyarakat, khususnya para pelaku usaha. Ia mengatakan kasus lumpuhnya layanan dan sistem BSI menjadi salah satu referensi untuk menguatkan pelaksanaan penyempurnaan qanun. “Nantinya dikaji dan dianalisis kembali dinamika dari pelaksanaan qanun selama ini, termasuk mengkaji kompensasi dari setiap potensi yang merugikan nasabah,” ucapnya.

Muhammad berujar, hingga saat ini, infrastruktur perbankan syariah di Aceh masih belum bisa memenuhi aspirasi masyarakat, terlebih untuk melayani transaksi keuangan dunia usaha, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Dengan begitu, keberadaan perbankan konvensional semestinya tidak menjadi resistansi. “Memperkuat perbankan syariah juga menjadi prioritas kami sebagai sebuah daerah atau kawasan yang memiliki kekhususan,” ucap dia.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespons positif rencana revisi qanun itu. Hal itu diharapkan dapat menjadi solusi terbaik bagi masyarakat dan perekonomian Aceh. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan perbankan merupakan layanan yang diperlukan masyarakat, baik untuk modal usaha, sistem pembayaran, maupun berbagai transaksi keuangan lainnya. Jadi, kata dia, penting untuk mendukung perekonomian. “Seharusnya peraturan yang diterbitkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus selalu memperhatikan hal tersebut agar tidak merugikan kepentingan masyarakat umum dan kemajuan perekonomian,” kata dia.

Dian mengatakan, pada saat penyusunan qanun beberapa tahun lalu, OJK telah menyampaikan saran dan kekhawatiran soal dampak aturan tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat, perekonomian, dan kesiapan perbankan syariah di Aceh. Terlebih, Indonesia menganut dual banking system, yang di dalamnya bank konvensional ataupun bank syariah berkembang secara berdampingan. Dalam Undang-Undang Perbankan pun tak ada batasan bahwa di suatu daerah hanya diperbolehkan satu jenis bank. “Biarkan masyarakat yang memilih menggunakan bank konvensional atau syariah,” ucapnya.

Menurut Dian, jika ingin mengembalikan kembali operasional bank konvensional di Aceh, dibutuhkan komitmen dan kepastian hukum yang kuat dari pihak pemerintah daerah Aceh sehingga revisi qanun yang tengah dipertimbangkan saat ini tidak akan direvisi lagi di masa depan. “Tanpa adanya jaminan ini, sulit bagi bank konvensional mau masuk karena pembukaan dan penutupan kantor itu biayanya tidak sedikit,” kata dia.

Pelayanan perbankan di Bank BRI Cabang Fatmawati, Jakarta, 29 Juli 2022. Tempo/Tony Hartawan

Perbankan Konvensional Siap Kembali

Sementara itu, sejumlah perbankan konvensional mulai bersiap menjajaki peluang dibukanya operasional di Aceh. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, misalnya, menyatakan kesiapannya sembari menunggu perkembangan regulasi yang bergulir. “BRI tengah mengkaji dan menunggu regulasi lebih lanjut mengenai hal ini,” kata Sekretaris Perusahaan BRI, Aestika Oryza Gunarto.

Hal yang sama diungkapkan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), yang berkomitmen menghormati dan mematuhi ketentuan dan peraturan yang berlaku, termasuk qanun di wilayah Aceh. EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, berujar BCA terus berkoordinasi dengan pemerintah, regulator, otoritas, dan stakeholder lainnya untuk menyiapkan strategi yang tepat dalam memberikan layanan yang optimal bagi nasabah. “Adapun saat ini BCA Syariah telah memiliki tiga kantor di Aceh, yang berlokasi di Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Bireuen,” ucapnya.

Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin sebelumnya mengimbau Pemerintah Provinsi Aceh meninjau kembali niatan merevisi qanun. Terlebih saat ini masih ada alternatif-alternatif bank syariah lainnya. “Bank syariah kan bukan hanya BSI. Jadi, mungkin tidak akan ada kesulitan untuk menghadapi kemungkinan yang ada karena banyak alternatif,” ujar dia. Meski demikian, Ma’ruf mengatakan keputusan akhirnya berada di tangan Pemprov Aceh sendiri.

Penolakan rencana revisi qanun pun berdatangan, salah satunya dari Fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Ketua Fraksi PKS di DPRA, Zaenal Abidin, menuturkan gangguan layanan dan sistem BSI sebelumnya tak seharusnya disikapi dengan rencana pengembalian operasional bank konvensional. “Perbaikan bisa dilakukan pada bank tersebut agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Jadi, lebih ke perbaikan teknis,” ucapnya.

Zaenal menuturkan Qanun LKS pun baru dua tahun diterapkan. Karena itu, menurut dia, penting untuk lebih dulu menguatkan operasional bank syariah yang ada di Aceh saat ini. Apalagi Qanun LKS merupakan bagian dan amanat dari aturan kekhususan yang dimiliki pemerintah Aceh, termasuk di dalamnya penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh. “Sehingga masyarakat Aceh harus bersama-sama mengimplementasikannya, jangan justru melemahkannya,” ucapnya.

GHOIDA RAHMAH | ANTARA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus