Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN ini merupakan tahun keberuntungan buat Komar. Belum genap setahun, portofolionya meningkat dari Rp 50 juta menjadi Rp 250 juta. Inilah pertama kali ia mengantongi keuntungan sebesar itu, setelah 10 tahun lebih bermain di Bursa Efek Jakarta. Tahun lalu, ia cuma mendapatkan keuntungan separuh tahun ini.
Gacoan Komar adalah perusahaan-perusahaan moncer yang go public alias masuk bursa tahun ini, antara lain PT Wijaya Karya dan PT Jasa Marga. Ia juga memegang saham BUMN pertambangan, seperti PT Aneka Tambang dan PT Bukit Asam. ”Sekarang banyak saham baru yang bagus-bagus. Gain-nya jadi lebih gede ketimbang tahun-tahun sebelumnya,” kata pria 40 tahun itu.
Industri pasar modal memang meriah tahun ini. Hingga bulan ini sudah 16 perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa Jakarta. Jumlah ini sudah lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2006, hanya 12 perusahaan yang menjual sahamnya ke publik dan tahun sebelumnya malah cuma delapan.
Direktur Utama Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah, mencatat masih ada 9–10 perusahaan yang sedang antre masuk pasar, di antaranya Cowell Development, PT Jaya Konstruksi, Bank Ekonomi, Elnusa, dan BTPN. PT Alam Sutera Realty juga telah mengumumkan rencananya mencatatkan diri di bursa Jakarta pada 18 Desember mendatang.
Selain jumlah emiten baru yang melonjak, indeks saham Bursa Jakarta juga meningkat lumayan tinggi. Meski sempat anjlok sampai kisaran 1.900 pada Agustus lalu, gara-gara kasus subprime di Amerika, indeks pernah mencatat rekor baru 2.713 pada 7 November lalu. Pekan lalu, indeks ditutup pada posisi 2.584 setelah pada pertengahan pekan sempat turun sampai 2.563. Dibandingkan awal tahun, indeks melejit hampir 40 persen.
Bisa jadi, kondisi itulah yang membuat deretan perusahaan baru yang mengincar duit publik masih panjang. Selasa pekan lalu, misalnya, PT Indo Tambangraya Megah menyampaikan paparan publik. Perusahaan pertambangan batu bara ini berencana menjual 20 persen sahamnya di bursa Jakarta pada Desember.
Indo Tambangraya menargetkan dana segar Rp 2,5–3,4 triliun. Sebanyak 70 persennya akan dipakai untuk mengembangkan usaha di bidang batu bara dan pembangkit listrik. Sisanya yang 30 persen untuk membiayai kebutuhan yang lain. ”Termasuk di antaranya pelunasan utang,” kata Presiden Direktur Indo Tambangraya, Somyot Ruchirawat, seusai paparan publik.
Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan melihat fenomena maraknya perusahaan go public lebih karena perusahaan butuh dana segar untuk membiayai ekspansi usahanya. Go public adalah cara termurah untuk mengail dana dibandingkan menerbitkan obligasi atau pinjam ke bank. Nah, waktu yang pas adalah ketika kondisi pasar sedang kuat-kuatnya, seperti yang terjadi saat ini.
Memang, kata Fauzi, tahun ini ada sejumlah soal yang mengganjal laju bursa saham, yakni kasus subprime mortgage di Amerika Serikat dan harga minyak yang nyaris menembus US$ 100 per barel. Tapi, dia optimistis tahun depan kondisi akan lebih bergairah asalkan Amerika Serikat tidak diterjang resesi. Ini pula yang membuat PT Bursa Efek Jakarta menargetkan 30 perusahaan masuk bursa, naik dari target tahun ini 25 perusahaan.
Namun, tak semua yakin. Praktisi pasar modal Roland Haas termasuk yang ”beraliran” pesimistis. Menurut dia, pasar modal tahun ini tidak begitu booming. Indeks memang naik, tetapi kenaikan itu hanya dikatrol oleh 5–6 jenis saham, misalnya saham-saham sektor pertambangan dan perkebunan (CPO) yang memiliki kapitalisasi pasar besar.
Pemicunya adalah lonjakan harga komoditas. Harga minyak mentah, misalnya, terus meroket hingga US$ 99 per barel. Kantor berita Bloomberg memberitakan, harga minyak sawit untuk pengiriman Januari pun naik 11 ringgit (0,4 persen) menjadi 3.001 ringgit (US$ 898) per ton dan diperdagangkan 2.994 ringgit per ton di Malaysia Derivatives Exchange. Itu adalah harga tertinggi sepanjang sejarah minyak sawit.
Tahun depan, Roland menambahkan, kondisi akan lebih buruk terutama jika Amerika terserang resesi. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Eropa dan Cina juga bakal melambat. Harga komoditas pun bisa tertekan. Akibatnya, saham-saham penopang kenaikan indeks tahun ini juga akan melorot. ”Indeks akan turun meskipun harga saham-saham kecil naik,” katanya.
Apa pun, publiklah yang diuntungkan oleh meriahnya pasar modal. Menurut Fauzi, makin banyak perusahaan yang go public, kian banyak pilihan investasi bagi publik, terutama ketika suku bunga perbankan terus turun dalam beberapa bulan terakhir. Perusahaan juga akan lebih transparan. ”Jadi, kuenya betul-betul dibagi ke masyarakat,” kata dia.
Paling tidak, itulah yang dinikmati para pemain bursa. Komar, misalnya, beruntung ketika membeli saham Jasa Marga pada saat penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO) 12 November lalu. Ia membeli dengan harga Rp 1.700 per lembar dan beberapa hari kemudian menjualnya seharga Rp 2.025. Begitu pun saham Wijaya Karya yang dijual untung Rp 120 per lembar dari harga pembelian Rp 410.
Komar juga mengantongi untung dari saham-saham ”kecil”, seperti saham perusahaan budi daya udang PT Central Proteinaprima dan perusahaan konstruksi Truba Alam Manunggal Engineering Tbk. Saham CP Prima, misalnya, dibeli pada saat harga Rp 150 per lembar, dan dijual ketika harganya dua kali lipat. Keuntungan yang sama diperolehnya dari penjualan saham Truba.
Roland, lagi-lagi, tak yakin soal itu. Ia ragu khalayak bakal diuntungkan oleh booming pasar modal. Menurut dia, IPO perusahaan kecil sering kali diatur dan ”digoreng”. ”Yang bisa ikut IPO hanya orang dalam, orang dekat, atau yang berafiliasi dengan under writer,” kata Roland. Soal lain, katanya menambahkan, kebanyakan pembeli saham di bursa Indonesia bukanlah investor sejati, melainkan spekulan saja.
Ia pun menyisipkan saran agar publik berhati-hati memilih saham baru yang akan dibeli. Menurut dia, tidak sedikit perusahaan kecil yang meriah pada saat awal go public saja. ”Lihat saja dua tahun setelah IPO, saham-saham itu akan menjadi saham tidur,” ujarnya. Biasanya itu terjadi setelah harga saham-saham tersebut turun. Kalau itu yang terjadi, bukan untung yang didapat, sang pemain malah cuma bisa gigit jari.
Retno Sulistyowati, Indra Mutiara (PDAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo